Melalui Surat Edaran, Dirjen Mempertegas Identitas Pemasyarakatan

Dalam salah satu untaian dakwahnya, dai’ kondang Abdullah Gymnastiar atau yang lebih fasih dikenal ust. Aa’ Gym menyampaikan “Keluarga sakinah bukanlah keluarga yang tanpa masalah, melainkan keluarga terampil dalam mengelola konflik menjadi buah yang penuh hikmah.” Direktorat Jenderal Pemasyarakatan adalah keluarga. Kekeluargaannya diikat pada visi yang sama yakni memanusiakan manusia. Namun, sebuah “ikatan” tentu berkorelasi dengan “masalah/ujian”, karena dengan masalah maka tumbuh kedewasaan dari sebuah ikatan.

Memasuki fase usia yang ke-55, Pemasyarakatan terus dihadapkan dengan pelbagai ujian dan tantangan. Derasnya arus informasi di era modernisasi bermuara terhadap kemudahan khalayak dalam mengetahui peristiwa yang terjadi, salah satunya dalam lingkup dunia Pemasyarakatan. Bilamana sebuah peristiwa bertentangan deng

Melalui Surat Edaran, Dirjen Mempertegas Identitas Pemasyarakatan

Dalam salah satu untaian dakwahnya, dai’ kondang Abdullah Gymnastiar atau yang lebih fasih dikenal ust. Aa’ Gym menyampaikan “Keluarga sakinah bukanlah keluarga yang tanpa masalah, melainkan keluarga terampil dalam mengelola konflik menjadi buah yang penuh hikmah.” Direktorat Jenderal Pemasyarakatan adalah keluarga. Kekeluargaannya diikat pada visi yang sama yakni memanusiakan manusia. Namun, sebuah “ikatan” tentu berkorelasi dengan “masalah/ujian”, karena dengan masalah maka tumbuh kedewasaan dari sebuah ikatan.

Memasuki fase usia yang ke-55, Pemasyarakatan terus dihadapkan dengan pelbagai ujian dan tantangan. Derasnya arus informasi di era modernisasi bermuara terhadap kemudahan khalayak dalam mengetahui peristiwa yang terjadi, salah satunya dalam lingkup dunia Pemasyarakatan. Bilamana sebuah peristiwa bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat maka riak seketika berubah menjadi gelombang yang kemudian dapat menghantam kerangka institusi.

Salah satunya ialah persoalan kekerasan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan. Mengapa hal ini menjadi persoalan? Dalam diskursus kontemporer, kebenaran dalam pengetahuan bukanlah sekedar refleksi atas realitas, kebenaran ialah hasil dari konstruksi diskursus dan rezim pengetahuan sehingga dapat menentukan apa yang benar dan apa yang salah (Jorgensen dan Phillips, 2007). Adapun Pemasyarakatan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia, kerangka konseptualnya dirumuskan pada Konferensi Kepenjaraan Nasional Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Bandung tahun 1964.

Pada momentum tersebut, disepakatilah definisi apa yang dimaksud kejahatan dan bagaimana narapidana harus diperlakukan. Salah satunya melalui penetapan 10 prinsip Pemasyarakatan yang merupakan derivasi dari frasa “Pemasyarakatan”. Salah satu prinsip yang disampaikan ialah Berikan bimbingan bukan penyiksaan, supaya mereka bertobat. Olehnya kekerasan dan pemasyarakatan adalah dua kondisi yang sifatnya paradoks. Keduanya berangkat dari premis yang berbeda. Kekerasan berdasar pada paradigma penjeraan (retributive) adapun Pemasyarakatan titik episentrumnya adalah Rehabilitasi / Restorasi.

Pemasyarakatan sebagai bagian dari obyek studi disiplin ilmu Penal merupakan salah satu dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan manusia di era positivistik. Auguste Comte tokoh postivisme yang masyhur, dalam karyanya berjudul Course of Positive Philosophy (1830) berpendapat bahwa positivisme adalah cara memahami dunia dengan berdasarkan sains. Lebih lanjut penulis menyatakan, karena bila ditelaah, hanya ada sedikit perbedaan antara ilmu sosial dan ilmu alam. Ilmu alam berjalan berdasarkan aturan maka begitupun perihal ilmu sosial.

Hasil yang objektif, logis, sistematis, dan dikembangkan berdasarkan pengalaman empirik merupakan ciri dari sains. Pendekatan ilmu penghukuman yang berbasiskan sains bermuara terhadap sistem penghukuman yang sifatnya objektif dan terukur karena berangkat dari kaidah Reasoning & Observation. Sehingga, observasi sebab-sebab mengapa seseorang melakukan kejahatan menjadi acuan dalam membuat pola penghukuman.

Salah satunya Differential Association, sebuah teori yang dikemukakan oleh Edwin Hardin Sutherland berkontribusi besar pada diskursus yang melahirkan sistem Pemasyarakatan. Edwin dalam karyanya yang berjudul Principles of Criminology (1934) mengungkapkan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku adalah hasil dari pembelajaran sosial yang didapatkan dari proses interaksi yang terjadi di lingkungan pergaulannya dan bukan hasil perilaku yang diturunkan atau diwariskan secara genetis. Pemikiran tersebut membantah aliran kriminologi positif fase awal (Cesare Lambrosso) yang mengsimplifikasikan penjahat sebagai orang yang memiliki bakat jahat dan bakat tersebut diperoleh sejak kelahiran (born criminal).

