Konsep Diri Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana

Setiap anak dilahirkan dengan potensi dan kualitas dengan kemampuan (inherent component of abilty) yang berbeda-beda. Sebagai generasi bangsa dan aset roda pembangunan nasional, kualitas masa depan anak harus dipertimbangkan sebab secara interaksi psikologis anak dan lingkungan sekitarnya mempengaruhi tindakan dan pola pikirnya.
Di zaman modern saat ini, banyak hal yang mampu menimbulkan dampak beraneka ragam bagi kehidupan manusia. Adanya kemajuan suatu bidang teknologi yang pesat dari sebuah negara luar secara langsung berdampak pada negara Indonesia saat ini. Hal ini yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Indonesia karena bisa saja menjadi adopsi pemikiran positif dan negatif bagi masyarakat. Modernisasi yang meningkat pesat pun mampu mempengaruhi berbagai anak di dalam lingkungan sosial bermasyarakat di suatu negara.
Menurut Bandura (Sandrock, 2003) fungsi role model sangat penting bagi individu. Ketika role model yang tampil sebagai pengaruh negatif seperti film menampilkan adegan seks bebas, kekerasan, pembunuhan, dan kriminalitas. Hal ini pula mampu menjadi faktor pendorong bagi anak sebagai konsep diri dan pola pikir untuk meniru dan mencoba-coba. Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia tanggal 18 Mei 2021, Anak Berhadapan Hukum (ABH) sebagai pelaku 2016 sampai 2020 dengan tingkat pelaku kekerasan seksual dan kekerasan fisik dibandingkan pelaku tindak pidana lain. Hal ini menunjukkan fungsi role model dalam konteks negatif dianggap sebagai faktor pendorong bagi anak untuk diadopsi pada pola pikir sehingga menciptakan perilaku untuk meniru atau mencoba-coba.
Banyak aspek negatif yang diadopsi oleh seorang anak mampu berdampak bagi psikologis anak untuk melakukan suatu tindak kriminalitas di lingkungan masyarakat. Tentu saja hal ini tidak wajar apabila dilihat dari sisi usia fisik dan mental dari seorang anak. Salah satu penyebab terjadinya kriminalitas pada anak adalah mentalitas yang masih labil. Menurut Sandrock (2003), kenakalan anak mulai dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial, seperti tindakan berlebihan di sekolah, pelanggaran-pelanggaran, seperti melarikan diri dari rumah sampai pada perilaku-perilaku kriminal. ABH yang melakukan tindak kriminal sering juga dianggap sebagai anak maladaptive, yaitu anak yang tidak dapat melakukan perilaku sesuai dengan nilai dan norma sosial.
Dalam kasus ABH, terdapat faktor yang secara bersamaan menjadi penyebab anak melakukan kriminalitas, yaitu faktor internal dan eksternal. Dari konteks internal, penyebab anak melakukan kriminalitas adalah kepribadian, konsep diri, penyesuaian sosial, dan kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah, sedangkan konteks internal penyebab anak melakukan kriminalitas adalah pola asuh keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Faktor penyebab lainnya adalah aspek kepribadian yang berasal dari dalam diri anak, seperti konsep diri. Konsep diri merupakan persepsi yang dimunculkan melalui pengalaman pribadi yang dialami seseorang (Puspasari, 2007:43). Melalui pengalaman pribadi yang dialami seorang anak tersebut akan membuat suatu persepsi interpersonal anak terhadap orang lain di sekitarnya. Oleh karena itu, suatu proses di mana kita menjadi lebih tahu tentang suatu benda, peristiwa, dan khususnya anak melalui pancaindera penglihatan, penciuman, perasa, sentuhan, dan pendengaran (De Vitu, 2009:61). Persepsi merupakan sebuah proses yang aktif karena persepsi manusia adalah hasil dari apa yang terjadi di dunia luar dan dari pengalaman, hasrat, keperluan, keinginan, cinta, dan kebencian yang pernah dialami.
Konsep diri seorang anak adalah bagaimana individu memandang dirinya sendiri yang meliputi aspek fisik, seperti memandang kondisi tubuh dan penampilan, sedangkan pada aspek psikologis, seperti individu memandang kemampuan diri, harga diri, dan rasa percaya diri. Salah satu tindakan ketidakmampuan anak dalam melakukan penyesuaian sosial adalah maraknya perilaku kriminal oleh anak di bawah umur yang melakukan pencurian, asusila, pemukulan, dan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Dalam kondisi seperti ini, maka anak yang melakukan kriminalitas berada dalam tahap perkembangan identity versus identity confusion menurut klasifikasi Ericson (Hurlock, 1998). Apabla berhasil, maka anak tersebut akan mencapai pada perkembangan identitas diri yang jelas, dan sebaliknya anak akan mengalami kebingungan identitas bila gagal dalam melewati tahap perkembangan ini.
