Kapasitas Mental Pelaku Tindak Pidana dalam Hukum Pidana

Kapasitas Mental Pelaku Tindak Pidana dalam Hukum Pidana

Berita mengenai seorang ibu berinisial KU yang tega membunuh ketiga anaknya di Brebes membuat isu kesehatan mental dalam hukum pidana menjadi perhatian serius bagi seluruh Aparat Penegak Hukum. Orang yang kesehatan mentalnya terganggu akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan diri, perilaku, emosi, dan pikirannya sehingga dapat melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Kepala Kepolisian Resor Brebes, AKBP Faisal Febrianto, menjelaskan pelaku saat dilakukan pemeriksaan awal selalu berubah-ubah pernyataannya dan tidak fokus sehingga polisi membawa KU ke rumah sakit untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan jiwa.  

Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (UU KJ), Pasal 71 ayat (1) menyatakan bahwa “Untuk kepentingan penegakan hukum, seseorang yang diduga Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang melakukan tindak pidana harus mendapatkan pemeriksaan kesehatan jiwa. Pemeriksaan kesehatan jiwa adalah serangkaian kegiatan dari pelayanan kesehatan jiwa yang dilakukan untuk menilai kondisi kesehatan jiwa seseorang sesuai Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Penegakan Hukum. Pemeriksaan tersebut dilakukan untuk memastikan kapasitas mental seseorang dalam hukum pidana di mana seseorang yang melakukan pelanggaran hukum memahami karakter dan konsekuensi dari tindakannya.

Dalam UU KJ Pasal 1 ayat (2) menjelaskan Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) adalah individu yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa dan Pasal 1 ayat (3) menyatakan ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia. ODMK dan ODGJ memiliki kondisi kesehatan jiwa yang kurang atau tidak sehat.

Pada orang yang memiliki kesehatan jiwa yang normal perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana akan mengakibatkan pelakunya dapat dikenai pemidanaan. Sanksi yang dikenakan kepada orang yang terbukti melakukan tindak pidana merupakan bentuk dari pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya dan hukuman pidana yang diberikan dapat mengubah perilakunya. Namun, sanksi yang diberikan akan menjadi tidak adil apabila orang tersebut memiliki kapasitas mental yang kurang.

Apabila pelaku kejahatan dinilai mengalami penurunan kapasitas mental yang dibuktikan dengan Visum et Repertum Psikiatrikum yang dikeluarkan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa untuk kepentingan penegakan hukum, maka hakim perlu mempertimbangkan apakah pelaku layak atau tidak layak diadili. Berdasarkan Pasal 44 KUHP, “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana”. Diatur lebih lanjut pada pasal 44 (2) KUHP, “Jika nyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal, maka dapatlah hakim memerintahkan memasukkan dia ke rumah sakit jiwa selama-lamanya satu tahun untuk diperiksa”.

Seorang pelaku tindak pidana yang diduga mengalami gangguan jiwa tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya karena keterbatasan kemampuan kapasitas mental. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Penegakan Hukum menjelaskan konsep-konsep operasional tentang gangguan jiwa dengan memperhatikan keterbatasan kemampuan (disability), yaitu :

  1. Ketidakmampuan memaksudkan suatu tujuan yang sadar (intentional disability). Tujuan yang tidak sadar adalah tujuan yang berdasarkan waham dan/atau halusinasi;
  2. Ketidakmampuan mengarahkan/atau mengendalikan kemauan dan/atau tujuan tindakannya (volitional disability);
  3. Ketidakmampuan memahami nilai dan risiko tindakannya.

Memberikan hukuman penjara bagi mereka yang mengalami gangguan kejiwaan bisa berdampak makin menurunnya kondisi kejiwaan mereka karena akses pengobatan kejiwaan yang terbatas dan kondisi penjara yang penuh tidak dapat mengakomodir kebutuhan mereka. Apabila kapasitas mental mereka makin menurun akan membuat mereka mengalami kesulitan dalam mengendalikan diri, perilaku, emosi, dan pikirannya sehingga mereka bisa membahayakan diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Fungsi penjeraan dan pembalasan dari hukum pidana tidak tercapai karena mereka tidak mampu memahami bahwa pemidanaan adalah sebuah upaya mengubah perilaku (efficient punishability) dan upaya menakut-nakuti untuk mencegah perbuatan kriminal (deterrent efficiency).

Seorang pelaku kejahatan yang saat dilakukan pemeriksaan kesehatan jiwa terbukti mengalami gangguan kejiwaan sebaiknya dialihkan dari hukuman punitif dan diberikan rehabilitasi yang tepat dan efektif, seperti ditempatkan di rumah sakit jiwa. Hal tersebut dilakukan agar mendapatkan akses pengobatan yang baik sehingga kondisi kejiwaan mereka dapat pulih kembali. Rehabilitasi yang dilakukan dapat komprehensif dan berkesinambungan di mana pada awal rehabilitasi berfokus pada penanganan kesehatan mental dan penyembuhan dan apabila kondisi mental mereka sudah membaik rehabilitasi ditujukan kepada memulihkan fungsi sosial dan menyiapkan seseorang untuk mandiri di masyarakat.

 

Penulis: Tyas Nisa Utami (PK Bapas Tangerang)

What's Your Reaction?

like
7
dislike
3
love
1
funny
0
angry
1
sad
0
wow
0