Psikiatris dan Penghapus Pertanggungjawaban Pidana Perspektif Pasal 44 KUHP
Ilmu hukum pidana mengenal dua alasan penghapus pertanggungjawaban pidana, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Pertama, alasan pembenar berarti alasan yang menghapus sifat melawan hukum suatu tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). Adapun alasan pembenar yang terdapat dalam KUHP ialah Pasal 48 (keadaan darurat), Pasal 49 ayat (1) (pembelaan terpaksa), Pasal 50 (peraturan perundang-undangan), dan Pasal 51 ayat (1) (perintah jabatan). Kedua, alasan pemaaf yang menghapus kesalahan dari pelaku suatu tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum. Alasan pemaaf yang terdapat dalam KUHP ialah Pasal 44 (tidak mampu bertanggungjawab), Pasal 49 ayat (2) (bela paksa lampau atau noodweer exces), dan Pasal 51 ayat (2) (dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah).
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP, yaitu: (ayat 1) Barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit penyakit tidak dipidana; (ayat 2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun ssbagai waktu percobaan.
Uraian dari Pasal 44 ayat (1) dan (2) di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jika seseorang mampu memahami nilai perbuatan, mampu memahami nilai resiko perbuatannya, mampu menyadari kemauannya, dan mampu mengarahkan kemauannya, maka individu itu dianggap bertanggungjawab terhadap perbuatannya (Darmabrata, 2003: 89).
Untuk menentukan seseorang terdakwa/terperiksa secara psikiatrik (kejiwaan) apakah yang bersangkutan terganggu jiwanya, diperlukan seorang ahli psikiatri dan diminta kesaksiannya. Keterangan ahli psikiatri di pengadilan berupa lisan dan surat (Visum et Repertum Psychiarticum) diperlukan sebagai pembuktian untuk membuat terang hakim mengenai kondisi jiwa terdakwa dan kemampuan bertanggungjawabnya.
Kedudukan Visum et Repertum Psychiatricum
Visum et Repertum Psychiatricum (VeRP) merupakan dokumen tertulis yang memuat keterangan kondisi kejiwaan terdakwa/terperiksa yang dibuat oleh seorang dokter. Menurut Darmabrata (2003: 36), yang dikerjakan dokter dalam pembuatan VeRP adalah upaya pemberian bantuan pada petugas hukum untuk menentukan ada tidaknya gangguan jiwa, ada tidaknya hubungan antara gangguan jiwa tersebut dengan perilaku yang mengakibatkan peristiwa hukum, dan bagaimana kemampuan tanggung jawab terperiksa. VeRP itu sendiri dibuat atas dasar sebuah permintaan. Pihak yang berhak menjadi pemohon VeRP adalah penyidik, penuntut umum, hakim pengadilan, tersangka atau terdakwa (melalui pejabat sesuai dengan tingkat proses pemeriksaan), korban (melalui pejabat sesuai dengan tingkat proses pemeriksaan), serta penasihat hukum melalui pejabat sesuai dengan tingkat proses pemeriksaan.
Secara faktual, kasus hukum yang paling sering dimintakan VeRP adalah kasus pidana. Namun ada juga kasus hukum perdata yang membutuhkan VeRP seperti:
- Penyalahgunaan narkotika (Putusan No. 575/Pid.B/2013/Pn. Kis);
- Penganiayaan (Putusan No. 265/Pid. B/2020/Pn. Sbg);
- Penodaan agama (Putusan No. 465/Pid. B/2019/Pn. Cbi);
- Cerai talak (Putusan No. 0494/Pdt. G/2017/Pa. Amb).
Contoh kasus di atas, terdakwa/termohon tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya karena terdakwa/termohon menderita gangguan jiwa berat, seperti Skizofrenia dan Paranoid Syndrome. Oleh karenya, Hakim memerintahkan Jaksa Penuntut Umum untuk melepaskan terdakwa dari dalam Rumah Tahanan Negara atau dari segala tuntutan hukum.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang sakit, berubah akalnya, atau mengidap gangguan jiwa tidak dapat dihukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 44 KUHP, orang yang melakukan suatu perbuatan sedangkan pada saat melakukan perbuatan orang tersebut menderita sakit berubah akalnya atau gila, maka perbuatan tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban kepadanya dan orang tersebut tidak dapat dihukum.
Penulis: Insanul Hakim Ifra (Rutan Depok)