Lapas Bagiku

Pagi itu aku terbangun dari tidurku yang sangat nyenyak, dan aku baru sadar ternyata aku terbangun di tempat lain. Bukan di kamar tidurku. Aku tidur di kantor polisi. Sejenak aku melamun, aku berpikir apa yang akan terjadi setelah ini? apa aku akan di penjara ? tak lama seseorang memanggil nama ku dari luar. Baru saja aku bangkit dari tempat tidur, dan menghampiri suara itu. Tapi sosok seseorang tegak tinggi berseragam sudah berada di dalam pintu. “Liya sudah bangun?” tanya polisi itu. “Iya pak,” jawab ku dengan gemetar “Liya cuci muka dulu lalu makanlah nasi kotak yang ada diatas meja itu, sebentar lagi kita akan berangkat,” ucap pak polisi itu secara melirik kearah arloji ditangannya. Sebenernya aku ingin bertanya, tapi pak polisi itu sudah menlangkah pergi. Aku segera menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Sejenak aku berpikir ucapan pak polisi tadi. “Kita berangkat". "Berangkat kemana? Apa aku akan dipenjara?" Setelah mencuci muka aku langsung mel

Lapas Bagiku
Pagi itu aku terbangun dari tidurku yang sangat nyenyak, dan aku baru sadar ternyata aku terbangun di tempat lain. Bukan di kamar tidurku. Aku tidur di kantor polisi. Sejenak aku melamun, aku berpikir apa yang akan terjadi setelah ini? apa aku akan di penjara ? tak lama seseorang memanggil nama ku dari luar. Baru saja aku bangkit dari tempat tidur, dan menghampiri suara itu. Tapi sosok seseorang tegak tinggi berseragam sudah berada di dalam pintu. “Liya sudah bangun?” tanya polisi itu. “Iya pak,” jawab ku dengan gemetar “Liya cuci muka dulu lalu makanlah nasi kotak yang ada diatas meja itu, sebentar lagi kita akan berangkat,” ucap pak polisi itu secara melirik kearah arloji ditangannya. Sebenernya aku ingin bertanya, tapi pak polisi itu sudah menlangkah pergi. Aku segera menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Sejenak aku berpikir ucapan pak polisi tadi. “Kita berangkat". "Berangkat kemana? Apa aku akan dipenjara?" Setelah mencuci muka aku langsung melahap nasi kotak yang ditunjuk pak polisi tadi. Makanan itu pun habis, aku meraih botol minuman yang ada di samping nasi kotak itu. Baru saja aku ingin meminumnya, tiba-tiba… “Tok !! tok !! tok!!” suara pintu diketuk. Segera aku bangkit untuk membuka pintu, aku tersenyum mendapati Polwan yang sangat cantik berdiri di depanku. “Liya sudah makan?” Tanya polwan cantik itu. “Audah bu..” jawabku sambil mengangguk. “Di luar ada ayah sama abangnya lagi nungguin kamu, ayo keluar.” Aku tercekat sambil menganga. Ayahku ? Apa dia sudah tau kasus-kasus itu? Pasti aku akan dihajar habis-habisan, belum lagi abangku. Habislah riwayatku. “Tapi bu aku takut,” jawabku dengan lirih. “Ga apa-apa kok, di sini kan ada ibu dan bapak polisi yang lain,” jawab ibu itu dengan santai. Dengan ragu aku mengikuti langkah ibu itu dari belakang. Ketika sampai di luar aku melihat dua sosok laki-laki yang sangat aku kenali sedang duduk memunggungiku. Aku ragu sekali untuk memanggilnya, rasanya aku ingin lari jauh-jauh. Aku takut, aku bingung apa yang akan aku katakana pada mereka nanti. “Ayah..,” suaraku sangat pelan dan bernada sedih, serentak dua orang itu langsung menoleh ke arahku. Aku melihat mata ayah berkaca-kaca dan abangku dengan ekspresi kecewa campur marah. Aku pun duduk didekat mereka sambil menunduk, suasana menajadi hening sesaat lalu ayah memecah keheningan itu. “Itu baju-baju mu di dalam tas,” kata ayah, suaranya seperti menahan tangis. Aku kaget aku langsung melotot melihat tas yang dibawakan ayah di depanku. Oh tuhan.. apakah aku diusir dari rumah? Air