Polemik Penahanan Tahanan Yang Mengajukan Kasasi Ke Mahkamah Agung R.I dan Rancangan Undang Undang Pemasyarakatan

Polemik terkait penahanan  terhadap tahanan yang mengajukan kasasi menjadi sesuatu yang seharusnya mendapat perhatian khusus dalam dunia Pemasyarakatan Indonesia saat ini. Permasalahan muncul ketika tahanan yang sedang menjalani penahanan di rutan dan lapas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA)  dan MA belum mengeluarkan penetapan penahanan. Pengajuan kasasi membutuhkan waktu karena prosesnya melalui pengadilan negeri setempat serta kondisi geografis beberapa wilayah di Indonesia yang jauh dari ibukota negara sehingga mengharuskan untuk mendapatkan surat-surat tersebut diatas harus menunggu dikrim melalui via pos karena pihak yang berwenang mengeluarkan surat=surat tersebut adalah MAang bertempat di ibukota negara, yaitu Jakarta. Keterlambatan surat penetapan terebut terkadang menjadi celah hukum dan sering dimanfaatkan oleh tahanan, keluarga tahanan, dan lawyer atau penasihat hukum dari tahanan tersebut untuk menuntut agar pihak rutan atau lapas membebaskannya kare

Polemik Penahanan Tahanan Yang Mengajukan Kasasi Ke Mahkamah Agung R.I dan Rancangan Undang Undang Pemasyarakatan
Polemik terkait penahanan  terhadap tahanan yang mengajukan kasasi menjadi sesuatu yang seharusnya mendapat perhatian khusus dalam dunia Pemasyarakatan Indonesia saat ini. Permasalahan muncul ketika tahanan yang sedang menjalani penahanan di rutan dan lapas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA)  dan MA belum mengeluarkan penetapan penahanan. Pengajuan kasasi membutuhkan waktu karena prosesnya melalui pengadilan negeri setempat serta kondisi geografis beberapa wilayah di Indonesia yang jauh dari ibukota negara sehingga mengharuskan untuk mendapatkan surat-surat tersebut diatas harus menunggu dikrim melalui via pos karena pihak yang berwenang mengeluarkan surat=surat tersebut adalah MAang bertempat di ibukota negara, yaitu Jakarta. Keterlambatan surat penetapan terebut terkadang menjadi celah hukum dan sering dimanfaatkan oleh tahanan, keluarga tahanan, dan lawyer atau penasihat hukum dari tahanan tersebut untuk menuntut agar pihak rutan atau lapas membebaskannya karena pihak pihak  tersebut berpendapat bahwa pihak rutan atau lapas sudah tidak memiliki dasar penanahan yang sah  bedasarkan pasal 19 ayat 7 PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang menegaskan Kepala Rutan/Lapas mengelurakan tahanan yang habis masa penahanan  dan tidak memiliki perpanjangan penahanan. Dari uraian diatas muncul pertanyaan apakah Kepala Rutan/Lapas dapat serta merta mengeluarkan tahanan yang belum memilki surat penetapan penahanan tingkat kasasi ? Terjadi multi tafsir terkait pembebasan tahanan yang habis masa penahanan. Disatu sisi, Kepala Rutan/Lapas berpegang  amar putusan pada tingkat banding yang menetapkan terdakwa tetap ditahan dan pada Surat Edaran bersama Ketua Muda MA dan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Nomor : MA/PAN/368/XI/1983 tentang kesatuan pelaksanaan Undang Undang Nomor: 8 Tahun 1981 jo PP Nomor : 27 Tahun 1983 tanggal 19 November 1983 yang menetapkan bahwa Kepala Rutan/Lapas tidak dibenarkan mengeluarkan tahanan yang perkaranya masih diperiksa di tingkat kasasi jika lama penahanan yang sudah dijalani belum melewati hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan dan menempuh jalur koordinasi dengan instansi terkait. Disisi lain, tahanan yang ditahan berpendapat putusan banding sudah tidak berkekuatan hukum lagi karena tahanan tersebut telah mengajukan kasasi  dan juga tahanan teresebut mendalilkan  bahwa  pasal 19 ayat 7 PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP  menegaskan Kepala Rutan/Lapas mengelurakan tahanan yang habis masa penahanan  dan tidak memiliki perpanjangan penahanan. Dalam Ilmu Hukum Pidana, kita kenal dengan  asas hukum yang dapat digunakan untuk menjadi acuan dan juga dipakai  untuk memperjelas berbagai persoalan dalam hukum pidana diantaranya asas Hukum Lex Spesialis Derogat Lex Generalis yang artinya aturan khusus menyampingkan aturan umum sehingga sepatutnya Surat Edaran yang bersifat khusus diatas berlaku dan menjadi dasar terkait penahanan tahanan yang mengajukan kasasi guna mengesampingkan PP tersebut diatas. Jika kita lihat lebih jauh terkait pembebasan seorang tahanan yang belum memiliki penetapan penahanan atau perpanjangan penahanan karena hanya akibat  dari keterlambatan sebuah surat, maka tidaklah logis bagi seorang Kepala Rutan/Lapas membebaskannya karena akibat yang ditimbulkan dari pembebasan tersebut akan berimplikasi cukup luas di masyarakat dan jika yang dibebaskan adalah perkara perkara yang meresahkan masyarakat, maka akan mengganggu ketertiban umum serta menimbulkan