Efek Domino Broken Home

Efek Domino Broken Home

Jika ada kesempatan untuk memilih melalui siapa kita dilahirkan. Siapa orang tua yang akan kita pilih? Orang tua yang sama atau berbeda?

Pada suatu waktu, saya dipertemukan dengan EF, Warga Binaan yang sedang menjalani pembinaan di salah satu Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). EF berkesempatan mendapatkan haknya untuk pengusulan Integrasi Cuti Bersyarat karena akan memasuki dua pertiga masa pidana penjara.

Salah satu hak Warga Binaan sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI No 7 tahun 2022 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Besyarat. Cuti Bersyarat dapat diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi syarat:

  1. dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan;
  2. telah menjalani paling sedikit 2/3 (dua pertiga) masa pidana; dan
  3. berkelakuan baik dalam kurun waktu 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum 2/3 (dua pertiga) masa pidana.

EF pun mengusulkan Integrasi Cuti Bersyaratnya karena memenuhi beberapa persyaratan hingga dia bertemu saya sebagai Pembimbing Kemasyarakatan yang bertugas mewawancarai EF untuk mencari data dukung Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) di mana nanti hasil dari Litmas merekomendasikan EF layak atau tidak menjalani sisa pidananya dengan berintegrasi di masyarakat. Penuh semangat EF, menjawab setiap pertanyaan yang saya tanyakan, mungkin ada sedikit yang ditutup-tutupi. Terlepas dari itu, saya tertarik dengan jawaban dia, menjelaskan alasan terlibat tindak pidana hingga harus menjalani pembinaan di Lapas.

“Semua ini karena orang tua saya.” Tanpa rasa ragu EF dengan jawaban atas pertanyaan saya. EF menyalahkan orang tuanya kurang perhatian menyebabkan dirinya salah pergaulan -alibi EF hingga dia harus berurusan dengan hukum.

Setelah beberapa menit kami berbicang, EF bercerita tumbuh tanpa keharmonisan keluarga. Dia bercerita sekitar umur delapan tahun sering mendengar kedua orang tuanya bertengkar dan tidak jarang pada pagi harinya, EF melihat ibunya memar pada bagian wajah. Sejak saat itu dia tidak merasakan ketenangan di rumah. Beberapa waktu kemudian orang tua EF berpisah, EF ikut dan dirawat oleh ibu kandungnya, sementara kakak dan adiknya diasuh oleh ayah EF. Hingga pada suatu ketika EF pergi dari rumah dan lebih memilih tinggal bersama ayahnya.

Saya tidak menanyakan pada EF apakah dia menyesal dilahirkan dalam keluarga broken home. Saya juga tidak mengasumsikan bahwa jawaban EF tidak menyesal. Dia sebagai manusia kadang butuh sesorang yang patut disalahkan atas perbuatannya yang pada dasarnya salah menurut hukum. Dia menyalahkan orang tuanya. Selama pada akhirnya dia mau mengakui kesalahannya, tidak mengulangi perbuatannya dan memperbaiki diri, saya tidak mempermasalahkan itu.

 

Broken Home Satu Faktor Pendorong Perbuatan Kejahatan

Tidak sedikit narapidana yang saya temui memiliki histori buruk dengan orang tuanya, tetapi bukan berarti semua anak broken home bertindak tidak baik hingga melakukan tindak pidana karena banyak juga mereka berprestasi dan menata hidupnya lebih baik. Tumbuh kembang manusia memang diawali peran keluarga sehingga membentuk karakter pada manusia itu sendiri.

Seseorang melakukan kejahatan muncul karena pengaruh dari luar dirinya. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah keadaan keluarga. Kurangnya perhatian serta penerapan disiplin yang efektif orang tua terhadap anak, seperti kasus di atas di mana EF menyalahkan orang tuanya. Perhatian orang tuanya hilang karena kurang harmonis ayah dan ibuknya serta trauma melihat pertengkaran kedua orang tua.

Anak merasa frustasi ketika berada di rumah broken home, hingga ia mencari tempat lain untuk ketenangan. Akan lebih buruk jika anak bertemu dengan orang atau kelompok negative, seperti pecandu narkoba.

 

Lalu, Mengapa Ada Manusia yang Tidak Terpengaruh?

Manusia adalah makhluk sosial di mana memiliki hubungan timbal balik dengan manusia lainnya. Makhluk sosial dalam sosiologi adalah masyarakat sebagai sebuah ‘organisme hidup’. Organisme selalu mempertahankan stabilitas. Dengan kata lain, manusia akan tergantung dengan manusia lainnya.

Ketergantungan dengan manusia lainnya inilah yang menjadi satu faktor penentu reaksi untuk melakukan sebuah tindakan. Selain faktor manusia itu sendiri yang bisa membaca limitasi atau kelemahan diri, didukung bertemu dengan manusia lainnya yang memiliki vibes positif, faktor kelemahan diri, seperti broken home, akan berbalik menjadi sebuah trigger positif yang hasilnya adalah prestasi.

Selain itu, pola pikir seseorang dalam sebuah tindakan juga mempengaruhi. Sebuah tindakan sebelumnya akan difilter, kemudian diolah dalam sebuah pola pikir seseorang dan menghasilkan reaksi dari pola pikir tadi. Pola pikir seseorang terbentuk dari banyak faktor, seperti didikan keluarga dan kebiasaan sejak kecil. Cara berpikir baik akan menghasilkan perbuatan baik. Begitu pula sebaliknya. Berinteraksi dengan orang-orang bervibes positif, berkomunikasi, dan hidup pada lingkungan bernuansa baik, bisa sesederhana itu membentuk pola pikir seseorang menjadi lebih baik karena manusia sebagai makhluk sosial selalu meniru hal-hal yang berada di dekatnya.  

Kejahatan yang dilakukan oleh seseorang bisa bersumber dari beberapa latar belakang yang berbeda. Jika broken home menjadi salah satu pematik orang untuk berperilaku melanggar hukum, bisa diminimalisir seperti peran orang tua dalam keluarga untuk mendidik anak-anaknya berperilaku baik. Tidak mudah, perlu dukungan dari berbagai pihak, termasuk mengoptimalkan kembali peran dan tugas keluarga.  Jika broken home sebagai salah satu hulu penyebab orang berbuat tindak pidana, maka ujungnya tindak kejahatan bisa berkurang karena satu faktor ini. Hilirnya, overcrowded bisa berkurang pada Lapas.

 

Penulis: Wiwit Putra (PK Bapas Kelas II Purwokerto)

           

 

 

 

 

 

What's Your Reaction?

like
7
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0