Selain itu, anak-anak yang berada pada fase strom dan stress merupakan anak-anak yang masih tergantung terhadap orang tua dari sisi ekonomi dan kebutuhan hidup. Pertumbuhan anak selanjutnya akan berdampak pada interaksi terhadap lingkungan di luar lingkungan keluarga. Pada situasi inilah yang menyebabkan anak akan membandingkan antara lingkungan keluarga dengan lingkungan luar, seperti lingkungan sosial masyarakat atau teman sebaya yang memiliki kondisi berbeda-beda. Perbedaan kondisi tersebut yang menyebabkan seorang anak mengalami kebingungan dan mencari tahu serta berusaha beradaptasi agar diterima oleh masyarakat (Sarwono, 2013). Hal ini juga mampu berdampak pada psikologis anak yang menjadi labil sehingga mampu menimbulkan kenakalan dan tindak kriminal yang dilakukan pada anak.
Keluarga juga merupakan faktor kuat penyebab anak melakukan tindak kriminalitas. Beberapa penelitian mengenai perkembangan kenakalan dan kriminalitas pada anak/remaja ditemukan bahwa tindak kriminalitas disebabkan adanya pengalaman pada pengasuhan yang buruk. Ada tiga jenis pola asuh orang tua terhadap anak, yaitu pola asuh authoritarian, permissive, dan univolved yang menyebabkan anak berperilaku anti sosial. A Budi (2009) menemukan bahwa pola asuh authoritarian orang tua memiliki hubungan positif yang signifikan dengan agresivitas pada Anak Lembaga Pemasyarakatan Anak Kutoarja Jawa Tengah. Pola asuh ini menerapkan disiplin yang sangat kaku, penuh kekerasan, anak mengalami pengasuhan yang buruk yang menyebabkan anak akan memiliki harga diri yang rendah. Menurut penelitian Torrente dan Vazsonyi (2008), pengasuhan yang diberikan oleh ibu memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap munculnya perilaku kenakalan dan tindak kriminal yang dilakukan oleh anak. Ketika seorang ibu tidak memberikan pola asuh yang tepat terhadap anaknya, maka hal ini akan berdampak pada psikologis anak yang memicu terjadinya perilaku tindak kriminal.
Dalam hal seperti ini, perlu dilakukan beberapa cara yang benar dalam melakukan pola asuh terhadap anak sehingga dapat membangun konsep diri anak dalam menjalani kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial masyarakat. Konsep diri seorang anak dapat diubah dan dibangun kembali selama orang tua dan pihak-pihak yang berperan terhadap perkembangan konsep diri anak dilakukan secara serius dan benar. Pola asuh orang tua kepada anak berperan besar terhadap menentukan konsep diri anak. Perasaan dicintai dan dihargai akan membuat anak percaya diri. Terlebih jika orang tua yang menjadi role model utama bagi anak yang disebabkan karena intensitas pertemuan di lingkungan keluarga. Sikap untuk tidak membandingkan anak dengan anak lainnya merupakan sebuah cara agar anak percaya akan apa yang dimilikinya. Anak juga perlu digali potensinya agar diketahui seberapa besar tingkat kemampuan ada terhadap hal yang disukai.
Dalam konteks membangun perkembangan konsep diri pada anak yang melakukan tindak pidana atau kriminalitas diperlukan berbagai pihak yang harus terlibat selain keluarga, antara lain pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat. Pembimbing Kemasyarakatan (PK) pada Balai Pemasyarakatan memiliki tugas dan fungsi pokok berupa pendampingan dan pembimbingan pada ABH. Peran PK pada ABH ini pun harus serius dilakukan agar konsep diri pada anak pelaku tindak pidana diketahui penyebab melakukan kriminalitas, dan kebutuhan dalam memperbaiki konsep diri anak. Pemenuhan dan perlindungan terhadap anak yang melakukan tindak kriminal atau disebut Anak Pelaku harus berjalan sesuai peraturan yang berlaku. Pendekatan secara khusus kepada Anak Pelaku dan orang tua harus dilakukan oleh PK guna mampu menentukan aspek-aspek apa saja yang menjadi penyebab utama anak melakukan tindak pidana. Oleh karena itu, PK sebagai ujung tombak Pemasyarakatan pada Sistem Peradilan Pidana Anak harus melaksanakan tugas dan fungsi secara profesional guna tercapainya kesejahteraan anak untuk masa depan yang lebih baik.
Penulis: Bambang Edy Permono (PK Bapas Sorong)
What's Your Reaction?






