Harapan Itu Bernama "Griya Abhipraya"

Harapan Itu Bernama "Griya Abhipraya"

Sebut saja ia Fajar (nama samaran), tapi Fajar kali ini berbeda. Ia tidak sad boy, malah boleh jadi sebaliknya. Iya, ia sosok happy boy. Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Penulis menjadi saksinya. Siang itu, Fajar menerima informasi bahwa ia akan bebas. Tak seperti narapidana umumnya, Fajar menampilkan ekspresi berbeda. Rona wajahnya kurang bersahabat. Ia berujar, “kenapa saya harus keluar secepat ini komandan (panggilan khas Warga Binaan terhadap petugas)?”.

Suasana hati Fajar berkecamuk dengan realita pengeluarannya. Ia ingin tetap di balik jeruji. Makan digaransi. Tidur diawasi. Sebagai Homo Sapiens, kebutuhan dasarnya terpenuhi. Singkat cerita, Fajar menjalani masa pembebasan. Hidupnya tak keruan. Ia kebingungan menjadi bagian dari masyarakat. Dan yang dikhawatirkan pun terjadi. Tak sampai sebulan, ia kembali dengan kasus pencurian sepeda motor. Kasus ke-9. Fisiknya babak belur, tapi ada satu yang berbeda. Senyum simpul menghiasi wajahnya. Jelas, ialah Fajar Happy Boy.

Fajar bukan satu-satunya. Ada banyak Fajar lain dalam kehidupan balik jeruji. Orang Makassar menyebutnya “Antanija”, singkatan dari anak tea ni jampangi. Sebutan bagi individu yang kurang diperhatikan keluarga. Mereka memiliki ikatan sosial yang lemah. Padahal, ikatan sosial menjadi modalitas agar individu menahan diri melakukan kejahatan. Sederhananya, begitulah ulasan Travis Hirschi, Kriminolog asal Universitas Arizona.

Masalah kian bertambah pilu, khususnya bagi mereka yang tak punya hunian ataupun pekerjaan produktif. Fenomena anomi pun terjadi saat ada ketimpangan antara tujuan yang ingin dicapai dan sarana yang tersedia untuk mencapainya. Langkah inovatif diambil melalui tindak kejahatan semata-mata untuk memenuhi hasrat keberlanjutan hidup. Mereka ditangkap, lalu mendekam di balik jeruji. Asumsi masyarakat, mereka jera. Namun realitanya, mereka gapai apa yang sebelumnya tak dimiliki. Hunian maupun pangan untuk bertahan hidup.

 

Rumah Harapan

Sedari awal, fenomena di atas disadari para founding fathers sistem koreksi, termasuk founding fathers Pemasyarakatan. Maka dari itu, konsep Pemasyarakatan tidak terbentuk secara tunggal, namun sebuah sistem. Sistem ini terdiri atas Bapas, Lapas, Rutan, maupun Rupbasan. Berbagai unsur saling melengkapi dan/atau berkelanjutan. Semisal Lapas, melaksanakan peran pembinaan intramural dan Bapas melaksanakan peran pembinaan ekstramural. Setelah menjalani pembinaan di Lapas, narapidana beralih status menjadi Klien Pemasyarakatan di bawah naungan Bapas. Melalui Pembimbing Kemasyarakatan (PK), Bapas berupaya membantu mantan narapidana agar adaptif sebagai anggota masyarakat.

Peran strategis Bapas membutuhkan kolaborasi sejumlah pihak. Program Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan (Pokmas Lipas) pun dibentuk Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) sebagai bagian dari Resolusi Pemasyarakatan Tahun 2020. Pokmas Lipas merupakan mitra kerja yang berlatar belakang yayasan, akademisi, organisasi wirausaha, ataupun individu yang siap sedia berpartisipasi dalam penyelenggaraan Pemasyarakatan. Filosofi pembentukan Pokmas Lipas ada dua, yakni meningkatkan kualitas pembimbingan Bapas dan menurunkan stigma negatif masyarakat terhadap mantan narapidana. 

Kebijakan Pokmas Lipas terus berkembang. Yang terkini dioptimalkan melalui program Griya Abhipraya. Program ini juga diinisiasi Ditjenpas. “Grhya” dalam Bahasa Sanskerta berarti “rumah” sedangkan “Abhipraya” bermakna “harapan”. Griya Abhipraya diharapkan sebagai wadah bagi para pelanggar hukum untuk meningkatkan kapasitas dan membangun kualitas diri agar menjadi anggota masyarakat yang produktif dan bermoral.

