Pedoman Etik dan Muruah Petugas Pemasyarakatan

Pedoman Etik dan Muruah Petugas Pemasyarakatan

Kata “etik” dalam Kamus Besar Bahas Indonesia mempunyai arti nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Etik sangat inheren  dengan etika dan etiket. Walaupun etika dan etiket masing-masing mempunyai perbedaan, keduanya memiliki persamaan, yakni sama-sama berkaitan dengan pedoman perilaku manusia. Sementara itu, kata “muruah” atau yang sering kita kenal dan sebut sebagai marwah secara leksikal mempunyai arti kehormatan diri, harga diri, nama baik.

Buya Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar halaman 7321 menyebutkan muruah adalah tahu akan harga diri dan merupakan dasar yang utama yang menyebabkan timbulnya iman. Senada dengan itu, Abu Al-Hasan Ali Al-Bashri Al-Mawardi berpendapat dalam bukunya Etika Jiwa halaman 159 bahwa salah satu bukti keutamaan dan kemuliaan kepribadian seseorang adalah muruah.

Dalam perspektif Pemasyarakatan, petugas Pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas, baik pelayanan, pembinaan, dan pembimbingan Warga Binaan, pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara, maupun dalam pergaulan hidup sehari-hari ditentukan, salah satunya oleh integritas moral, keteladanan sikap, dan tingkah laku yang secara komprehensif diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) RI No. M.HH-16.KP.05.02 Tahun 2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan. Permenkumham a quo menjadi pegangan dan memuat sekumpulan pedoman sikap, perbuatan, dan tingkah laku yang merupakan etika dan etiket yang harus dipedomani oleh seluruh  petugas Pemasyarakatan. Sebagaimana dalam Pasal 4 ayat 1 Permenkumham No. M.HH-16.KP.05.02 Tahun 2011 tentang Kode Etik Pegawai Pemasyarakatan menerangkan:

Ayat 1:

“Setiap pegawai Pemasyarakatan dalam melaksanakan tugas kedinasan dan pergaulan hidup sehari-hari wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam: berorganisasi; melakukan pelayanan terhadap masyarakat; melakukan pelayanan, pembinaan, dan pembimbingan terhadap Warga Binaan; melakukan pengelolaan terhadap benda sitaan dan barang rampasan negara; melakukan hubungan dengan aparat hukum lainnya; dan kehidupan bermasyarakat.”

Berikut beberapa etika dan etiket yang termaktub dalam Permenkumham a quo:

Pertama, etika dalam berorganisasi, di antaranya menjalin hubungan kerja yang baik dengan semua rekan kerja, baik bawahan maupun atasan; melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung jawab; taat dan disiplin pada aturan organisasi.

Kedua, etika melakukan pelayanan terhadap masyarakat, di antaranya mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau golongan; terbuka terhadap setiap bentuk partisipasi, dukungan, dan pengawasan masyarakat; tegas, adil, dan sopan dalam berinteraksi dengan masyarakat.

Ketiga, etika dalam melakukan pelayanan, pembinaan, dan pembimbingan terhadap Warga Binaan, di antaranya menghormati harkat dan martabat Warga Binaan; mengayomi Warga Binaan; tanggap dalam bertindak, tangguh dalam bekerja, dan tanggon dalam berkepribadian; bijaksana dalam bersikap.

Keempat, etika dalam melakukan pengelolaan terhadap benda sitaan dan barang rampasan negara, di antaranya mampu mengambil tindakan secara tegas terhadap setiap bentuk ancaman; mampu menilai kondisi yang dapat menimbulkan rusaknya benda sitaan dan barang rampasan negara; tidak memanfaatkan benda sitaan dan barang rampasan negara tanpa hak untuk kepentingan pribadi.  

Kelima, etika dalam melakukan hubungan dengan aparat hukum lainnya, di antaranya menghormati dan menghargai kesetaraan profesi; menjaga kehormatan dan kewibawaan profesi.

