Klien Yusril Ingin Jalani Hukuman Sampai Akhir Meski Gugatannya Dimenangkan Majelis Hakim PTUN

ilustrasi-berkas-perkara-p21 RMOL.Dari tujuh narapidana yang dimenangkan gugatannya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM, ada satu penggugat yang tetap menjalankan masa hukumannya sampai akhir. Dia adalah Bobby S.H Suhar­diman yang merupakan salah satu narapidana kasus suap cek pela­wat pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia. “Satu di antaranya bernama Bobby S.H Suhardiman telah mem­­buat surat pernyataan bahwa akan menjalani pidana sampai habis masa pidananya, yakni 17 April 2012,” kata Kepala Subdit Komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Akbar Hadi

ilustrasi-berkas-perkara-p21 RMOL.Dari tujuh narapidana yang dimenangkan gugatannya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM, ada satu penggugat yang tetap menjalankan masa hukumannya sampai akhir. Dia adalah Bobby S.H Suhar­diman yang merupakan salah satu narapidana kasus suap cek pela­wat pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia. “Satu di antaranya bernama Bobby S.H Suhardiman telah mem­­buat surat pernyataan bahwa akan menjalani pidana sampai habis masa pidananya, yakni 17 April 2012,” kata Kepala Subdit Komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Akbar Hadi Prabowo kepada Rakyat Merdeka, kemarin. Kemenangan tujuh narapidana itu setelah Majelis hakim Penga­dilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan Su­rat Ke­putusan Menkum dan HAM No­mor M.HH-07.PK.01.05.04 Ta­hun 2011 tertanggal 16 Novem­ber 2011 tentang pengetatan re­misi terhadap narapidana tindak pi­dana luar biasa korupsi dan tero­ris ber­tentangan dengan hu­kum yang berlaku dan tidak di­lakukan de­ngan prosedur yang benar. Adapun tujuh narapidana yang menjadi pengguggat itu adalah Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby S.H Suhardiman dan Hengky Baramuli (ketiganya terpidana kasus cek perjalanan), Hesti Andi Tjahyanto dan Agus Widjayanto Legowo (keduanya terpidana kasus korupsi PLTU Sampi), serta Mulyono Subroto dan Ib­rahim (terpidana kasus penga­daan alat Puskesmas keli­ling di Natuna, Kepri). Untuk diketahui, atas kemena­ngan gugatan tujuh narapidana itu, Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin berencana melakukan banding. Amir menilai, ban­ding ini pen­­ting dilakukan meng­ingat ada kepentingan yang lebih besar. Yaitu, kalau ti­dak me­laku­kan banding, maka di­kha­watir­kan akan menimbulkan yurispru­densi. Menurut Akbar, selain ketujuh narapidana itu sebenarnya ada empat narapidana lagi yang me­­­laku­kan gugatan serupa ke PTUN Jakarta, dan saat ini pro­ses hukumnya masih berja­lan. “Me­re­ka masih menggugat SK men­teri yang menunda pe­lak­­sanaan PB narapidana tipi­kor,” katanya. Kuasa hukum tujuh narapida­na penggugat moratorium remi­si, Yusril Ihza Mahendra me­nga­ta­kan, salah satu kliennya Bobby Suhardiman memutuskan untuk menjalankan sisa huku­m­an­nya, karena pada April de­pan dia be­bas murni. “Beliau memutuskan demikian karena tidak mau berada dalam pengawasan, makanya ingin te­tap menunggu,” ucapnya. Setahu dia, selain kliennya me­­­mang ada juga yang akan meng­gugat kebijakan Kemen­kumham itu. Sebagian berasal dari Tange­rang, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Cibinong. Menurut Yusril hal itu tidak per­lu dilakukan, karena hanya akan  buang-buang waktu dan te­na­ga. Keputusan hakim tentunya akan sama yang telah meme­nang­­kan gugatan kliennya. Bekas Menteri Kehakiman dan HAM ini juga mempersilakan  Menkumham