opini publik yang bersifat negatif terhadap pihak rutan dan lapas sehingga sekiranya pihak rutan dan lapas jika mengalami persoalan tersebut agar mengedepankan pendekatan koordiansi dengan pihak terkait guna  meminimalisir  hal hal buruk yang akan terjadi. Telah kita tahu bersama bahwa tujuan hukum adalah untuk mendapatkan sebuah keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, maka korelasinya dengan permasalahan pembebasan tahanan sekiranya pihak rutan dan lapas yang diatur dalam Undang Undang Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum mampu melihat dan mengambil langkah langakah yang aktiv dengan mengedepankan kewaspadaan dan kehati-hatian dengan tujuan terlaksananya tujuan hukum yang adil, bermanfaa,t dan berkepastian hukum dalam masyarakat. Pada saat ini Direktorat Jenderal Pemasyarakatan telah bekerjasama dengan MA terkait  tahanan yang mengajukan kasasi dengan mengunakan sistem berbasis online sehingga memudahkan MA dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan untuk memantau tahanan yang ditahan di rutan/lapas di Indonesia yang mengajukan kasasi, namun hal ini tidak serta merta berlaku di wilayah indonesia seluruhnya karena berbagai faktor teknis terkait jaringan internet, SDM, dan kendala teknis lainnya. Beberapa permasalahan pernah terjadi seperti di Propinsi Papua yang sempat menghebohkan, yaitu kasus Labora Sitorus yang perpanjangan penahanan dari MA belum diterima sehingga pihak Lapas Sorong membebaskannya. Selanjutnya, akibat keterlambatan surat penetapan penahanan di Maluku Utara tepatnya di Rutan Kelas IIB Ternate sempat di praperadilan oleh penasihat hukum salah satu tahanan yang mengajukan kasasi  dan yang beberapa hari kemarin di Rutan Pondok Bambu, yaitu pengacara Jessica Kumala Wongso, terdakwa pembunuhan Mirna atau yang kita kenal dengan peristiwa kopi maut mempersoalkan masa penahanan Jessica yang menurut asumsi pengacaranya bahwa pihak rutan sudah tidak memiliki dasar lagi untuk menahan Jessica karena masa penahanan telah habis karena Jessica sedang mangajukan upaya kasasi dan MA belum mengeluarkan surat penetapan penahanan. Tiga contoh permasalahan yang terjadi pada  tiga daerah diatas  mungkin saja juga pernah terjadi pada daerah daerah lain diindonesia namun tidak terekspos karena terkendala media informasi. Menyikapi hal hal tersebu,t kiranya Kementerian Hukum dan HAM dan Direktorat  Jenderal Pemasyarakatan dapat melihat persoalan tersebut dengan komperhensif, melakukan upaya upaya untuk mensinergikan diri dengan instansi terkait untuk mampu membentuk Undang Undang atau produk hukum lainnya yang dapat memberikan solusi mengenai permasalahan permasalahan yang terjadi diatas. Membaca Revisi Final Rancangan Undang Undang (RUU) Pemasyarakatan yang diposting pada halaman regulasi di Website Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, penulis melihat bahwa belum tersalurkan poin-poin penting yang menyangkut persoalan persoalan yang sedang marak dihadapi petugas Pemasyarakatan saat ini. Pada rancangan Undang Undang tersebut pada pasal 18 :  Kepala Rutan wajib mengeluarkan demi hukum tahanan yang telah habis masa penahanan atau perpanjangan penahanannya. Hal ini menurut penulis pasal yang semula berada dalam PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP dimunculkan kembali dalam RUU Pemasyarakatan. Jika dikaitkan dengan permasalahan permasalahan diatas pasal 18 pada RUU Pemasyarakatan tersebut kiranya dapat ditinjau kembali atau dapat direvisi kembali. Menurut penulis, pasal 19 Ayat 7 PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP yang menegaskan Kepala Rutan/Lapas mengeluarkan tahanan yang habis masa penahanan sudah tidak relevan dengan kondisi penahanan tahanan saat ini sehingga pasal tersebut segera direvisi sehingga pelaksanaan tugas di bidang Pemasyarakatan yang merupakan bagian dari Criminal Justice System di Indonesia tidak terhambat dan berjalan sebagaimana mestinya berdasarkan tujuan dari sebuah proses peradilan pidana terhadap pelaku kejahatan. Begitu pula terkait dengan revisi Undang-Undang Pemasyarakatan agar Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menginventarisasi masalah masalah penting di lapangan guna mendapat data dan informasi terkait pelaksanaan tugas di rutan dan lapas sehingga masalah masalah tersebut dapat diakomodir untuk  mendapatkan  pemecahannnya dan  solusi solusi tersebut dapat terangkum  masuk dalam poin poin revisi Undan-Undang Pemasyarakatan. Dengan kata lain, kiranya revisi Undang-Undang Pemayarakatan diharapkan nanti pro terhadap pelaksanaan tugas Pemasyarakatan di lapangan yang kian berat dan berisiko.   Penulis: Husen Hamid (Staf Pelayanan Tahanan Rutan Ternate Maluku Utara)

What's Your Reaction?

like
3
dislike
1
love
0
funny
0
angry
1
sad
0
wow
0