Santri Daarusyifa: Belajar Mengaji Dari Balik Jeruji

Jakarta (Kemenag) - Jumat (20/10), waktu  baru  menunjukkan pukul 10.00 WIB, ketika saya bersama beberapa penyuluh agama fungsional  memasuki gerbang besi berwarna biru. Untuk masuk ke dalam areal ini memang kami perlu melewati pintu berlapis dengan pemeriksaan berlapis pula. Setelah serangkaian prosedur dilewati, tibalah kami di pintu terakhir yang menghubungkan kami dengan  sebuah ruang terbuka. Terdapat taman luas di sana. Beberapa pria tampak sedang beraktivitas. Sebagian mereka terlihat sedang senam, meregangkan otot-otot. Sebagian lain melakukan kegiatan kelompok. Sebagian lagi sekedar duduk santai sambil ngobrol di tepi taman. “Allahumma sholli sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman. Taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadinil-ladzi, tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil qurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju wa tunaalu bihir-raghaa’ibu. Wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghamaamu. Bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi fii kulli

Santri Daarusyifa: Belajar Mengaji Dari Balik Jeruji
Jakarta (Kemenag) - Jumat (20/10), waktu  baru  menunjukkan pukul 10.00 WIB, ketika saya bersama beberapa penyuluh agama fungsional  memasuki gerbang besi berwarna biru. Untuk masuk ke dalam areal ini memang kami perlu melewati pintu berlapis dengan pemeriksaan berlapis pula. Setelah serangkaian prosedur dilewati, tibalah kami di pintu terakhir yang menghubungkan kami dengan  sebuah ruang terbuka. Terdapat taman luas di sana. Beberapa pria tampak sedang beraktivitas. Sebagian mereka terlihat sedang senam, meregangkan otot-otot. Sebagian lain melakukan kegiatan kelompok. Sebagian lagi sekedar duduk santai sambil ngobrol di tepi taman. “Allahumma sholli sholaatan kaamilatan wa sallim salaaman. Taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadinil-ladzi, tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil qurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju wa tunaalu bihir-raghaa’ibu. Wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghamaamu. Bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi fii kulli lamhatin wanafasin. Wanafasin bi‘adadi kulli ma’luumin laka,” tiba-tiba terdengar bacaan Shalawat Nariyah dari pengeras suara. Senandung Shalawat Nariyah mengalun syahdu dan merdu, hingga menggetarkan kalbu. Sebenarnya ini hal lumrah terdengar  di  majelis taklim atau  pesantren.  Hari itu, nuansanya berbeda karena Nariyah berkumandang di balik jeruji. Ya, pagi itu saya sedang berada di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Narkotika Kelas II A Cipinang, Jakarta. Tempat ini dihuni sekitar 3000an orang warga binaan yang terjerat kasus narkotika. "Itu suara shalawatan darimana, Pak?" tanyaku tuk meyakinkan diri. "Itu para santri kita Mba. Mereka sudah di masjid, sedang siap-siap pengajian," sahut Herman, sipir yang menemani rombongan kami sambil menunjuk ke arah bangunan rumah ibadah di komplek lapas yang diberi nama Masjid Daarusyifa. "Mereka sudah menunggu ustadz sejak tadi," lanjutnya sambil menoleh ke arah para penyuluh agama Jakarta Timur yang masuk bersama kami. Para penyuluh agama tersebut mengangguk sambil tersenyum, serta mempercepat langkahnya ke  arah datangnya suara. Kedatangan para penyuluh agama ke Masjid Daarusyifa langsung disambut para santri yang bersiap mengikuti pengajian. Aku bersama tim Inmas DKI ikut gabung dalam pengajian tersebut. Dan, itulah awal perkenalan Inmas DKI dengan para santri Pesantren Daarusyifa Lapas Narkotika Kelas II A Cipinang. Memberikan penyuluhan agama kepada para penghuni lapas  Cipinang menjadi tugas rutin para penyuluh agama fungsional Kankemenag Agama Kota Jakarta Timur. Selain memberikan penyuluhan, mereka jugag memprakarsai terbentuknya Pondok Pesantren Daarusyifa. “Pesantren Daarusyifa berawal dari kemauan pihak santri dan juga dukungan