Dampak Keadilan Restoratif Bagi Pemasyarakatan

Dampak Keadilan Restoratif Bagi Pemasyarakatan

Beberapa bulan yang lalu, masyarakat sempat dibuat heboh dan terharu atas pemberitaan beberapa perkara tindak pidana pencurian yang dihentikan penuntutannya di luar persidangan berdasarkan Keadilan Restoratif oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Mereka adalah Comara warga Malangbong Kabupaten Garut, Trimo warga Bandongan Kabupaten Magelang, dan Irfan warga Rokan Ilir Kabupaten Riau. Comara dilaporkan ke pihak kepolisian karena mencuri handphone milik seorang pelajar yang sedang PKL di kantor desa. Kemudian, Trimo dilaporkan ke pihak kepolisian karena mencuri kayu manis di hutan lindung milik Perhutani. Terakhir, Irfan dilaporkan ke pihak kepolisian karena mencuri kabel listrik, AC, dan sepeda di rumah orang tuanya.   

Langkah hukum yang diambil JPU berupa penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif tidak lepas dari penerapan Keadilan Restoratif sebagaimana telah diamanatkan dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Perangkat hukum Keadilan Restoratif, khususnya bagi pelaku dewasa, tidak hanya dimiliki oleh Kejaksaan Agung, namun Kepolisian Negera RI juga telah mengeluarkan Peraturan Kepolisian Negara RI No 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif serta Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum MA Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif.

Secara teori, Keadian Restoratif memiliki dua definsi. Pertama, definisi secara konsep, yaitu pemulihan hubungan yang menitikberatkan pada korban atau tidak menitikberatkan pada penghukuman atau pembalasan. Kedua, definisi secara proses, yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Teori Keadilan Restoratif pertama kali dicetus oleh Albert Eglas, berawal kritik atas penerapan hukum saat itu yang selalu menitikberatkan pada penghukuman atau pembalasan terhadap korban atau biasa dikenal dengan Keadilan Restributif. Hukum tidak melihat dampak atau kondisi korban dan nilai kerugian yang dialami korban akibat sebuah tindak pidana.

Penyelesaian perkara melalui Keadilan Restoratif ini bukanlah hal baru dalam sistem pidana di Indonesia. Keadilan Restoratif telah terimplementasikan dalam penyelesaian perkara bagi Anak Berhadapan dengan Hukum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) serta Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2015 tentang Pedoman Penanganan Perkara Anak Dibawah 12 Tahun dan Pelaksanaan Diversi. Penyelesaian perkara melalui Keadilan Restoratif memungkinkan seorang tersangka atau terdakwa terhindar dari perampasan kemerdekaan atau pemidanaan yang bersifat pembalasan. Bukan dimaknai dibebaskan begitu saja, namun dalam hal ini negara menyediakan pidana alternatif di luar pidana penjara. Tentunya hal tersebut juga akan berdampak positif bagi Pemasyarakatan.

Berdasarkan data yang terhimpun dalam Sistem Database Pemasyarakatan, jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) di Indonesia sebanyak 272.000 orang. Tentunya jumlah tersebut melebihi jumlah kapasitas penghuni Lapas/Rutan, yaitu 160.000 orang. Permasalahan over kapasitas Lapas/Rutan menjadi masalah serius bagi Pemasyarakatan yang kemudian menimbulkan masalah baru, yaitu program pembinaan tidak berjalan dengan baik karena jumlah penghuni terlalu banyak, potensi kerusuhan dan peredaran narkotika di Lapas/Rutan, penularan penyakit, dan pembengkakan anggaran untuk membiayai penghuni Lapas/Rutan, serta kemungkinan pengulangan tindak pidana.

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui Direktorat Jendral Pemasyarakatan telah berupaya mengatasi permasalahan over kapasitas tersebut dengan membangun lebih banyak Lapas/Rutan serta pemberian hak Integrasi dan pengeluaran narapidana untuk Asimilasi di rumah, namun upaya tersebut tidak cukup untuk membendung banyaknya jumlah narapidana yang masuk ke Lapas/Rutan setiap harinya. Penerapan Keadilan Restoratif bagi pelaku dewasa diharapkan menjadi angin segar dan pemecahan masalah over kapasitas yang dialami Lapas/Rutan di Indonesia. Ketika Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 hadir dengan pendekatan Keadilan Restoratifnya, jumlah Anak yang menjalani hukuman di Lembaga Pembinaan Khusus Anak  (LPKA) mengalami penurunan drastis dan capaian tersebut  dinilai relatif sukses dalam menekan angka masuk dan angka keluar Anak. 

Penulis berpandangan kesuksesan Undang-Undang SPPA menurunkan jumlah penghuni Anak di LPKA juga akan terjadi bagi Lapas/Rutan dewasa ketika Aparat Penegak Hukum (APH) gencar melakukan penanganan perkara pelaku dewasa berdasarkan Keadilan Restoratif sehingga jumlah orang yang masuk ke Lapas/Rutan dapat berkurang dan penjatuhan pidana penjara sebagai pilihan atau upaya terakhir (ultimum remedium) dengan lebih mengedepankan pidana alternatif daripada pidana badan atau perampasan kemerdekaan. Ketika angka jumlah penghuni Lapas/Rutan terkendali, masalah lain yang timbul akibat over kapasitas sebagaimana telah disebutkan sebelumnya juga akan terselesaikan dengan sendirinya. Penulis juga berharap dan mendukung perangkat hukum yang bersifat universal terkait penanganan perkara pelaku dewasa berdasarkan Keadilan Restoratif diperuntukan bagi seluruh APH sehingga tidak bersifat  parsial.  

 

Penulis: Ali Asari (PK Ahli Pertama Bapas Kelas II Serang)

What's Your Reaction?

like
1
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0