RMOL.Dari tujuh narapidana yang dimenangkan gugatannya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap pengetatan remisi dan pembebasan bersyarat yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM, ada satu penggugat yang tetap menjalankan masa hukumannya sampai akhir.
Dia adalah Bobby S.H SuharÂdiman yang merupakan salah satu narapidana kasus suap cek pelaÂwat pemilihan Dewan Gubernur Senior Bank Indonesia.
“Satu di antaranya bernama Bobby S.H Suhardiman telah memÂÂbuat surat pernyataan bahwa akan menjalani pidana sampai habis masa pidananya, yakni 17 April 2012,†kata Kepala Subdit Komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Akbar Hadi Prabowo kepadaÂ
Rakyat Merdeka, kemarin.
Kemenangan tujuh narapidana itu setelah Majelis hakim PengaÂdilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta memutuskan SuÂrat KeÂputusan Menkum dan HAM NoÂmor M.HH-07.PK.01.05.04 TaÂhun 2011 tertanggal 16 NovemÂber 2011 tentang pengetatan reÂmisi terhadap narapidana tindak piÂdana luar biasa korupsi dan teroÂris berÂtentangan dengan huÂkum yang berlaku dan tidak diÂlakukan deÂngan prosedur yang benar.
Adapun tujuh narapidana yang menjadi pengguggat itu adalah Ahmad Hafiz Zawawi, Bobby S.H Suhardiman dan Hengky Baramuli (ketiganya terpidana kasus cek perjalanan), Hesti Andi Tjahyanto dan Agus Widjayanto Legowo (keduanya terpidana kasus korupsi PLTU Sampi), serta Mulyono Subroto dan IbÂrahim (terpidana kasus pengaÂdaan alat Puskesmas keliÂling di Natuna, Kepri).
Untuk diketahui, atas kemenaÂngan gugatan tujuh narapidana itu, Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsuddin berencana melakukan banding.
Amir menilai, banÂding ini penÂÂting dilakukan mengÂingat ada kepentingan yang lebih besar. Yaitu, kalau tiÂdak meÂlakuÂkan banding, maka diÂkhaÂwatirÂkan akan menimbulkan yurispruÂdensi.
Menurut Akbar, selain ketujuh narapidana itu sebenarnya ada empat narapidana lagi yang meÂÂÂlakuÂkan gugatan serupa ke PTUN Jakarta, dan saat ini proÂses hukumnya masih berjaÂlan.
“MeÂreÂka masih menggugat SK menÂteri yang menunda peÂlakÂÂsanaan PB narapidana tipiÂkor,†katanya.
Kuasa hukum tujuh narapidaÂna penggugat moratorium remiÂsi, Yusril Ihza Mahendra meÂngaÂtaÂkan, salah satu kliennya Bobby Suhardiman memutuskan untuk menjalankan sisa hukuÂmÂanÂnya, karena pada April deÂpan dia beÂbas murni.
“Beliau memutuskan demikian karena tidak mau berada dalam pengawasan, makanya ingin teÂtap menunggu,†ucapnya.
Setahu dia, selain kliennya meÂÂÂmang ada juga yang akan mengÂgugat kebijakan KemenÂkumham itu. Sebagian berasal dari TangeÂrang, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Cibinong.
Menurut Yusril hal itu tidak perÂlu dilakukan, karena hanya akan buang-buang waktu dan teÂnaÂga. Keputusan hakim tentunya akan sama yang telah memeÂnangÂÂkan gugatan kliennya.
Bekas Menteri Kehakiman dan HAM ini juga mempersilakan Menkumham Amir Syamsuddin mengajukan banding atas putusÂan PTUN itu, tapi tindakan terseÂbut dinilainya sama saja seperti menjilat ludahÂnya sendiri.
Dalam satu kesempatan, MenÂteri Amir Syamsuddin perÂnah mengatakan tidak akan mengÂÂajuÂkan banding atas gugaÂtan SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 NoÂvember 2011.
Yusril membeberkan, di dalam lampiran putusan PTUN itu ada puluhan orang disebutkan namaÂnya. Dari puluhan orang itu hanya tujuh orang yang menggugat minta SK itu dibatalkan.
