Polemik Pembebasan Narapidana di Tengah COVID-19, Kriminolog: Ancaman yang Tersebar Tidak Sesuai Fakta

Polemik Pembebasan Narapidana di Tengah COVID-19, Kriminolog: Ancaman yang Tersebar Tidak Sesuai Fakta

Jakarta – Setelah Menteri Hukum dan HAM mengeluarkan keputusan pembebasan narapidana di tengah pandemi Coronavirus Disease (COVID-19) pada 30 Maret 2020 lalu, muncul berbagai informasi terjadinya berbagai tindak kriminal dan ancaman di tengah masyarakat yang menjadi akibat diterapkannya peraturan ini. Hal ini menjadi perhatian besar Kemenkumham dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS).

Faktanya, masih minim pemahaman bahwa kondisi di dalam lapas/rutan di Indonesia sangat rawan penyebaran dan penularan penyakit. Pembebasan narapidana menjadi pilihan terakhir yang harus dipahami oleh berbagai pihak untuk meminimalisir terjadinya penyebaran virus dan penyakit di dalam lapas/rutan. Kondisi yang dihadapi warga binaan seperti kelebihan penghuni, sanitasi yang kurang memadai, memunculkan rekomendasi terbaik bagi mereka untuk dirumahkan sehingga mengurangi risiko penularan yang besar.

Kriminolog Leopold Sudaryono menyampaikan bahwa fenomena residivis merupakan hal yang umum terjadi di seluruh dunia. Dalam diskusi virtual yang dilaksanakan pada Selasa (14/4) antara Ditjen PAS, Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2), The Asia Foundation (TAF), serta sejumlah pakar hukum dan praktisi Pemasyarakatan, Leopold memaparkan data selama tahun 2020 angka kejahatan residivis adalah 0.05%, di mana angka ini justru turun dari tahun sebelumnya.

“Kalau dibandingkan kondisi normal sebelum Covid-19, angka ini masih kecil sekali. Jenis kejahatan yang diulangi pun berkisar pada penyalahgunaan narkoba dan pencurian. Sangat berbeda dengan wacana akan ada gelombang pembunuhan dan perkosaan yang disebarkan,” terangnya.

Wacana yang berkembang di tengah masyarakat melalui pesan berantai di berbagai media komunikasi tidak merefleksikan data jumlah dan jenis pidana residivis yang ada. Hal ini senada dengan pemaparan Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Nugroho, bahwa banyak sekali hoax yang beredar tentang banyaknya mantan narapidana yang membuat ulah setelah dibebaskan di tengah COVID-19 ini.

“Sampai dengan saat ini, 12 napi yang berulah dari sekitar 36 ribuan yang sudah dikeluarkan,” ungkap Nugroho. Pihaknya juga menegaskan bahwa sesuai dengan instruksi Menkumham, narapidana yang kembali melakukan tindak kejahatan setelah bebas akan diberi sanksi berat.

Sesuai dengan peraturan dan prosedur pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi, di tahun 2020 ini telah dipetakan 40.329 warga binaan yang secara berangsur-angsur sudah harus dikeluarkan. Data ini disampaikan oleh Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi, Yunaedi. “Secara normatif, tanpa adanya Permenkumham 10 ini sebenarnya memang 40 ribu narapidana sudah harus keluar secara bertahap, termasuk yang 36 ribu ini. Mengapa ini menjadi heboh? Karena ini dikeluarkan bersama-sama,” ungkap Yunaedi.

Senada dengan hal itu, Direktur Perawatan Kesehatan dan Rehabilitasi, Yuspahruddin, juga menjelaskan bahwa seluruh langkah yang diterapkan Ditjen PAS sudah berpedoman dengan apa yang dikeluarkan oleh ICRC dan WHO dalam menanggulangi COVID-19.

Turut hadir dalam diskusi virtual ini perwakilan Ombudsman RI, Ninik Rahayu. Pihaknya menyampaikan pentingnya sosialisasi, memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada publik dari pemerintah. “Masyarakat juga perlu diberi bekal agar tidak terjadi penolakan terhadap warga binaan yang bebas,” jelasnya.

Sementara itu, pakar hukum Bivitri Susanti memberikan pandangannya bahwa persoalan di lapas/rutan tidak sesederhana itu. Terjadi permasalahan sistemik pada perundang-undangan dan hukum di Indonesia. Menurutnya, saat ini adalah momentum baik untuk mendorong perubahan dari hulu dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. “Adanya residivis justru membuktikan bahwa untuk tindak pidana tertentu, pemidanaan/penjara itu tidak efektif, melainkan perlu diterapkan restorative justice,” jelas Bivitri.

Salah satu persoalan besar yang ada dari dulu hingga sekarang adalah kelebihan penghuni di dalam lapas/rutan. Hal ini sesungguhnya tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemasyarakatan, namun juga aparat penegak hukum (APH) lainnya. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas, Prahesti Pandanwangi, senada dengan pendapat Bivitri bahwa pendekatan restorative justice perlu dilakukan.

“Program-program yang sudah dilakukan Ditjen PAS sendiri sudah sangat baik, salah satunya Pokmas yang menjadi program prioritas nasional. Selebihnya mesti ditingkatkan koordinasi dan peran APH terkait lainnya untuk sama-sama bisa mengawasi dan mengatasi persoalan ini,” imbuh Hesti.

Pakar Pemasyarakatan, Ali Aranoval menambahkan bahwa sangat diperlukan komunikasi yang cepat dan serius oleh setiap APH. “Stop dulu masukkan tahanan ke lapas/rutan. Jangan sampai ada dua kondisi berbeda, Kemenkumham mengeluarkan tapi APH lain terus memasukkan (tahanan),” tandasnya.   prv

What's Your Reaction?

like
2
dislike
0
love
1
funny
0
angry
0
sad
1
wow
0