mataku tak terbendung lagi aku langsung menangis tersedu-sedu. “Ayah aku tau aku salah, aku anak yang bandel tak pernah menurut tapi aku mohon jangan usir aku dari rumah, aku mohon ayah..,” aku merengek sambil menangis tersendak-sendak. “Ayah bukan mengusirmu Liya.. ayah dan abang ingin sekali kau pulang. Ayah dan abang sudah memohon-mohon agar kau tidak dijatuhi hukuman dan dimaafkan, tapi semua sudah tak bisa lagi kau harus menanggung perbuatanmu” suara abang tinggi dan tegas. Aku melihat ayah mengusap air matanya yang membasahi pipi. “Ayah aku mohon aku ingin pulang,” lirihku sambil menangis. “Kau sabar-sabar saja ikuti apa kata polisi nanti sidang Insyaallah ayah dan ibu datang,” ucap ayah sambil berdiri. Ayah menjulurkan tangannya untuk ku salami, tapi aku langsung memeluk kaki ayah sambil menangis. “Ayah ku mohon bantu aku, aku menyesal..” Ayah meraih bahu ku dan membantuku berdiri. “Akan ayah usahakan kau baik-baik nanti dis ana. Ini nomor telpon ayah, jika kau butuh sesuatu hubungi ayah ya nak..," ucap ayah seraya mengelus kepalaku. Lalu ayah berpamitan pulang kemudian ku salami tangan ayah dan abang. “Aabarlah Inshaallah abang usahakan kau cepat pulan,g” abang mengelus rambutku yang sudah acak-acakan karena kemarin tidak disisir. Baru lima langkah mereka pergi meninggalkan ku aku histeris berteriak, aku merasa tidak sanggup ditinggal. Baru saja aku ingin berlari menyusul ayah dan abang, namun tanganku dipegang erat oleh dua polisi wanita. Aku terus memberontak dan menangis. “Ayah aku mau ikut pulang,” teriakku sambil menangis. Ku lihat ayah menoleh, sekilas wajah ayah tampak sangat sedih lalu ia melanjutkan langkahnya. Di dalam sebuah mobil yang diisi dengan dua polisi dan dua polisi wanita, entah mau menuju kemana aku hanya diam disepanjang perjalanan. “ Liya kok diam saja?” tanya polisi wanita itu seraya menoleh ke arahku. Pertanyaannya tak ku perdulikan, aku hanya diam sambil memperhatikan jalan melalui kaca jendela mobil. “Nanti di sana Liya banyak temen loh.” “Aku tidak suka aku hanya ingin pulang.,” jawabku ketus. Mobil itu pun berhenti dipinggir jalan, aku pun keluar dari mobil dengan perasaan tidak enak. Apakah ini penjara anak? tanya ku didalam hati, ku baca spanduk yang berada di depan pintu LPKA Kelas II Pangkalpinang. Oh tuhan.. ini memang penjara anak. Batinku berteriak. Aku melangkah dengan ragu mengikuti dari belakang. Sampai disebuah ruangan, seseorang menyambut dengan senyum terpaksa dibibirnya. “Silakan duduk pak,” sambutnya kepada pak polisi yang ada di hadapanku. Selesai pemeriksaan dan berbagai pertanyaan dari pihak pegawai lapas, polisi itupun pergi meninggalkan ku. Untungnya pegawai yang bekerja di lapas ini semua ramah dan baik, dan akupun dibawa kekamar yang akan ku tempati. Dari kejauhan aku melihat banyak sekali anak-anak yang bermain bola. Apa mereka bahagia di sini? Wajah anak laki-laki itu semua kelihatan tidak seperti dipenjara yang aku bayangkan. Sampai di kamar nomor 4 yang khusus untuk anak perempuan, aku terdiam melihat keadaan kamar yang akan aku tempati. Tempat tertutup, ruangan yang luas, di pojok ada wc dengan tembok yang menutupi setengah pinggang. Yang paling membuat ku syok, tempat sebesar ini hanya aku yang menghuni. Hari yang menyebalkan, hari yang sial ku habiskan hanya dengan menangis seharian. Aku sedih aku putus asa, aku bingung harus melakukan apa. Selama 1 bulan aku tidak bisa makan dan tidak bisa tidur karena aku kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru seperti ini. Hari ketiga aku berada di lapas ini, ibu