Abdi Pemasyarakatan, Sebuah Kebanggaan (Refleksi 56 Tahun Pemasyarakatan)

Abdi Pemasyarakatan, Sebuah Kebanggaan (Refleksi 56 Tahun Pemasyarakatan)

Dengan lirih, SP bertutur, “Saya hanya mengantar barang yang salah, pak. Kala itu, bapak kos meminta mengantarkan sejumlah uang kepada kerabatnya dengan iming-iming upah Rp. 20 ribu. Lumayan mengingat bentor (becak motor) saya sepi pelanggan hari itu. Setelah menyerahkan sejumlah uang sebagaimana yang diamanahkan, si kerabat menitipkan sebuah paket seukuran kotak korek berbalut lakban hitam untuk diantarkan ke bapak kos. Sedikit buah tangan,” ujarnya.

Tiada keraguan. Titipan itu SP masukkan dalam saku. Bentor pun kembali melaju pulang. Tiba di lokasi, disalurkan barang yang dititipkan. Sederhana. Kami pun lanjut ngobrol depan kamar hingga akhirnya bapak kos ingin buang air. Ia beranjak ke kamar mandi. Beberapa saat, sejumlah penyidik datang mengonfirmasi keberadaan bapak kos. Saya menjawab seadanya, ia ke kamar mandi. Namun, matanya menoleh tepat ke atas televisi dalam ruang kos.

Paket kecil itu tertangkap lensa mata sang penyidik. Seketika saya menyatakan itu milik bapak, titipan dari teman. Paket pun dibuka. Naas. Isinya narkotika jenis sabu. Saya beserta bapak kos digelandang ke kepolisian sektor untuk pemeriksaan lebih lanjut. Segala hasil uji negatif, tes urin maupun rambut. Namun apalah daya, selain bapak kos, saya pun turut didakwa sebagai kurir dengan vonis enam tahun.

Kisah pilu ini belum kandas.

SP adalah pemuda tangguh asal tanah Sumbawa, tepatnya Kota Bima. Keterampilan bertinju sejak usia belia membuat ia digaet promotor asal Sulawesi Selatan. Prestasi terbilang membanggakan. Menorehkan perak pada Pekan Olahraga Nasional Samarinda 2008. Tak hanya medali, ia juga pulang bersama jalinan asmara yang belum tuntas.

Ia terpikat seorang gadis tanah Borneo saat masa perhelatan. Bagai tipikal petinju pressure fighter yang bertumpu pada agresivitas, tak cukup setahun, keduanya telah naik pelaminan. Ia pun memboyong sang isteri ke Kota Daeng untuk memulai bahtera kehidupan.  

Singkat cerita, sistem pernapasan SP mulai bermasalah musabab kebiasaan merokok yang telah akut. Semakin hari semakin ringkih ia mengalunkan tubuh di atas ring. Bakat itu perlahan sirna. Sang promotor pun menghentikan kontrak.

Tapi sekali lagi, SP adalah pemuda tangguh. Ia pun beralih profesi sebagai tukang bentor di tanah rantauan demi menjaga bahtera tetap berlayar. Tohop Ra Ndai Sura Dou Labo Dana. Segala kesulitan pada diri saya tak penting, yang terpenting adalah orang di sekitar saya. Sebuah falsafah tanah Bima yang merangkul imaji “si peraih medali perak.”

Pasca penangkapan, bahtera rumah tangga SP makin diterjang ombak pelbagai sisi. Isteri dan kedua putrinya diusir dari kontrakan, luluh-lantah di jalan kota metropolitan. Pemenuhan kebutuhan primer yang begitu rumit hingga alat komunikasi pun isteri tak punya. 