Kaitan antara tindak kejahatan dengan kegagalan seorang individu beradaptasi dengan masyarakat, melahirkan suatu perspektif bahwa dalam setiap kejahatan tanggung jawab tidak hanya terhadap pelaku semata, namun juga masyarakat. Olehnya, diperlukan peran serta masyarakat di dalam perbaikan perilaku pelaku kejahatan. Hal ini termaktub dalam Pasal 1 poin (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang mendefinisikan Sistem Pemasyarakatan sebagai suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan.

Dari Dominasi menuju Hegemoni

Foucault dalam karangannya yang berjudul Discipline and Punish (1975) menjelaskan bahwa pemenjaraan selain sebagai praktek kekuasaan produktif melalui pendisiplinan juga dapat menjadi praktek kekuasaan destruktif. Hal ini berkaitan dengan pola pembentukan masyarakat dan budaya dalam lingkup pemenjaraan.

Dalam pola penghukuman terjadi sebuah relasi kuasa terhadap tubuh. Relasi-relasi kuasa itu melatih, menanamkan kekuatan, dan menguasai tubuh. Tubuh menjadi kekuatan berguna sejauh merupakan tubuh yang produktif dan “tunduk” (Hardiyanta, 1997). Melalui kekuasaan, tubuh dimanipulasi, dibentuk, dan dilatih agar seorang pelaku kejahatan mampu menjadi pribadi yang dapat diatur. Namun, pendekatan yang digunakan dalam konsep pembentukan perilaku menjadi indikator yang substansial dalam sebuah proses penghukuman, apakah menjadi pola pembinaan yang produktif atau menjadi pola kekuasaan yang destruktif.

Dalam konteks relasi kuasa, konsep Hegemoni dari Antonio Gramsci menjadi menarik bila dikaitkan dengan dunia pemenjaraan. Gramsci dalam karangannya yang berjudul Hegemony and Revolution (2014) menyampaikan bila kekuasaan dicapai dengan mengandalkan kekuatan memaksa (kekerasan) maka hasil yang dicapai dinamakan “dominasi”. Pada kondisi ini, stabilitas dan keamanan memang tercapai, namun terdapat potensi untuk terjadinya pemberontakan sekalipun gejolak perlawanan tidak terlihat. Olehnya, metode relasi kuasa seperti ini cenderung tidak efektif. Akan tetapi lain halnya dengan metode kedua, yakni Hegemoni. Hegemoni merupakan jenis kepemimpinan dengan menggunakan pendekatan intelektual dan moral. Kekuasaan ini melalui persetujuan (konsensus) sehingga melingkupi penerimaan sisi intelektual dan juga emosional yang bermuara pada sifat penanaman ideologi yang lebih awet.

Sehingga transformasi dominasi menuju hegemoni yang diulas oleh Gramsci dapat dianalogikan dengan transisi Pemenjaraan yang cenderung mengandung aroma kekerasan menuju konteks Pemasyarakatan yang mengandung moralitas dan intelektualitas.  Intelektualitas Pemasyarakatan terkandung dalam komposisi pembinaan yang objektif dan sistematis dengan menguatkan peran Pembimbing Kemasyarakatan sebagai ujung tombak sistem pemasyarakatan. Setiap pola pembinaan akan dilaksanakan berdasarkan hasil Penelitian Kemasyarakatan Awal yang dilakukan oleh Petugas Pembimbing Kemasyarakatan dengan memerhatikan hasil assessment risk dan assessment needs dari tiap pelaku kejahatan.

Surat Edaran

Law is Adjusment to Purpose, Hukum hadir untuk mencapai suatu tujuan begitulah ucap Rudolf Stammler dalam karyanya yang berjudul Theorie der Rechtwissenschaft (1911). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan bertujuan untuk mewujudkan Restorasi-Reintegratif dalam pola penghukuman.

Untuk memulihkan dan menghindari kondisi penyimpangan dari tujuan pemasyarakatan, Direktur Jenderal Pemasyarakatan menerbitkan Surat Edaran No.PAS-422.PK.02.10.01 Tahun 2019 terkait Larangan Melakukan Tindak Kekerasan terhadap Tahanan / Narapidana dalam Upaya Pemenuhan, Perlindungan, dan Penghormatan Hak Asasi Manusia Tahanan / Narapidana yang ditetapkan pada tanggal 02 Mei 2019. Dengan substansi edaran sebagai berikut :

·         Memastikan telah melarang seluruh petugas LPKA / LAPAS / Rutan melakukan tindak kekerasan fisik dalam bentuk apapun kepada tahanan / narapidana;

·         Memastikan telah menetapkan ketentuan larangan melakukan tindak kekerasan dan perlakuan lain yang merendahkan martabat manusia dalam penerimaan tahanan / narapidana baru;

·         Memastikan adanya mekanisme pengawasan dan respon cepat terkait pengaduan terjadinya tindak kekerasan petugas terhadap tahanan / narapidana atau dari tahanan / narapidana kepada tahanan / narapidana lain;

·        Memberikan keteladanan dalam sikap dan perilaku yang baik dan tidak merendahkan martabat tahanan atau narapidana sehingga akan menimbulkan sikap menghormati dari tahanan / narapidana terhadap petugas.

Melalui Surat Edaran ini, Direktur Jenderal telah mempertegas identitas Pemasyarakatan. Dengan berlandaskan pendekatan moral dan intelektual maka sistem pemasyarakatan dapat berjalan secara optimal dan harmonis antara warga binaan, petugas, dan masyarakat. Bukankah dalam Dokumen Konferensi Lembang Bahroedin menjelaskan bahwa dasar dari Pemasyarakatan adalah kegotongroyongan yang dinamis antara narapidana dan masyarakatnya. Oleh karenanya narapidana harus dipahami tidak sebagai objek namun sebagai subjek.

Semangat Mengabdi, para petugas Pemasyarakatan!

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0