Restorative Justice Untuk Anak, Apakah Menjadi Solusi?

Restorative Justice Untuk Anak, Apakah Menjadi Solusi?

Indonesia adalah negara besar, terdiri dari beribu-ribu pulau di dalamnya sebagai negara agraris. Bangsa ini menjadi incaran negara-negara lain karena mempunyai berbagai sumber daya alam melimpah mulai dari rempah-rempah atau hasil perkebunan, minyak bumi, kekayaan hutan, hingga bahan tambang. Semua itu ada di negeri ini, Indonesia tercinta.

Bangsa Indonesia butuh generasi penerus berkualitas, berakhlak mulia, dan bermental baja. Anak merupakan generasi penerus bangsa yang wajib kita lindungi karena merupakan aset bangsa.

Menurut Wikipedia Indonesia, anak secara garis besar berarti sesuatu yang lebih kecil, seseorang yang belum dewasa, atau suatu objek yang "dibawahi" oleh objek lain. Namun, arti tersebut mencakup hal-hal yang beragam menurut disiplin ilmiahnya. Dalam bidang biologi, anak umumnya adalah makhluk hidup yang belum mencapai tahap matang atau dewasa.

Definisi anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, yakni seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sementara itu, arti anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) adalah anak yang berhadapan dengan hukum atau biasa disebut dengan ABH. Pengertian dari anak yang berhadapan dengan hukum terbagi menjadi tiga bagian, yaitu anak yang berkonflik dengan hukum (anak sebagai pelaku), anak yang menjadi korban tindak pidana (anak sebagai korban), dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (anak sebagai saksi).

Sesuai amanat Undang-Undang SPPA, anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak sebagai pelaku adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Anak sebagai korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Anak sebagai saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Restorative Justice atau Keadilan Restoratif menurut Undang-Undang SPPA adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan, kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Sementara itu, Diversi merupakan bagian dari Restorative Justice, yakni pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Fakta berbicara bahwa kasus-kasus pidana yang melibatkan anak sebelum terbitnya Undang-Undang SPPA berujung pada pemenjaraan atau pidana penjara. Bahkan, untuk kasus ringan pun berakhir di penjara. Akhirnya, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) pun terisi penuh melebihi kapasitas. Tidak ada yang salah dengan aparat penegak hukum kita mengingat azas hukum yang mengatur demikian bahwa ketika ada masyarakat yang dirugikan dan melaporkan kepada aparat penegak hukum, maka aparat penegak hukum wajib menyelesaikan perkara ini hingga tuntas dan seadil-adilnya. Peran aktif pemerintah melalui perangkat hukumnya, seperti penyidik di kepolisian, jaksa di kejaksaan, hakim di pengadilan, Pembimbing Kemasyarakatan (PK) di Balai Pemasyarakatan, pekerja sosial pada Dinas Sosial atau Kementerian Sosial, serta perhimpunan advokat berpikir mencari solusi terbaik untuk generasi masa depan bangsa karena bangsa ini harus mempunyai generasi-generasi penerus berkualitas dan mempunyai daya juang tinggi agar Indonesia layak diperhitungkan sebagai negara maju di kancah Internasional.

Sekilas sejarah terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA dari para pegiat dan pemerhati anak sebelum lahirnya undang-undang tersebut melalui organisasi kelembagaannya melakukan upaya keras agar anak-anak yang terlibat tindak pidana tidak lagi berujung pidana penjara. Para pegiat mencari solusi alternatif agar anak dapat diselamatkan masa depannya, anak menjadi cikal bakal generasi penerus bangsa yang harus diperhatikan tumbuh kembangnya, pendidikannya, dan hak-hak lainnya. Pegiat dan pemerhati anak menggandeng beberapa kementerian, terutama dalam bidang hukum, dan kementerian lain terkait anak, yaitu Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di mana penjara anak berada dalam lembaga tersebut, Mahkamah Agung di mana para hakim yang mempunyai kewenangan memutus perkara anak, Kejaksaan Agung yang menuntut anak pelaku, Kepolisian Negara RI yang menangkap dan menyidik kasus anak, Kementerian Sosial, serta lembaga pemerintah independen maupun nonindependen yang terkait anak, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Lembaga Swadaya Masyarakat, seperti Lembaga Perlindungan Anak Indonesia dan Komnas Perlindungan Anak.

Lembaga pemerintah dan pegiat serta pemerhati anak berpikir dan bekerja keras bersama-sama mencari solusi terbaik agar kasus-kasus anak tidak lagi berujung pada pidana penjara. Dengan perjuangan dan kerja sama tersebut, maka keluarlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA yang telah berhasil menyusutkan angka anak yang melakukan tindak pidana dengan berujung pada pidana penjara. Proses hukum anak semaksimal mungkin dihindarkan dari putusan pidana penjara atau Ultimum Remedium sesuai amanat Undang-undang SPPA.

Sekilas catatan informasi saat penulis melakukan wawancara di salah satu LPKA di wilayah Banten bahwa dalam kurun waktu kurang dari dua tahun sejak berlakunya Undang-Undang SPPA, angka penghuni di lembaga tersebut turun secara signifikan sehingga pembinaan di LPKA dalam berjalan optimal.

Penurunan angka penghuni atau Anak Binaan di LPKA tidak luput dari peran serta aparat penegak hukum mulai dari penyidik anak, jaksa anak, hakim anak, pengacara anak, dan peran aktif PK yang mengawal dan mendampingi proses hukum pelaku anak mulai dari pra-ajudikasi, ajudikasi, hingga post-ajudikasi serta memberikan rekomendasi terbaik dan tepat kepada Majelis Hakim Anak agar dapat mempertimbangkan rekomendasi PK dalam memberikan putusan.  Di sisi lainnya, saat ini kita pun turut prihatin bahwa tidak sedikit pula anak-anak yang berani terlibat tindak pidana, seperti tawuran pelajar, geng motor atau gangster, pencurian kendaraan bermotor atau begal dengan menggunakan senjata tajam, hingga jaringan narkoba maupun terorisme yang memanfaatkan anak-anak dalam setiap aksinya. Masyarakat dibuat takut dan cemas akan aksi-aksi ini yang mengakibatkan tindak pidana.

Pekerjaan rumah kembali ditujukan untuk aparatur penegak hukum, orang tua/wali, dan pegiat anak mengatasi hal ini agar anak-anak kembali ke sekolah dan belajar sebagaimana mestinya demi masa depan bangsa serta tidak ikut merasakan terpisah dari keluarga karena terlibat masalah hukum.

 

Penulis: Sumadi (PK Muda di Bapas Kelas I Tangerang)

What's Your Reaction?

like
1
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0