Mengenal Lebih Dalam Peran PK: Tak Hanya Pendamping Anak, Tapi Mitra Strategis Pembangunan Sosial

Mengenal Lebih Dalam Peran PK: Tak Hanya Pendamping Anak, Tapi Mitra Strategis Pembangunan Sosial

Dalam perbincangan tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau SPPA, nama Pembimbing Kemasyarakatan (PK) sering disebut. Bahkan, sebagian besar Aparat Penegak Hukum (APH), aktivis perlindungan anak, hingga media massa sudah cukup familiar dengan kehadiran PK ketika ada kasus Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH). Perannya dianggap vital mulai dari penyusunan penelitian kemasyarakatan (litmas), proses diversi, hingga pendampingan selama proses hukum berjalan pada setiap tingkatannya.

Namun ironisnya, di luar konteks peradilan pidana anak, nama dan peran PK justru nyaris tidak dikenal, bahkan di kalangan pemangku kebijakan daerah. Tidak sedikit pihak di lingkungan pemerintah daerah (pemda), dinas sosial, hingga lembaga pemberdayaan masyarakat yang masih awam dengan siapa sebenarnya PK dan apa saja tugas strategis yang mereka emban.

 

Pengertian PK Menurut Undang-Undang

Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan memberikan pengertian jelas bahwa PK adalah petugas yang melaksanakan litmas, pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap Klien, baik di dalam maupun di luar proses peradilan pidana. Dapat dijelaskan lebih lanjut, PK adalah petugas yang memiliki peran penting dalam Sistem Pemasyarakatan. Mereka bertugas melakukan litmas, yaitu mengumpulkan data dan informasi mengenai latar belakang, kondisi sosial, dan perilaku Klien untuk kepentingan peradilan pidana atau pembimbingan. Selain itu, mereka juga memberikan pendampingan kepada Klien, baik dalam proses peradilan maupun setelah menjalani pidana untuk membantu mereka beradaptasi dengan kehidupan sosial.

Tugas PK selanjutnya adalah pembimbingan, dilakukan untuk membantu Klien mengembangkan potensi diri, mengatasi masalah, dan mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana. Terakhir, tugas PK, yaitu pengawasan, dilakukan untuk memastikan Klien memenuhi kewajiban dan menjalani program pembimbingan dengan baik. Klien yang dimaksud bisa berupa Tahanan, Narapidana, Anak Binaan, atau Klien Pemasyarakatan lainnya.

Pelaksanaan tugas PK dilakukan baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan), serta di dalam maupun di luar proses peradilan. Dengan demikian, PK memiliki peran krusial dalam upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial Narapidana dan Klien Pemasyarakatan lainnya, serta dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. 

 

Jembatan Antara Hukum dan Masyarakat

Dalam banyak perkara, PK menjadi sosok pertama yang membuka percakapan baru antara Klien Pemasyarakatan dengan lingkungan sosialnya. Mereka hadir dengan pendekatan psikososial dan empati, bukan sekadar administratif. Mereka memetakan latar belakang Klien, mengidentifikasi potensi, hambatan, dan jejaring sosial yang bisa dimanfaatkan dalam proses reintegrasi.

Peran inilah yang seharusnya mendapat pengakuan lebih luas dari pemda. Sayangnya, kolaborasi formal antara Balai Pemasyarakatan (Bapas) sebagai tempat bertugasnya PK dengan pemda masih minim. Banyak inisiatif program daerah, seperti pelatihan kerja, bantuan sosial, atau pembinaan UMKM yang tidak melibatkan PK sebagai mitra meskipun data dan jaringan Klien yang dimiliki PK sangat relevan dengan sasaran program tersebut.

 

Mengapa Pemda Perlu Peduli

Pertama, karena keberhasilan rehabilitasi sosial dan pencegahan residivisme tidak hanya bergantung pada Lapas dan Rutan, tetapi juga pada lingkungan sosial yang menerima dan mendukung proses pemulihan. Pemda memiliki peran strategis dalam membangun lingkungan yang kondusif tersebut dan PK adalah mitra alami yang memahami dinamika Klien dari dekat.

Kedua, data yang dimiliki PK sangat bermanfaat dalam perencanaan program berbasis kebutuhan nyata. Sebagai contoh, jika pemda ingin mengembangkan program pemberdayaan eks Narapidana di sektor pertanian atau UMKM, PK bisa menyumbangkan data soal keterampilan, latar belakang pendidikan, hingga minat Klien. Kolaborasi seperti ini akan membuat program lebih tepat sasaran dan berkelanjutan.

Ketiga, pelibatan PK juga akan memperkuat pendekatan restorative justice yang makin didorong oleh kebijakan nasional. Prinsip pemulihan, dialog, dan reintegrasi yang diusung dalam pendekatan ini tidak akan berjalan efektif jika hanya ditopang oleh APH pusat, tanpa dukungan konkret dari pemda, baik tingkat desa atau kelurahan, kabupaten/ kota, bahkan tingkat pemerintah provinsi.

 

Saatnya Keluar dari Bayang-Bayang

Sudah saatnya PK tidak hanya dikenal sebagai ‘pendamping ABH’, tetapi juga sebagai pilar penting pembangunan sosial yang manusiawi dan inklusif. Perlu ada upaya serius dari seluruh pihak, khususnya pemda, untuk memahami dan membuka ruang sinergi bersama PK dan Bapas.

Tidak cukup hanya mengenal saat ada perkara hukum anak. Justru dalam proses rehabilitasi sosial pascahukuman, peran PK menjadi lebih kompleks dan krusial. Ia menjadi jembatan harapan bagi mereka yang ingin kembali membangun hidupnya dan menjadi pengingat bagi kita bahwa keadilan sejati adalah ketika negara hadir untuk memulihkan, bukan hanya menghukum.

 

 

Penulis: Anto Setiawan (PK Bapas Amuntai)

What's Your Reaction?

like
2
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0