Amir Syamsuddin mengajukan banding atas putus­an PTUN itu, tapi tindakan terse­but dinilainya sama saja seperti menjilat ludah­nya sendiri. Dalam satu kesempatan, Men­teri Amir Syamsuddin per­nah mengatakan tidak akan meng­­aju­kan banding atas guga­tan SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 No­vember 2011. Yusril membeberkan, di dalam lampiran putusan PTUN itu ada puluhan orang disebutkan nama­nya. Dari puluhan orang itu hanya tujuh orang yang menggugat minta SK itu dibatalkan. Hasilnya, PTUN membatal­kan SK itu, berarti yang diba­talkan semestinya termasuk pada orang-orang yang masuk dalam lampi­ran tersebut. Namun, ha­kim mem­batasi diri untuk ke tujuh orang itu saja. Ketika SK ini dibatalkan dan 7 orang yang menggugat dibe­bas­kan sebenarnya. “Kemenkum­ham harus berpikir, karena dalam pe­ngadilan yang diajukan terma­suk orang yang ada di lampiran itu, maka mereka juga mestinya dibebaskan juga,” katanya. Kemenkumham Cuma Modal Nekat   Syarifuddin Sudding, Anggota Komisi III DPR Setelah  putusan Penga­di­lan Tata Usaha Negara Jakarta membatalkan kebijakan penge­tatan remisi dan pembebasan ber­syarat, sebenarnya berlaku bu­­­kan hanya kepada penggu­gat, melainkan kepada nara­pidana kasus korupsi lainnya juga. Sebab, moratorium remisi seperti yang diatur dalam SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.­PK.01.05.04 itu diberla­ku­kan bagi keseluruhan nara­pidana Tipikor. Pada prinsipnya, semangat memberikan efek jera terhadap koruptor dengan membatasi re­misi dan pembebasan bersyarat (PB) itu banyak pihak yang setu­ju, termasuk saya selaku ang­gota Komisi III DPR de­ngan catatan tidak ada Un­dang-Undang yang dilanggar. Menurutnya, Menkumham hanya bermo­dalkan nekat, tanpa melihat ram­bu, Undang-Un­dang dan nor­ma hukum se­hingga wajar saja kalau PTUN memenang­kan gugatan tujuh terpidana kasus korupsi itu. Yang sangat disayangkan, Yus­ril Ihza Mahendra selaku kua­sa hukum dari ketujuh na­rapidana itu dianggap membela koruptor, padahal opini tersebut sangat salah, karena ia hanya mewakili kliennya menggugat kebijakan Kemenkumham itu. Bila Kemenkumham ingin me­nerapkan pengetatan remisi dan PB, ada baiknya Undang-Un­dang Nomor 12 Tahun 1995 Ten­­tang Pemasyarakatan di­ubah terlebih dahulu. Bikin Koruptor Tak Jera Flora Dianti, Pengamat Hukum UI Kemenangan gugatan tu­juh narapidana atas moratorium remisi dan pembebasan ber­syarat, tidak berdampak kepada narapidana tindak pidana ko­rupsi lainnya. Sebab, putusan Pengadilan Ta­ta Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan gugatan tu­juh narapidana itu bersifat indi­vidual final. Artinya putusan itu hanya diberlakukan terha­dap yang mengajukan saja. Tapi para penggugat itu se­baiknya tidak boleh terlalu gi­rang, karena Kemenkumham se­laku tergugat akan mengaju­kan banding. Dengan demikian, mereka harus tetap ditahan ka­rena belum ada putusan ke­kuatan hukum tetap. Sebenarnya keberadaan re­misi dan pembebasan bersyarat bisa menjadi pemicu berkem­bang­nya tindak pidana korupsi. Ini juga yang membuat korup­tor tidak jera. Makanya, banyak kalangan berharap, koruptor diberikan per­lakuan khusus ketimbang pelaku kejahatan lainnya, ka­rena korupsi merupakan tin­dak kejahatan luar biasa. Untuk mewujudkan itu, perlu dipikirkan perangkat hukum dan aturan yang bersinergi agar bi­sa lebih efektif dalam mem­be­rikan efek jera. [Harian Rakyat Merdeka]   Sumber: http://www.rmol.co/read/2012/03/15/57611/Klien-Yusril-Ingin-Jalani-Hukuman-Sampai-Akhir-  

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0