SEMARANG – Lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan (rutan) di Jateng membutuhkan revitalisasi karena mayoritas sudah melebihi kapasitas. Jika tak segera ditangani, kondisi ini dikhawatirkan bisa memicu konflik di dalam penjara.
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Tengah Yunianto mengatakan, jumlah rutan di Jateng mencapai 20 tempat, sedangkan lapas sebanyak 24 lokasi. Total penghuninya mencapai 11.604 orang. â€Untuk kapasitas lapas ratarata sudah over load (melebihi kapasitas),†ucapnya di Semarang kemarin. Yunianto mencontohkan Lapas Kedungpane Semarang yang sekarang dihuni 1.200 orang. Padahal kapasitasnya hanya 600 orang.
Begitu juga dengan Lapas Magelang yang penghuninya 200 orang lebih banyak dari kapasitas 300 orang. â€Akibatnya, pelayanan kurang maksimal. Selain itu, juga rawan terjadi gesekan antar penghuni lapas,†ucapnya. Penghuni lapas di Jateng banyak yang merupakan kiriman dari luar daerah, seperti di Nusakambangan, Cilacap yang di antara penghuninya berasal dari Jakarta, Banten, Kalimantan, dan Medan. Bahkan, tak sedikit juga warga negara asing.
Dia sudah mengajukan ke pemerintah pusat untuk menambah ruang tahanan di sejumlah lapas, tapi hingga kini belum dipenuhi. Padahal lapas bukan hanya sekadar tempat untuk menjalankan hukuman, tapi juga tempat rehabilitasi dan tempat pembinaan bagi narapidana. Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Barda Nawawi Arief mengatakan kelebihan kapasitas merupakan faktor utama penyebab timbulnya banyak permasalahan di lapas.
â€Sebab, pastilah ada gesekangesekan dan masalah yang terjadi di sana,†katanya beberapa waktu lalu. Berbagai masalah itu seperti kerusuhan antarnarapidana, adanya sel mewah, rehabilitasi yang terganggu, dan munculnya pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia bagi para napi. Penuhnya lembaga permasyarakatan tersebut bukan dikarenakan tingginya kejahatan di Indonesia, melainkan sistem lembaga hukum yang salah. Hal itu dibuktikan dengan praktik penegakan hukum di Indonesia yang masih kaku, kurang alternatif dalam pidana, serta tidak mengedepankan prinsip hemat.
â€Contohnya saja, di dalam KUHP yang dipakai lembaga penegak hukum selama ini, 98% delik yang digunakan diancam dengan hukuman penjara. Hal itulah yang menyebabkan penjara penuh karena penjara dijadikan satu-satunya hukuman bagi pelaku kejahatan,†papar Barda. Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan sistem peradilan di negeri ini.
Dia berharap tidak semua pelaku kejahatan berakhir dengan hukuman penjara. Masih ada alternatif hukuman lain yang dapat diterapkan sebagai sanksi bagi pelanggar hukum tersebut. (amin fauzi/ andika prabowo)
Sumber : Koran-sindo.com