Menyambangi Darut Tabi'iin, Pesantren Khusus Napi di Ambarawa

AMBARAWA, KOMPAS.com - Di Ambarawa, seperti halnya daerah lain di Kabupaten Semarang, suasana Ramadhan begitu kental, terutama pada malam hari. Suara orang membaca Al Qur'an dari masjid dan mushala terdengar bersahut-sahutan. Termasuk di malam ke-12 Ramadhan 1436 Hijriah, atau bertepatan dengan Minggu (29/6/2015) malam, saat Kompas.com berkesempatan mengunjungi sebuah pesantren di Ambarawa, Kabupaten Semarang. Pesantren ini bernama Darut Tabi'iin atau secara harfiah berarti Rumah Para Pencari Taubat. Tidak bisa sembarang orang mengunjungi tempat ini. Pun para santrinya yang bukan sembarang orang. Pesantren ini berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan kelas II-a Ambarawa, dan praktis seluruh santrinya adalah napi dan tahanan yang menghuni Lapas Ambarawa. Ponpes Darut Ta'ibin berdiri pada tanggal 2 Juli 2014. Saat itu tempat ini diresmikan oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jateng Rinto Hakim. Setelah memasuki pintu utama dan memperoleh kartu tanda pengenal kh

Menyambangi Darut Tabi'iin, Pesantren Khusus Napi di Ambarawa
AMBARAWA, KOMPAS.com - Di Ambarawa, seperti halnya daerah lain di Kabupaten Semarang, suasana Ramadhan begitu kental, terutama pada malam hari. Suara orang membaca Al Qur'an dari masjid dan mushala terdengar bersahut-sahutan. Termasuk di malam ke-12 Ramadhan 1436 Hijriah, atau bertepatan dengan Minggu (29/6/2015) malam, saat Kompas.com berkesempatan mengunjungi sebuah pesantren di Ambarawa, Kabupaten Semarang. Pesantren ini bernama Darut Tabi'iin atau secara harfiah berarti Rumah Para Pencari Taubat. Tidak bisa sembarang orang mengunjungi tempat ini. Pun para santrinya yang bukan sembarang orang. Pesantren ini berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan kelas II-a Ambarawa, dan praktis seluruh santrinya adalah napi dan tahanan yang menghuni Lapas Ambarawa. Ponpes Darut Ta'ibin berdiri pada tanggal 2 Juli 2014. Saat itu tempat ini diresmikan oleh Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jateng Rinto Hakim. Setelah memasuki pintu utama dan memperoleh kartu tanda pengenal khusus, sayup-sayup terdengar pembacaan ayat-ayat Al Qur'an dari pengeras suara. Sebuah bangunan Masjid berdiri di tengah lapangan yang dikelilingi bangunan penjara, yang lebih dikenal sebagai Benteng Willem I. Dari Masjid inilah suara merdu pembacaan Al Qur'an berasal. 11 santri lengkap berbaju koko, berpeci dan bersarung duduk melingkar menyimak salah satu santri yang tengah membaca Al Qur'an. Kegiatan tadarus ini dilakukan usai shalat tarawih. "Kami mengajar para santri mulai dari iqra, juz amma maupun Al Quran. Nah, mereka yang mengikuti tadarus yang sudah bisa membaca Al Quran dengan lancar," kata Ahmad Nurrohim (40), warga binaan yang dipercaya menjadi imam di Masjid Ponpes di sela kegiatan Tadarus itu. Ponpes yang berdiri setahun yang lalu itu mengajari para santrinya tentang ilmu agama serta praktik ibadah, mulai dari niat berwudhu, shalat hingga membaca Al Quran. Terlebih lagi, selama bulan Ramadhan mulai dari pagi, ponpes ini sarat dengan kegiatan keagamaan.   Santri dapat piagam Pengasuh Ponpes Darut Ta'ibin, Dwi Agus Setyabudi mengatakan, para santri diwajibkan mengikuti shalat lima waktu secara berjamaah. Pada bulan Ramadhan ini, santri juga wajib mengikuti shalat tarawih dan tadarus. Sebagai bukti ketekunan para santri ini, pada hari ke-10 Ramadhan kemarin, mereka telah mengkhatamkan satu kali Al Quran yang terdiri 30 juz. "Minggu depan, santri ini sudah akan khatam lagi," kata Agus, yang juga Kalapas Ambarawa ini. Menurut Agus, tujuan diadakannya pesantren di dalam lapas ini adalah agar para napi maupun tahanan yang "nyantri" bisa menempuh hidup yang lurus dan mempunyai perilaku atau akhlaq yang baik. Sebagai tanda telah lulus "nyantri", mereka akan mendapatkan piagam. "Kebanyakan para santri ini sebelumnya tidak mengenal Al Quran, Namun, saat berada di sini, berkat bimbingan Ustaz Mukhsin, mereka bisa membaca, bahkan mereka Rabu lalu telah khatam," ujar Agus. Ustaz Mukhsin mengakui, mengajarkan beribadah kepada napi maupun tahanan yang beragama Islam sangat sulit. Butuh kesabaran dan juga kreativitas agar mereka tertarik dan lambat laun membuka kesadaran mereka tentang pentingnya mengenal Tuhan. "Mereka ini, kan orang-orang gundah gulana. Nggak kenal Allah, jadi awalnya sulit diajak. Saya kadang bawa door prize untuk mengajak biar mau," kata Mukhsin. Salah satu santri, Sabar Zaeri (35) mengaku saat pertama kali memasuki lapas sama sekali tidak bisa membaca Al Quran maupun shalat. Namun setelah mengikuti program pesantren di dalam lapas, dia kini telah bisa membaca Al Quran. "Saya tak ingin kembali ke masa lalu saya. Nanti setelah keluar saya saya akan berusaha tidak meninggalkan shalat lima waktu dan membaca Al Quran," ujar Sabar. Sumber : kompas.com

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0