Jeruji Besi dan Stereotipe Tentangnya

Telah dewasa usianya, 55 tahun Pemasyarakatan berdiri di Indonesia. Tepat 27 April 1964 lalu istilah Pemasyarakatan mulai dicetuskan. Adalah Dr. Sahardjo yang juga merupakan mantan Menteri Kehakiman dahulu yang mengubah konsep kepenjaraan yang terkesan mengerikan dan sadis menjadi Pemasyarakatan yang lebih humanis (arsip Direktorat Jenderal Pemasyarkatan (Diten PAS)). Diusianya yang telah mapan tersebut, masih banyak pekerjaan rumah yang harus di selesaikan. Tercatat permasalahan klasik yang menjadi momok utama adalah overcrowding (kesesakan) yang dialami oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Ditjen PAS, yaitu lembaga pemasyarakaan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) di seluruh Indonesia. Overcrowding yang terjadi tak hanya membuat para Warga Binaan Pemasyarakaan (WBP) yang berada di dalamnya merasa tidak nyaman, namun juga berakibat pada gangguan keamanan. Berdasarkan data yang dirangkum Republika (11/5/2018) telah terjadi 11 kerusuhan di lapas dan r

Jeruji Besi dan Stereotipe Tentangnya
Telah dewasa usianya, 55 tahun Pemasyarakatan berdiri di Indonesia. Tepat 27 April 1964 lalu istilah Pemasyarakatan mulai dicetuskan. Adalah Dr. Sahardjo yang juga merupakan mantan Menteri Kehakiman dahulu yang mengubah konsep kepenjaraan yang terkesan mengerikan dan sadis menjadi Pemasyarakatan yang lebih humanis (arsip Direktorat Jenderal Pemasyarkatan (Diten PAS)). Diusianya yang telah mapan tersebut, masih banyak pekerjaan rumah yang harus di selesaikan. Tercatat permasalahan klasik yang menjadi momok utama adalah overcrowding (kesesakan) yang dialami oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Ditjen PAS, yaitu lembaga pemasyarakaan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) di seluruh Indonesia. Overcrowding yang terjadi tak hanya membuat para Warga Binaan Pemasyarakaan (WBP) yang berada di dalamnya merasa tidak nyaman, namun juga berakibat pada gangguan keamanan. Berdasarkan data yang dirangkum Republika (11/5/2018) telah terjadi 11 kerusuhan di lapas dan rutan seluruh Indonesia sepanjang tahun 2007-2018. Kejadian tersebut ditambah lagi di tahun 2019 terjadi tiga kerusuhan di lapas dan rutan diantaranya Rutan Solo dan yang baru-baru ini Rutan Siak dan Lapas Narkotika Langkat.   Problematika Lapas dan Rutan di Seluruh Indonesia Setelah dilihat lebih dalam dari kejadian tersebut, terdapat jumlah yang tidak sebanding antara jumlah penghuni dengan kapasitas daya tampung lapas maupun rutan. Begitu pula dengan jumlah petugas dan para WBP yang tidak berimbang. Walaupun di tahun 2017 lalu terdapat penambahan petugas sebanyak 14 ribu, akan tetapi dengan rasio narapidana sebanyak 265.221 jiwa tentu tidak sebanding. Berdasarkan data dari Sistem Database Pemasyarakatan sampai dengan 13 Mei 2019 telah terjadi 110% over kapasitas dengan daya tampung hanya 126.466, namun lapas dan rutan di seluruh Indonesia memiliki penghuni 265.221 jiwa. Tentu tak cuma rasa nyaman saja yang terganggu, namun oksigen dalam ruangan pun bisa jadi diperebutkan. Jika salah satu orang saja yang iseng buang angin dengan posisi unik, tentunya dapat membuat yang lain gempar terlebih di saat sedang menyantap hidangan makan bersama. Kondisi penuh sesak dengan ketidakseimbangan antara petugas lapas dan jumlah narapidana menjadikan petugas lapas berada di tengah risiko berbahaya yang selalu mengintai kapan saja. Slogan “Waspada Jangan-Jangan” menjadi penghias rapalan amal yang kudu bin wajib diingat dan dimplementasikan. Bahkan, jargon tersebut jika bisa ditempel di jidat masing-masing petugas lapas, pun bakal dilakukan. Tentu saja pada akhirnya mindset yang terbentuk pada pembinaan menjadi sebatas formalitas semata lantaran sebagian besar sibuk dan terfokus pada kondisi keamanan dan ketertiban serta beragam adminsitratif yang menumpuk di dalam lapas.   