Hasilnya, PTUN membatalÂkan SK itu, berarti yang dibaÂtalkan semestinya termasuk pada orang-orang yang masuk dalam lampiÂran tersebut. Namun, haÂkim memÂbatasi diri untuk ke tujuh orang itu saja.
Ketika SK ini dibatalkan dan 7 orang yang menggugat dibeÂbasÂkan sebenarnya. “KemenkumÂham harus berpikir, karena dalam peÂngadilan yang diajukan termaÂsuk orang yang ada di lampiran itu, maka mereka juga mestinya dibebaskan juga,†katanya.
Kemenkumham Cuma Modal Nekat Â
Syarifuddin Sudding, Anggota Komisi III DPR
Setelah  putusan PengaÂdiÂlan Tata Usaha Negara Jakarta membatalkan kebijakan pengeÂtatan remisi dan pembebasan berÂsyarat, sebenarnya berlaku buÂÂÂkan hanya kepada pengguÂgat, melainkan kepada naraÂpidana kasus korupsi lainnya juga.
Sebab, moratorium remisi seperti yang diatur dalam SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.ÂPK.01.05.04 itu diberlaÂkuÂkan bagi keseluruhan naraÂpidana Tipikor.
Pada prinsipnya, semangat memberikan efek jera terhadap koruptor dengan membatasi reÂmisi dan pembebasan bersyarat (PB) itu banyak pihak yang setuÂju, termasuk saya selaku angÂgota Komisi III DPR deÂngan catatan tidak ada UnÂdang-Undang yang dilanggar.
Menurutnya, Menkumham hanya bermoÂdalkan nekat, tanpa melihat ramÂbu, Undang-UnÂdang dan norÂma hukum seÂhingga wajar saja kalau PTUN memenangÂkan gugatan tujuh terpidana kasus korupsi itu.
Yang sangat disayangkan, YusÂril Ihza Mahendra selaku kuaÂsa hukum dari ketujuh naÂrapidana itu dianggap membela koruptor, padahal opini tersebut sangat salah, karena ia hanya mewakili kliennya menggugat kebijakan Kemenkumham itu.
Bila Kemenkumham ingin meÂnerapkan pengetatan remisi dan PB, ada baiknya Undang-UnÂdang Nomor 12 Tahun 1995 TenÂÂtang Pemasyarakatan diÂubah terlebih dahulu.
Bikin Koruptor Tak Jera
Flora Dianti, Pengamat Hukum UI
Kemenangan gugatan tuÂjuh narapidana atas moratorium remisi dan pembebasan berÂsyarat, tidak berdampak kepada narapidana tindak pidana koÂrupsi lainnya.
Sebab, putusan Pengadilan TaÂta Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan gugatan tuÂjuh narapidana itu bersifatÂ
indiÂvidual final. Artinya putusan itu hanya diberlakukan terhaÂdap yang mengajukan saja.
Tapi para penggugat itu seÂbaiknya tidak boleh terlalu giÂrang, karena Kemenkumham seÂlaku tergugat akan mengajuÂkan banding. Dengan demikian, mereka harus tetap ditahan kaÂrena belum ada putusan keÂkuatan hukum tetap.
Sebenarnya keberadaan reÂmisi dan pembebasan bersyarat bisa menjadi pemicu berkemÂbangÂnya tindak pidana korupsi. Ini juga yang membuat korupÂtor tidak jera.
Makanya, banyak kalangan berharap, koruptor diberikan perÂlakuan khusus ketimbang pelaku kejahatan lainnya, kaÂrena korupsi merupakan tinÂdak kejahatan luar biasa.
Untuk mewujudkan itu, perlu dipikirkan perangkat hukum dan aturan yang bersinergi agar biÂsa lebih efektif dalam memÂbeÂrikan efek jera. [Harian Rakyat Merdeka]
Sumber:Â http://www.rmol.co/read/2012/03/15/57611/Klien-Yusril-Ingin-Jalani-Hukuman-Sampai-Akhir-