Keenam, etika dalam kehidupan bermasyarakat, di antaranya tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik; tidak menjadi anggota atau pengurus organisasi sosial kemasyarakatan/keagamaan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan; tidak menjadi penagih utang atau menjadi pelindung orang yang punya utang; tidak menjadi perantara atau makelar perkara dan pelindung perjudian, prostitusi, dan tempat hiburan yang dapat mencemarkan nama baik korps; tidak melakukan perselingkuhan, perzinahan, dan/atau mempunyai istri/suami lebih dari satu orang tanpa izin; tidak menjadi wakil kepentingan orang atau kelompok atau politik tertentu yang mempengaruhi pelaksanaan tugas dan fungsi; dan tidak memasuki tempat yang dapat mencemarkan atau menurunkan harkat dan martabat pegawai Pemasyarakatan kecuali atas perintah jabatan.

 

Antara Etiket dan Muruah

Menurut Abu Al-Hasan Ali Al-Bashri, ada perbedaan substansial antara etiket dan muruah. Etiket adalah tata cara masyarakat beradab dalam memelihara hubungan baik antar sesama, sedangkan pengertian muruah adalah kecermatan seseorang dalam menjaga etiket agar bergerak menuju tingkat terbaik sehingga tidak tampak lagi sifat buruknya dan tidak ada sikapnya yang layak dicela dan dikritik. Dengan demikian, muruah bukan sejumlah etiket yang mulia dan terpuji, tetapi usaha yang cermat dalam memelihara etiket-etiket itu sendiri. Dengan demikian, etiket senantiasa membutuhkan muruah.

Terdapat dua faktor agar memiliki dan dapat mempertahankan muruah:

Pertama, cita-cita yang tinggi. Cita-cita yang tinggi mendorong seseorang untuk benar-benar menguasai suatu bidang dan menjadi pakar dalam bidangnya. Petugas Pemasyarakatan mempunyai cita-cita dan tujuan mulia yang harus dicapai, yakni meningkatnya kualitas narapidana dan Anak Binaan dan memberikan perlindungan terhadap hak tahanan dan anak sesuai amanat Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan.

Kedua, jiwa yang mulia. Dengan memiliki jiwa yang mulia, seseorang bersedia aktif dalam memperbaiki etiketnya dan menyempurnakan akhlaknya. Terkadang manusia mengetahui etiket-etiket yang baik dan akhlak-akhlak yang etis, tetapi jiwanya tidak bersedia mengadaptasinya dan menghiasi dirinya dengannya. Hal ini karena etiket-etiket baik itu bukan suatu perolehan alami atau bawaan sejak lahir, melainkan sesuatu yang harus melalui proses pembiasaan dan latihan. Sebuah ungkapan menyatakan: “Alangkah banyaknya orang yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak mengikutinya.” Adapun orang yang berjiwa mulia akan dengan mudah untuk aktif memperbaiki etiketnya dan menyempurnakan akhlaknya. Dengan proses pembiasaan dan latihan, etiket-etiket baik itu menyatu dengan jiwanya seolah-olah merupakan perolehan alami baginya, kemudian berkembang ke arah yang lebih baik.

Menurut Abu Al-Hasan Ali Al-Bashri, untuk memiliki muruah, masih harus dan wajib mempelajari nilai-nilai normatif mengenai benar dan salahnya norma yang dianut oleh golongan atau masyarakatnya agar sikapnya sesuai dengan asas perilaku masyarakat dan asas perilaku yang disepakati oleh umum. Oleh karenanya, sebagai petugas Pemasyarakatan yang selalu berhubungan dengan Warga Binaan dan masyarakat, muruah sebaik mungkin dijaga, sama halnya dengan menjaga harga diri. Tentu  dengan cara menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai etik yang sudah ditetapkan bagi petugas Pemasyarakatan.

 

Penulis: Insanul Hakim Irfa (Rutan Depok)

What's Your Reaction?

like
3
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0