Tiga bulan kemudian, ia memperoleh kabar mengenaskan. Si belahan jiwa terbaring payah di rumah sakit atas luka upaya pemerkosaan sejumlah tunawisma. Setelah pulih, sang isteri datang bersua ke tempat pemulihan sang suami. SP berpesan, “Carilah modal, lalu baliklah ke kampungmu. Tak usah berpikir kehidupan saya di sini. Sekalipun hanya sendiri, setidaknya saya lelaki, mampu untuk menjaga diri.” Lagi-lagi, Tohop Ra Ndai Sura Dou Labo Dana.

Kutipan percakapan ini dituturkan saat proses asesmen, kegiatan pengumpulan informasi demi mengukur tingkat risiko Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Sebuah kaidah individual treatment yang tergolong awam bagi masyarakat. Metode ini adalah perkembangan sistem rehabilitasi yang diinisiasi Andrews, Bonta, dan Hoge (1990) dari Universitas Carleton sebagai dekonstruksi pasca kritik Robert Martinson dalam artikel bertajuk What Works? Questions and Answers About Prison Reform (1974).

Dalam narasinya, Martinson menyimpulkan sistem rehabilitasi pemenjaraan Amerika di era 1970 cenderung “nothing works.” Menyikapi temuan tersebut, dilakukan pelbagai upaya tindak lanjut demi menutup berbagai kekurangan, seperti kegiatan mengukur tingkat risiko residivis narapidana, identifikasi pelaku yang membutuhkan intervensi dan bentuk intervensi, serta klasifikasi penempatan pelaku kejahatan sesuai dengan tingkat risiko.

Menyimak kisah pilu adalah konsumsi rutinitas petugas Pemasyarakatan, khususnya Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang melaksanakan Penelitian Kemasyarakatan. Terkadang dalam sepekan, petugas telah mengonsumsi pelbagai macam santapan.

Sebagai makanan pembuka, disajikan kisah RS, anak 17 tahun yang nekat merampok tetangga demi biaya bersalin isteri di rumah sakit. Diselidik, ternyata RS adalah putra perempuan penghibur.

Lalu ke makanan utama, disajikan kisah AM, ibu rumah tangga yang rela menjadi kurir narkotika atas desakan suami demi menjaga keharmonisan rumah tangga. Pasca penangkapan, sang suami malah menikah dengan sahabat sendiri. Sebagai makanan penutup, kisah MN, kakek yang segera menghirup udara bebas, namun ia kebingungan akan ke mana mengingat tak satu pun keluarga yang bersedia untuk menerima.

 

Realita Dunia Balik Jeruji

Dunia balik jeruji punya cerita. Pilu, namun sifatnya tidak mengada-ada. Dalam telaah kriminologi, relasinya tergolong wajar bahwa potensi kejahatan akan tinggi saat partisipasi dalam persoalan ekonomi, politik, dan sosial seseorang tergolong rendah. Begitulah William L. Thomas dan Florian Znaniecki mendalilkan dalam karyanya The Polish Peasant in Europea and America (1927).

Atau postulat Asosiasi Differensial dari Edwin Sutherland yang mengikrarkan kejahatan berakar dari organisasi sosial dan merupakan ekspresi dari organisasi sosial yang dimaksud. Pelbagai maklumat di atas berujung pada sebuah kesimpulan. Pelaku kejahatan adalah korban sistem sosial.

Secara konkret, terminologi korban adalah ketidakmampuan individu dalam beradaptasi. Atas kontribusi ilmu pengetahuan, sistem penghukuman di Indonesia pun turut bertransformasi. Dari konsep resosialisasi yang diungkapkan Hijmans pada masa penjajahan hingga konsep Pemasyarakatan yang dideklarasikan Dr. Sahardjo tahun 1964.

Pemasyarakatan adalah simbol dominasi intervensi telah menggantikan dominasi punitif dalam sistem penghukuman. Namun, upaya tersebut dihambat struktur dan substansi pemidanaan yang masih berpijak pada reaksi punitif. Maka, diskusi overcrowded tidak pernah tuntas. Sebuah hal yang wajar.

