Restorative Justice, Cara Pandang Penyelesaian Perkara yang Kurang Mendapat Perhatian
Sebagian masyarakat di Indonesia mungkin belum banyak yang mengenal Restorative Justice atau Keadilan Restoratif, salah satu konsep peradilan pidana yang diperkenalkan Albert Eglash pada tahun 1977. Konsep Restorative Justice merupakan sebuah cara pandang alternatif dalam penyelesaian perkara yang semula berfokus pada pembalasan/penghukuman kepada pelaku atas tindak pidana yang telah ia lakukan (retributive justice) menjadi penyelesaian perkara dengan menekankan pada pemulihan korban dan lingkungan masyarakat.
Hingga saat ini, Indonesia masih menerapkan konsep Retributive Justice dalam penyelesaian perkara tindak pidana. Hal tersebut tergambar jelas pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menjadi acuan dalam memberikan hukuman kepada para terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana. Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, konsep tersebut dipandang kurang memperhatikan nasib korban dan apa yang sesungguhnya diinginkan korban. Negara menjadi pranata tunggal dalam memberikan hukuman kepada pelaku agar dapat menimbulkan efek jera dan menjadi pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan tindak pidana yang sama.
Selain itu, penerapan konsep penghukuman/pembalasan menimbulkan dampak negatif, yakni jumlah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang berada di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) mengalami kelebihan kapasitas (over capacity) yang mengakibatkan beban negara dalam penyediaan anggaraan bahan makanan dan kebutuhan para WBP menjadi sangat besar. Proses pelaksaanaan pembinaan dan pengawasan kepada WBP di Lapas dan Rutan pun menjadi kurang efektif dikarenakan kurangnya tenaga atau sumber daya manusia yang ditugaskan dalam pelaksanaan tersebut. Tidak hanya itu, tidak sedikit para WBP yang telah selesai menjalani masa pidana di Lapas dan Rutan menjadi lebih mahir dalam melakukan tindak pidana dikarenakan mereka bertemu dan belajar dari orang-orang yang lebih mahir melakukan tindak pidana.
Pelaksanaan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Dari berbagai kekurangan pada pelaksanaan konsep Retibutive Justice dan perkembangan hukum pidana modern di berbagai negara, Indonesia akhirnya mulai menerapkan konsep alternatif pemidanaan Restorative Justice. Penerapan konsep tersebut tertuang secara jelas pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang mengatur secara eksplisit tentang penyelesaian perkara pidana yang dilakukan anak di bawah umur dengan tidak hanya berfokus pada pelaku, namun juga melibatkan korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait (Pasal 1 angka 6 UU SPPA). Penerapan konsep Restorative Justice hingga kini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dengan dikeluarkannya berbagai peraturan, salah satunya peraturan terbaru dari Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Peraturan tersebut selaras dengan peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya, yakni Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif dan Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum. Peraturan-peraturan tersebut merupakan terobosan dan langkah percepatan dalam memperbaiki sistem peradilan pidana yang adil dan dapat mengakomodir.
Tantangan Pelaksanaan Restorative Justice
Namun, langkah-langkah tersebut tampaknya menghadapi banyak tantangan dalam pelaksanaannya. Masyarakat dan Aparat Penegak Hukum (APH) masih berpandangan pelaku kejahatan harus dihukum seberat-beratnya atas apa yang telah mereka lakukan (Retributive Justice) agar pelaku tidak melakukan tindak pidana lagi tanpa memperhatikan keinginan korban dan lingkungan masyarakat yang terkena tindak pidana. Untuk itu, beberapa hal perlu dilakukan agar konsep Restorative Justice dapat diterapkan secara efektif, yakni: Pertama, memberikan pemahaman secara terus-menerus kepada masyarakat mengenai cara pandang baru dalam penyelesaian perkara tindak pidana menggunakan konsep Restorative Justice; Kedua, memberikan pendidikan dan pelatihan bagi APH mengenai peraturan terkait pelaksanaan Restorative Justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Penulis: Miftahul Farida Rusdan (PK Pertama Bapas Kelas I Tangerang)