penuh dari Kepala Lapas yang bertugas di Lapas Narkotika Cipinang. Ini sangat luar biasa,” tutur Ruspendi, Ketua Kelompok Kerja Penyuluh (Pokjaluh) Jakarta Timur. Menurut Ruspendi, kegiatan penyuluhan di Lapas Narkotika Cipinang ini awalnya berjalan seperti penyuluhan pada umumnya. Namun seiring waktu, antusiasme para warga binaan pun makin meningkat. “Pihak Lapas tidak memaksa warga binaan (untuk mengikuti pembinaan keislaman) karena memang terkait dengan HAM. Jadi artinya yang aktif di masjid, semua atas keinginan mereka sendiri. Namun demikian Alhamdulillah khusus untuk di LP Narkotika Cipinang ini antusiasme mereka sangat besar sekali,” tutur penyuluh agama yang telah 17 tahun melakukan penyuluhan di komplek Lapas Cipinang ini. Melihat antusiasme yang ada, maka Ruspendi dan kawan-kawan penyuluh agama lainnya mulai menyusun kurikulum dalam penyuluhan yang mereka lakukan. Untuk memantapkan ikhtiar mereka, maka pengajuan pendirian pondok pesantren terpadu pun dilayangkan ke Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Timur. Pondok Pesantren Terpadu Daarusyifa inpun memperoleh surat ijin operasional per 27 Maret 2017. Keberadaan Pesantren Terpadu Daarusyifa ini diapresiasi Kepala Lapas Narkotika Kelas II A Cipinang, Asep Sutandar. Menurut Asep,  pembinaan mental sangat penting terutama untuk membangkitkan motivasi warga binaan. Salah satunya dalam rangka meyakinkan bahwa agama yang mereka pegang diyakini. “Maka caranya harus melalui pembinaan dan pembinaan ini dilalukan oleh pesantren supaya lebih terfokus dalam pelajarannya,” tandasnya. Sejak izin operasional diterbitkan, pendidikan keagamaan Pesantren Terpadu Daarusyifa dilaksanakan sesuai kurikulum yang disusun. “Kami, biasanya dari Senin sampai Kamis mengajar di sini,” cerita Juweni, salah satu penyuluh agama fungsional Kankemenag Kota Jakarta Timur. Bagi Juweni, mengajar di pondok pesantren Daarusyifa adalah bagian tanggung jawabnya sebagai penyuluh agama. “Bukan hanya mengajar majelis taklim saja, tapi orang-orang di dalam sini juga perlu dibina. Banyak yang semula tidak pernah tersentuh  ajaran agama saat ada di luar,” tuturnya. Ali, salah satu warga binaan di Lapas Narkotika pun setuju dengan hal tersebut. Ia tak menyangka masa tahanan 3 tahun dari vonis 12 tahun yang dijalaninya, malah berbuah manis dengan kesempatannya untuk mengenal agama. “Setelah saya melaksanakan kegiatan di sini dengan mengikuti program santri, alhamdulillah rasa manis dan pahitnya tinggal di sini terasa perubahannya,” tuturnya berbinar. Hal serupa dialami Endang, warga binaan yang diganjar 7 tahun masa tahanan. “Dulu saya gak bisa ngaji, tapi alhamdulillah sekarang sudah bisa membaca Al-Quran,” tuturnya. Ia pun bercerita, makin memperdalam ilmu agama di Pesantren Daarusyifa ternyata menimbulkan kerinduan Endang  untuk dapat pergi ke Baitullah. Untuk mengobati kerinduannya, pria yang semula berprofesi sebagai ahli dekorasi ini, mengisi waktunya dengan membuat maket miniatur masjidil haram lengkap dengan Ka’bah nya. “Saya melinting sekitar 5000 lembar koran untuk menghasilkan seperti ini. Kurang lebih sudah hampir 6 bulan saya mengerjakan ini,” kata Endang sambil menunjukkan maket miniatur masjidil haram yang hampir jadi. Pembinaan yang terus dilakukan para penyuluh agama ternyata tak sia-sia. Saat ini, Pesantren Terpadu Daarusyifa memiliki sekitar 250 orang santri, 25 orang diantaranya mengikuti program tahfidz. “Sudah ada santri yang hafal 5 juz sekarang,” tutur Manaf, salah satu pengurus Pesantren Terpadu Daarusyifa. Ke depan, para penyuluh agama yang mengasuh Pondok Pesantren Terpadu Daarusyifa akan terus memperbaiki kurikulum bagi para santri. "Kami terus berkoordinasi dengan teman-teman di seksi pendidikan pondok pesantren Kankemenag kota dan Kanwil Kemenag DKI Jakarta untuk terus memperbaiki sistem pembelajaran di ponpes ini," tutur Ruspendi.     sumber: kemenag.go.id

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0