Kisah Kepala Rutan Samarinda Pernah Kejar Napi ke Hutan

Samarinda - Berlatar belakang ayah tentara, Raden Nurwulanhadi Prakoso mendaftar di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Namun, tak lolos pada tahun pertama dan berencana mencoba lagi tahun berikutnya. Di tengah masa luangnya, dia membaca koran dan menemukan iklan pendaftaran Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP). Penasaran, Nurwulanhadi coba mendaftar. “Saya kira lulus jadi hakim,” kisahnya kemudian tertawa. Waktu itu, dia sekadar coba-coba. Syukur lulus, tidak juga tak masalah karena niatnya masih ingin mendaftar ABRI. Tetapi, hasil serangkaian tes memuat namanya hingga akhirnya Nur menjalani pendidikan selama tiga tahun. Setelah lulus Akip pada 1990, dia langsung bertugas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Balikpapan. Karier pun perlahan dijejakinya. Pengalaman tak menyenangkan dirasakan Nur kala mengejar pelarian di hutan. Sebab, dalam keadaan puasa dan siang malam di hutan, pencarian tak kunjung membuahkan hasil. “Empat bulan kemudian, dia (WB

Kisah Kepala Rutan Samarinda Pernah Kejar Napi ke Hutan
Samarinda - Berlatar belakang ayah tentara, Raden Nurwulanhadi Prakoso mendaftar di Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Namun, tak lolos pada tahun pertama dan berencana mencoba lagi tahun berikutnya. Di tengah masa luangnya, dia membaca koran dan menemukan iklan pendaftaran Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKIP). Penasaran, Nurwulanhadi coba mendaftar. “Saya kira lulus jadi hakim,” kisahnya kemudian tertawa. Waktu itu, dia sekadar coba-coba. Syukur lulus, tidak juga tak masalah karena niatnya masih ingin mendaftar ABRI. Tetapi, hasil serangkaian tes memuat namanya hingga akhirnya Nur menjalani pendidikan selama tiga tahun. Setelah lulus Akip pada 1990, dia langsung bertugas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Balikpapan. Karier pun perlahan dijejakinya. Pengalaman tak menyenangkan dirasakan Nur kala mengejar pelarian di hutan. Sebab, dalam keadaan puasa dan siang malam di hutan, pencarian tak kunjung membuahkan hasil. “Empat bulan kemudian, dia (WBP yang melarikan diri) ditangkap lagi karena kasus pencurian. Kami tanya waktu itu kabur ke mana, dia bilang sembunyi di atas pohon dan melihat kami kepayahan mencari dia di tengah hutan,” kenang Nur. Selain menangani pelarian, kondisi Lapas Balikpapan yang pada 2002–2003 cukup runyam dan mengerikan, menjadi tantangannya yang kala itu menjabat sebagai kepala keamanan. Nur membutuhkan waktu setahun untuk menetralkan keadaan. Waktu itu, penjara terbagi dari geng-geng WBP yang cukup besar. Gesekan sedikit, langsung ribut besar. Nur putar otak, dan akhirnya memilih jalan persuasif karena ketegasan sudah tidak memungkinkan lagi. “Saya temui kepala-kepala geng, saya sering ajak bicara. Selain itu, saya jadikan mereka pemuka sehingga mereka lebih tenang. Sebab, dengan jadi pemuka, kemungkinan mendapat remisi lebih besar. Proses ini berjalan selama setahun, sampai benar-benar kondusif,” kata laki-laki berkacamata tersebut. Kini bertugas sebagai kepala Rumah Tahanan Negara (Rutan) Klas IIA Samarinda, Nur dihadapkan pada kondisi rutan yang over kapasitas. Awalnya, bangunan tersebut hanya memiliki kapasitas 214 jiwa. Setelah pengaturan sana-sini, kapasitas bertambah menjadi 535 orang. Bukan hal mudah menurut Nur. Apalagi, setiap hari dia dihadapkan dengan 1.000 lebih WBP yang bisa berbuat kriminal dan kerusuhan.  Belum lagi, risiko pembesuk penyelundup. “Makanya, kalau ada pegawai nakal dan ‘main’ sama WBP itu rasanya sakit hati sekali,” tegasnya.(*/nyc/er/k8) Sumber : kaltim.prokal.co  

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0