Stereotipe Yang Tidak Berimbang Stereotipe lapas menjadi sarang pengendalian narkoba, pungutan lia, tidak manusiawi, dan segala macamnya membuat posisi lapas/rutan menjadi makin tersudutkan. Ucapan Kepala Badan Narkotika Nasional, Komjen Heru Winarko di Universitas Udayana (14/5) yang mengatakan bahwasanya 90% operator narkotika berasal dari jaringan lapas tentu saja merugikan pihak lapas yang sudah jatuh tertimpa tangga pula. Pihak lapas pusing tujuh keliling mengurus tahanan yang dikirim bak gelombang tsunami hingga membuat overcrowding. Disatu sisi jumlah petugas tak sebanding,  penegakan pada narapidana kasus narkoba pun menjadikan petugas dilema lantaran mereka tak memiliki wewenang dalam melakukan penyitaan barang. Ambiguitas pasal 112 Undang-Undang Narkotika yang menyatakan bahwa setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika gol 1 akan dipidana penjara paling singkat 4 dan paling lama 12 tahun. Frasa kata “menguasai” membuat para petugas Pemasyarakatan menjadi sulit. Jika pun hendak menindak, maka otomatis mereka akan menghindari untuk menyentuh, dan memaksa sang pelaku untuk menguasai barangnya. Jika  terlanjur menyentuh, biasanya para petugas akan sesegera mungkin memaksa pelaku untuk memegangnya (menguasai). Jika tidak bukan tidak mungkin sang penindak justru dapat dijerat dengan pasal tersebut. Penindakan yang dilakukan lapas maupun rutan pun seringkali berbuah citra negatif, dan justru melambungkan reputasi institusi lain. Lapas hanya kebagian berita sebagai “lokasi pengendali”, bukan sebagai institusi yang memerangi. Lapas dan Rutan hanya kebagian space informasi tak berimbang seperti kebakaran, kerusuhan, dan penganiayaan narapidana semata. Sadarkah kita bahwasanya stereotipe buruk pada akhirnya merugikan semua pihak. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Herani (2012) dengan judul “Konsep Diri Orang dengan HIV dan AIDS yang Menerima Label Negatif dan Diskriminasi dari Lingkungan Sosial” menemukan bahwa penderita HIV yang didiskriminasi dan dilabeli negatif oleh lingkungan sekitar, dikucilkan, dan dijauhi pada akhirnya memunculkan perasaan yang negatif dalam dirinya seperti depresi, putus asa, merasa tidak berharga, serta perilakunya yang menarik diri hingga menyesuaikan seperti apa yang dilabeli kepadanya. Jika ditarik pada konteks kinerja lapas/rutan, maka label negatif yang dilekatkan terus menerus akan berdampak pada para petugas yang bekerja di dalamnya. Perasaan tidak berharga, tidak mampu, atau menganggap lumrah ketidakbenaran yang terjadi maka lambat laun bukan tidak mungkin kinerja lapas/rutan akan menurun. Jika sudah hal ini terjadi tentu saja pembinaan yang ada tidak berjalan, sebagai dampak imbasnya kejahatan pun makin meluas di sekitar kita sebagai imbas dari tidak berfungsinya pembinaan dalam lapas/rutan.   Pengabdian Tanpa Henti Walaupun begitu, pada akhirnya sebagai sebuah insan yang disematkan padanya sebagai insan Pemasyarakatan memang harus kuat diterpa badai. Tetap tegar ditengah hempasan gelombang karena seorang pelaut yang hebat tidak akan lahir dari gelombang yang tenang. Seorang pejuang tidak akan lahir sebelum memberikan pengabdian dan pengorbanan. Revitalisasi yang dicanangkan oleh Menteri Hukum dan HAM,  Yasonna H. Laoly, menjadi salah satu bentuk pengabdian akan cita memasyarakatkan mereka yang bersalah untuk dapat kembali terintegrasi di tengah masyarakat. Dalam Revitalisasi tersebut ada beberapa hal yang menjadi kunci. Salah satunya adalah pengklasifikasian WBP berdasarkan tingkat risiko kejahatan maupun risiko residivis tingkat keterulangan kejahatan, dan juga pada asesmen kebutuhan yang bermuara nantinya pada sistem pembinaan. Jeruji besi bukanlah akhir dan batas seseorang untuk menggapai segala-galanya. Barangkali dari jeruji besi ada secercah cahaya yang dapat membangkitkan asa dari para narapidana, untuk memberikan inspirasi di tengah bangsa saat mereka bebas nantinya. Karena narapidana yang ada di lapas maupun rutan bukanlah sampah yang harus di buang dan disingkirkan. Mereka juga bagian dari Warga Negara Indonesia yang saat ini membutuhkan saudara sebangsa untuk dikuatkan moralnya, psikologinya, dan rasa cinta kasihnya ditengah keterbatasan yang ada karena sebagai bentuk dari pengejawantahan cinta tanah air tak mesti melulu dengan mengangkat senjata, namun membangun bangsa bisa dilakukan lewat pengabdian, kreativitas, dan karya lewat tugas pokok dan fungsi tugasnya.       Penulis: Muhamad Fadhol Tamimy (Lapas Kelas IIB Tenggarong)  

What's Your Reaction?

like
1
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0