Beberapa hari yang lalu, penulis setidaknya mengunjungi dua Griya Abhipraya, yakni Griya Abhipraya Bapas Kelas I Malang dan Griya Abhipraya Bapas Kelas I Surabaya. Griya Abhipraya Bapas Malang memberdayakan mantan narapidana melalui budidaya Maggot BSF, sedangkan Griya Abhipraya Bapas Surabaya memberdayakan mantan narapidana melalui konsep One Day Camp. Sebuah program rutin berupa bimbingan kelompok bagi Klien Pemasyarakatan yang terdiri atas bimbingan kepribadian dan bimbingan kemandirian. Berbagai produk juga dihasilkan Klien Pemasyarakatan Bapas Surabaya, seperti teh celup, kaos, ada pula budidaya lobster.

Kunjungan ke dua lokasi tersebut mengingatkan penulis atas sejarah awal pelaksanaan sistem probation (pidana percobaan). John Augustus, seorang pengusaha sepatu di Boston, tahun 1841 mengeluarkan seorang pemabuk dari rumah tahanan polisi Boston dengan menjadi penjamin atasnya. Sang pemabuk kemudian dilatih di pabrik yang dimiliki Augustus dan berubah menjadi individu yang produktif. Selama 17 tahun, kurang lebih 1.152 pria dan 794 wanita pelaku kejahatan diasistensi Augustus sehingga menjadi individu yang produktif.

Pada sistem koreksi kontemporer, konsep Griya Abhipraya juga menggugah refleksi penulis dengan konsep ROCA di negara bagian Massachusetts. Berdiri tahun 1988, ROCA mengemban program untuk mengurangi kemiskinan, kekerasan, dan kehamilan remaja. Secara perlahan, ROCA alih haluan dan berfokus terhadap pembinaan mantan narapidana pria usia muda, khususnya 18-24 tahun. Organisasi nirlaba ini bergerak agresif dalam melatih keterampilan mantan narapidana dan mengupayakan mereka memperoleh pekerjaan. Eksistensi ROCA memberi konstribusi positif. Data dari Harvard Social Impact Bond Lab dan Departemen Administrasi dan Keuangan Massachusetts menunjukkan kehadiran ROCA mampu mengurangi residivisme hingga 65% dan pertumbuhan angka signifikan terkait mantan narapidana yang memperoleh pekerjaan.

 

Restoratif-Reintegratif

Griya Abhipraya merupakan langkah progresif. Ia melingkupi prinsip restoratif dan juga reintegratif. Kedua nilai yang memiliki output akan pemulihan. Pemulihan mental spiritual, pemulihan sosial, dan pemulihan ekonomi. Ketiga aspek yang menjadi indikator PK dalam mengukur kapabilitas mantan narapidana. Bila hasil Penelitian Kemasyarakatan maupun asesmen mendeteksi ketidaklayakan, maka Griya Abhipraya dapat menjadi lokus untuk upaya pemulihan sebelum lepas seutuhnya di masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Howard Abadinsky dalam bukunya Probation and Parole: Theory and Practice (2003) bahwa dasar filosofis Pembebasan Bersyarat ialah merehabilitasi pelaku dan mengembalikan mereka ke dalam masyarakat.

Namun, eksistensi Griya Abhipraya sejatinya butuh dukungan berbagai pihak. Iqrak Sulhin dalam artikel ilmiah bertajuk Pemasyarakatan Pasca Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2022 (2022) mengingatkan jika faktor-faktor yang melatarbelakangi seseorang melakukan kejahatan terdapat di dalam masyarakat itu sendiri sehingga wajar untuk melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan fungsi Pemasyarakatan. Partisipasi masyarakat dapat diinisiasi melalui berbagai bentuk, seperti pelatihan keterampilan, penyuluhan hukum, pembukaan lapangan kerja, dan kajian penguatan mental-spiritual. Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Reynhard Silitonga, mengistilahkannya sebagai pemberdayaan multipartnership.

Sebagai penutup, penulis menukil ungkapan Fajar Sad Boy. “Biar tidak selamanya indah, setidaknya saya punya perjuangan dihargai,” ucapnya pilu. Tak hanya Fajar Sad Boy, Fajar Happy Boy juga merasakan hal serupa. Baginya, hidupnya tak indah. Namun, ada langkah perjuangan yang sedang ia tempuh. Tinggal bagaimana kita, pemerintah, dan masyarakat mau menghargai.

Harapan itu masih ada. Melalui Griya Abhipraya.

 

Penulis: Moch. Fauzan Zarkasi (PK Bapas Kelas I Makassar)

What's Your Reaction?

like
21
dislike
1
love
9
funny
1
angry
0
sad
0
wow
0