Proses Rekonstruksi Tahanan, Pengeluaran dari Lapas/Rutan
Dalam proses perkara yang diduga sebagai tindak pidana, dilakukanlah penyelidikan sebagai langkah awal untuk menentukan apakah benar terjadinya pidana atau tidaknya. Jika benar terjadi, dilanjutkan ke tahap penyidikan. Maka, seorang penyidik mencari dan mengumpulkan bukti dari apa yang terjadi dan dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Untuk mendukung pencarian bukti-bukti dan tersangkanya diperlukan pemeriksaan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah sesuai Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Dalam Surat Keputusan (SK) Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor Pol: Skep 1205/IX/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana, diterangkan bahwa pemeriksaan adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan, dan keidentikan tersangka dan/atau saksi dan/atau alat bukti ataupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang terjadi sehingga kedudukan serta peran seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas lalu dituangkan di dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Salah satu metode pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik adalah dengan rekonstruksi. Rekonstruksi merupakan salah satu teknik metode pemeriksaan selain teknik interview, interogasi, dan konfrontasi. Dijelaskan dalam SK Nomor Pol: Skep 1205/IX/2000, rekonstruksi adalah salah satu teknik pemeriksaan dalam penyidikan dengan jalan memperagakan kembali cara tersangka melakukan tindak pidana atau pengetahuan saksi untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang terjadinya suatu tindak pidana tersebut dan untuk menguji kebenaran keterangan tersangka atau saksi sehingga dapat diketahui benar tidaknya tersangka tersebut sebagai pelaku dituangkan dalam BAP Rekonstruksi.
Rekonstruksi digunakan sebagai bukti petunjuk bagi penyidik untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai tindak pidana yang terjadi. Dalam pelaksanaannya, setiap adegan diambil foto-fotonya guna mendapatkan kesesuaian dan kesamaan dengan kejadian yang sebenarnya. Selain itu, masyarakat dapat mengetahui dengan jelas dan terang mengenai kejadian, terlebih kasus yang dilakukan rekonstruksi membuat heboh masyarakat.
Namun bilamana tersangka/tahanan sudah di tempatkan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan/atau Rumah Tahanan Negara (Rutan), sementara penyidik memandang perlu dilakukannya rekonstruksi di Tempat Kejadian Perkara, Pemasyarakatan memiliki aturan dan Standar Operasional Prosedur tersendiri untuk pengeluaran tahanan tersebut. Mengenai pengeluaran tahanan itu sendiri, lebih lanjut diterangkan dalam Keputusan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Nomor: PAS- 170.PK.01.01.02 Tahun 2015 tentang Standar Registrasi dan Klasifikasi Narapidana dan Tahanan bahwa yang dimaksud dengan pengeluaran tahanan adalah kegiatan mengeluarkan tahanan, baik untuk sementara waktu maupun yang bersifat tetap yang didasarkan pada surat perintah/penetapan penahanan yang sah.
Bentuk pengeluaran untuk rekonstruksi perkara ini sifatnya hanya sementara sampai dengan rekonstruksi selesai dan tahanan tersebut harus kembali ke Lapas atau Rutan. Diterangkan dalam Pasal 22 Undang-Undang Pemasyarakatan:
Ayat (1): Pengeluaran sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (7) huruf b dilakukan dalam hal:
a. permintaan instansi yang menahan; dan
b. kondisi darurat.
Adapun yang dimaksud dengan “permintaan instansi yang menahan” dalam pasal tersebut antara lain, perawatan kesehatan, rekonstruksi perkara, menghadiri persidangan, menjadi wali pernikahan dan/atau menghadiri pernikahan anak yang sah menurut hukum, pembagian warisan, dan pelaksanaan pelayanan.
Pengeluaran tahanan untuk keperluan rekonstruksi ini harus melalui prosedur sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Nomor: PAS-170.PK.01.01.02 Tahun 2015 tentang Standar Registrasi dan Klasifikasi Narapidana dan Tahanan, yaitu:
- Meneliti keabsahan surat (nomor surat, tanggal surat, dan pejabat yang berwenang menandatangani + stempel institusi), permintaan peminjaman tahanan untuk rekonstruksi, dan atas seizin pejabat yang berwewenang menahan;
- Memanggil dan meneliti kesesuaian identitas yang bersangkutan dan diberi teraan sidik jari tiga jari tengah kiri serta diberi tanggal dan paraf oleh petugas yang mengambilnya;
- Membuat surat izin Kepala Rutan (Karutan) atau Kepala Lapas (Kalapas) yang memuat:
- Identitas lengkap yang bersangkutan.
- Maksud pengeluaran yang bersangkutan.
- Kondisi kesehatan yang bersangkutan.
- Ketentuan waktu dan tanggal keluar serta kembali ke Rutan/Lapas.
- Pengawalan oleh pihak kepolisian.
- Membuat Berita Acara Serah Terima yang bersangkutan (rangkap 3) :
a. Satu lembar untuk instansi yang memerlukan tahanan.
b. Satu lembar untuk pengawal.
c. Satu lembar untuk arsip.
- Membuat teraan tiga jari kiri pada Surat Izin Karutan/Kalapas dan Berita Acara Serah Terima.
Dengan demikian, lima poin di atas merupakan prosedur baku yang harus dilakukan untuk pengeluaran sementara tahanan guna keperluan rekonstruksi oleh instansi yang memerlukan.
Penulis: Insanul Hakim Ifra (Rutan Depok)