Komisi III DPR: Tak Ada yang Aneh Koruptor Dapat Remisi

Jakarta -Komisi III DPR RI berpandangan tidak ada yang aneh dan perlu diperdebatkan adanya 1.938 narapidana kasus korupsi dapat remisi khusus di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70. Sebab, semua narapidana termasuk koruptor berhak mendapatkan remisi yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan serta sudah tidak relevan lagi hukuman sebagai balasan dan efek jera. "Ya memang setiap hari-hari besar selalu demikian (koruptor) dapat remisi. Tidak ada yang aneh tuh. Napi pun berhak untuk berubah dan teori psychology Zwang Anselm von Fuerbach sudah tidak relevan lagi hukuman sebagai balasan dan efek jera," kata anggota Komisi III DPR, Saiful Bahri Ruray kepada Harian Terbit, Senin (17/8/2015). Menurutnya, sudah ada pertimbangan-pertimbangan khusus dalam pemberian remisi terhadap para narapidana yang menjadi wewenang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Sebab, disatu sisi, dia berpandangan tidak bisa juga menghambat hak narapidana untuk mendapatkan

Komisi III DPR: Tak Ada yang Aneh Koruptor Dapat Remisi
Jakarta -Komisi III DPR RI berpandangan tidak ada yang aneh dan perlu diperdebatkan adanya 1.938 narapidana kasus korupsi dapat remisi khusus di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-70. Sebab, semua narapidana termasuk koruptor berhak mendapatkan remisi yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan serta sudah tidak relevan lagi hukuman sebagai balasan dan efek jera. "Ya memang setiap hari-hari besar selalu demikian (koruptor) dapat remisi. Tidak ada yang aneh tuh. Napi pun berhak untuk berubah dan teori psychology Zwang Anselm von Fuerbach sudah tidak relevan lagi hukuman sebagai balasan dan efek jera," kata anggota Komisi III DPR, Saiful Bahri Ruray kepada Harian Terbit, Senin (17/8/2015). Menurutnya, sudah ada pertimbangan-pertimbangan khusus dalam pemberian remisi terhadap para narapidana yang menjadi wewenang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham). Sebab, disatu sisi, dia berpandangan tidak bisa juga menghambat hak narapidana untuk mendapatkan remisi karena telah dijamin hukum. "Ya itu ada pada juklak remisi Menkumham. Biasanya jadwal shalat Napi pun di amati dan dicatat oleh petugas LP," ungkapnya. Politisi Partai Golkar (PG) itu menegaskan, paradigma atau perubahan pemikiran bahwa LP itu sebagai tempat penghukuman harus diubah. Sebab, sebutnya, filosofi LP adalah membina seseorang menjadi baik yang pada akhir setelah keluar dari LP dapat kembali diterima masyarakat dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. "Justru perubahan itulah makna filosofi LP, karena LP berbeda makna dengan penjara sebagai sarana balas dendam," tegasnya. Anggota Komisi III DPR lainnya, Arsul Sani menambahkan, persoalan narapidana kasus koruptor, narkoba dan terorisme mendapat remisi memang menimbulkan silang pendapat hukum. Namun, dia memaparkan terdapat paling tidak dua sudut pandang yang berbeda. Pertama, yang melihat bahwa ketiga bentuk kejahatan itu sebagai extra ordinary crimes sehingga pelakunya tidak patut diberi remisi. "Sudut pandang ini mendapat legalitasnya di PP 99/2012 yang memberikan syarat-syarat yang lebih berat agar napi pelaku tindak pidana ini bisa dapat remisi," tutur Arsul. Kedua, sudut pandang bahwa setelah diputus secara incracht oleh pengadilan, maka pelaku kejahatan yang menjadi napi adalah warga binaan pemasyarakatan (WBP). Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu kembali menjelaskan, bahwa berdasarkan UU Nomor 12/1995 tentang Pemasyarakatan, maka WBP yang memenuhi syarat-syarat tertentu terutama kelakuan baik berhak atas remisi dan pembebasan bersyarat. "UU Pemasyarakatan ini tidak menganut prinsip diskriminasi dalam pemberian remisi, sehingga semua WBP pada dasarnya berhak atas remisi," jelasnya. Dari sisi urutan peraturan perundangan, sambungnya, maka PP Nomor 99/2012 ini di bawah UU Pemasyarakatan sehingga dipandang tidak boleh ketentuannya bertentangan dengan prinsip-prinsip pemasyarakatan dengan peraturan di atasnya. "Jangan dibilang tidak masalah koruptor dapat remisi. Lebih tepatnya remisi itu punya pijakan hukum karena UU Pemasyarakatan kita tidak mengatur pembedaan pemberian remisi karena jenis kejahatannya," tegasnya. Apabila narapidana kasus koruptor tidak diperbolehkan mendapatkan remisi, maka menurutnya, harus disepakati prinsip-prinsip pemasyarakatan dalam UU Pemasyarakatan yang saat ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. "Apakah memang akan bedakan napi kejahatan tertentu dengan napi kejahatan lainnya atau tidak? Ini harus diatur dengan merevisi UU Pemasyarakatan," tukas anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR itu. Sumber : harianterbit.com  

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0