Dialog Interaktif TVRI Hadirkan Kakanwil Kalsel

Banjarmasin, INFO_PAS – Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kalimantan Selatan, Yunaedi, menjadi narasumber dalam dialog khusus interaktif di TVRI Kalimantan Selatan, Selasa (16/6). Tema yang diangkat dalam acara ini adalah “Keadilan Restoratif dalam Peradilan Anak sebagai Upaya Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).” Yunaedi menjelaskan peran Kanwil Kemenkumham Kalimantan Selatan terkait pelaksanaan keadilan restoratif dalam peradilan anak ialah melalui Pembimbing Kemasyarakatan (PK) pada balai pemasyarakatan. “PK melakukan tugas penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbing, dan pengawasan terhadap ABH. Mereka juga melakukan pembinaan, perawatan terhadap anak yang ditempatkan di Lembaga Penitipan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA),” ujar Kakanwil. Yunaedi menambahkan bahwa sesuai amanat Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Ana

Dialog Interaktif TVRI Hadirkan Kakanwil Kalsel
Banjarmasin, INFO_PAS – Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Kalimantan Selatan, Yunaedi, menjadi narasumber dalam dialog khusus interaktif di TVRI Kalimantan Selatan, Selasa (16/6). Tema yang diangkat dalam acara ini adalah “Keadilan Restoratif dalam Peradilan Anak sebagai Upaya Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH).” Yunaedi menjelaskan peran Kanwil Kemenkumham Kalimantan Selatan terkait pelaksanaan keadilan restoratif dalam peradilan anak ialah melalui Pembimbing Kemasyarakatan (PK) pada balai pemasyarakatan. “PK melakukan tugas penelitian kemasyarakatan, pendampingan, pembimbing, dan pengawasan terhadap ABH. Mereka juga melakukan pembinaan, perawatan terhadap anak yang ditempatkan di Lembaga Penitipan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA),” ujar Kakanwil. Yunaedi menambahkan bahwa sesuai amanat Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) diupayakan pelaku anak dan korban anak dimediasi agar menjauhkan dari perampasan kemerdekaan anak itu sendiri mengingat perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir. “Jumlah ABH dari 1 Januari s/d 16 Juni 2015 sebanyak 36 orang, sementara yang berhasil di diversi ditingkat penyidikan ada 19 orang, ditingkat penuntutan satu orang, ditingkat pengadilan tiga orang, sehingga total yang berhasil didiversi sebanyak 23 orang. Adapun yang gagal didiversi sebanyak 13 orang,” jelas eks Kepala Bagian Kepegawaian pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan ini. Mengingat belum adanya LPAS dan LPAK di Kalimantan Selatan, maka ABH untuk sementara ditempatkan di blok hunian anak pada 13 lapas/rutan wilayah Kalimantan Selatan. “Mereka ditempatkan terpisah dari tahanan/narapidana dewasa,” tuturnya. Selain Yunaedi, dialog interaktif tersebut juga menghadirkan Dekan Fakultas Hukum Unlam Banjarmasin, M. Effendi, sebagai narasumber. Ia menjelaskan tentang sistem hukum pidana di Indonesia yang mengalami pembaharuan, terutama dalam sistem peradilan anak. Bila dulu terfokus pada keadilan restoratif yang menekankan pada pembalasan dan keadilan restitutif yang menekankan pada ganti rugi, kini berubah menjadi keadilan restoratif yang menekankan pada perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan. “Perlindungan ABH merupakan tanggung jawab bersama aparat penegak hukum. Tidak hanya sebagai pelaku, namun mencakup juga anak yang menjadi korban dan saksi. Aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada UU SPPA atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penanganan ABH, namun lebih mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal,” imbau Efeendi. Dari diskusi yang tersaji, beragam pertanyaan pun masuk melalui line interaktif. Mayoritas berpendapat bahwa pesepsi para aparat penegak hukum terhadap penanganan ABH terkadang belum sama karena belum ada Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UU SPPA. Selain itu juga disebabkan minimnya pengetahuan masyarakat tentang keadilan restorative, khususnya mengenai diversi, serta kurangnya sosialisasi UU SPPA. Sebagai contoh, bila ada kasus yang ditangani antara korban dan pelaku sudah berdamai, namun pada keluarga korban tidak mau berdamai, maka diversi dianggap gagal. (IR)     Kontributor: Humas Kanwil

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0