Pemenuhan hak-hak dasar narapidana yang tidak optimal, kerusuhan, peredaran narkotika di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) / rumah tahanan negara (rutan), dan pelbagai realita pungutan liar merupakan efek dari kondisi kepadatan penghuni. Alih-alih mempolemikkan tabiat hulu yang masih dahaga pemenjaraan, Pemasyarakatan sebagai hilir selalu menjadi lumbung sentimen.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sentimen adalah pendapat atau pandangan yang didasarkan pada perasaan berlebih-lebihan terhadap sesuatu. Bila dijabarkan secara ilmiah, adalah ketika korteks sebagai perangkat otak yang mengatur perasaan mampu mempengaruhi lobus frontal, perangkat otak yang mengatur rasionalitas. Muaranya adalah kesimpulan yang tidak bijak.

Sebagai lumbung sentimen, seringkali oknum masyarakat keliru dalam menafsirkan fenomena di dunia Pemasyarakatan. Kondisi terkini adalah “meme” bertajuk kemampuan narapidana negara lain memproduksi Alat Pelindung Diri (APD), sedangkan narapidana negara sendiri hanya piawai bergoyang tik-tok.

Mujur saja, gugus tugas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) responsif memulihkan wabah fallacy of over generalization ini. Sebuah virus yang menyerang nalar dengan struktur mengangkat satu-dua data untuk menjustifikasi secara umum. Seketika, Ditjen PAS merilis data terkait Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang berkontribusi dalam produksi sarana penanganan pandemi Coronavirus disease.

APD produksi Lapas Perempuan Semarang, face shield produksi Lapas Cibinong, hand sanitizer produksi Lapas Malang, masker produksi Rutan Trenggalek dan Lapas Tangerang, serta beberapa UPT yang belum sempat terdeteksi imbas dari derasnya wabah kontribusi Ditjen PAS. Sayangnya, good news semacam ini kurang bersahabat di ruang deliberasi.

Pantas saja, Menteri Kehakiman, Ali Said, jauh hari telah memfatwakan tantangan-tantangan yang dihadapi Pemasyarakatan adalah setinggi gunung. Seringkali bersifat kejam dan kadangkala mencekam perasaan, sekilas sambutan pada peringatan Hari Bakti Pemasyarakatan 27 April 1981.

 

Sebuah Kebanggaan

Tantangan-tantangan Pemasyarakatan tidaklah hadir sebagai beban, melainkan sebuah kebanggaan. Ada yang tersesat, Pemasyarakatan hadir menunjukkan jalan. Ada pula yang gagal, Pemasyarakatan merangkul menabuh harapan. Dari PK, petugas pengamanan, Wali Pemasyarakatan, aparat rumah penyimpanan benda sitaan negara, serta seluruh staf lapas, balai pemasyarakatan, maupun rutan, sudah selayaknya mengucap syukur terlibat di tambang amalan.

Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitab Kasyful Kurbah mendalilkan perihal keterasingan terbagi ke dalam dua tingkatan, yaitu saleh dan muslih. Perkara saleh adalah menegakkan sunnah sekedar untuk dirinya tanpa menoleh lingkungan sekitar yang mengalami kerusakan. Adapun muslih adalah perkara yang tidak hanya menegakkan sunnah untuk dirinya, namun turut memulihkan kerusakan moralitas di lingkungan sekitar. Lalu, Ibnu Rajab menyimpulkan tingkatan muslih jauh lebih mulia dari sekadar saleh karena ia terlibat dalam mengembalikan kehormatan nilai agama Allah yang tenggelam dalam parit kehidupan.

Semoga segala tetesan hidayah yang telah disajikan dengan penuh kehangatan kepada para WBP menjadi pemberat timbang amalan di hari pembalasan. Selamat Hari Bakti Pemasyarakatan ke-56. Kami bangga.

 

 

Penulis: Moch. Fauzan Zarkasi (PK Bapas Kelas I Makassar)

 

 

 

 

 

 

What's Your Reaction?

like
15
dislike
0
love
0
funny
1
angry
0
sad
0
wow
0