penjaga keamanan membawaku ke ruangan atas. Sesampainya aku didepan pintu, aku melihat wanita paruh baya sedang duduk memunggungiku. “Ibu,” teriakku. Akupun berlari menuju kursi yang di duduki ibu, aku langsung memeluknya. “Ibu aku mau pulang, aku tidak betah di sini,” aku menangis tersenu-sedu. “Sabarlah dulu nak, abang dan ayahmu sedang mengusahakannya.” Selama lima menit aku ngobrol dengan ibuku karena jam besuk hari itu tinggal sedikit. Kami pun berpisah dengan berat hati. “Ibu jaga kesehatan ya, jangan pikirkan Liya, Liya disini baik-baik saja.” sekuat tenaga menahan tangis seraya memeluk ibu. Beliaupun melangkah pergi. Dari jauh ibu masih menoleh ke belakang, aku memandangi langkahnya sambil melambaikan tangan. Ibu maafkan anakmu yang tidak berguna ini karena telah menyusahkanmu. Tangisku dalam hati. Hari demi hari aku lewati, aku selalu menanti hari kebebasan itu. 25 April 2019 hari pertama aku dijebloskan kedalam penjara yang membuatku sangat tersiksa ini. rasanya hampir putus asa karena aku belum tau kapan hari kebebasan itu. Sudah hampir dua minggu aku disini, akhirnya datang juga hari siding itu. Di pengadilan aku melihat ayah dan ibu sudah duduk di sana. Aku langsung memeluk ibu sambil berkata “Aku kangen sekali bu..” Akupun menyalami tangan kedua orangtuaku. Sampai sidang ke empat hukuman baru dijatuhi. Aku dijatuhi hukuman 8 bulan dan pelatihan kerja selama 3 bulan. Aku sabar, aku masih tetap bersyukur karena tidak sampai bertahun tahun hukuman yang ku dapatkan. Aku menghabiskan ramadhan 2019 di sini, Hari Idulfitri dan hari raya haji. Ini hal yang sangat membuatku sedih. Ini pertama kali aku tidak berlebaran bersama keluargaku dan untungnya Lebaran Idulfitri kedua orang tuaku datang membesuk, setidaknya aku bisa meminta maaf kepada kedua orangtuaku walau hanya sebentar hanya untuk mengobati rasa rindu setelah sebulan lebih tidak bertemu. Lapas ini tidak seburuk penjara yang ku bayangkan, penjara yang penuh siksaan. Tapi disini tidak, di sini semua pegawai baik dan ramah. Aku berharap aku bisa melewati hukuman ini dengan tenang tanpa ada masalah. Dari masalah yang ku alami ini aku mengambil nilai positif, banyak perubahan yang ku peroleh dari hidupku. Di sini aku mendalami ilmu agama seperti salat dan mengaji, di sini banyak ilmu yang bisa diperoleh  dari pelajaran agama, mengejar paket sekolah dan belajar hidroponik bercocok tanam. Menurutku ini bukan seperti penjara tetapi ini seperti pesantren. Ya.. walaupun tempatnya tidak sebagaus pesantren, tapi Inshaallah di sini selalu melaksanakan salat dan mengaji. Dari tempat ini aku bisa berubah menjadi orang yang lebih baik. “ BEBAS” Aku menjerit bahagia hari itu, akhirnya hari yang ku tunggu-tunggu datang. Terimakasih ya Allah atas ujian dari-Mu, terima kasih telah menyelamatkan ku dari jalan yang salah. Dalam perjalanan pulang aku sudah tak sabar lagi ingin bertemu ibu dan keluarga lain karena yang menjemputku hari ini adalah abang. “Ibu dan ayah sudah menunggu kepulanganmu hari ini di rumah.” “Aku sudah tak sabar ingin cepat sampai bang, aku rindu segalanya.” Sesampai kami di rumah dengan langkah cepat aku menuju pintu. Tok!! Tok!! Tok ! “Assalamualaikum,” sedikit berteriak aku mengucap salam. “ Wa’alaikumussalam,” jawab ibu dari balik pintu. Pintu terbuka aku segera memeluk ibu. “Akhirnya kau pulang juga, nak.. ibu rindu sekali denganmu,” suara ibu seperti menahan tangis. Akhir cerita aku pun berkumpul kembali dengan keluargaku.     Puisi karya Anak LPKA Pangkalpinang

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0