Tangisan Seorang Sipir

Tangisan Seorang Sipir

Palu diketuk. Lelehan lilin perlahan habis dan mati, hatiku hancur lebur seketika. Majelis Hakim memberikan isyarat akan dimulainya sidang. Waktu seolah membuang sauhnya jauh entah kemana, siang itu waktu seakan lumpuh. Aku benar-benar tidak percaya akan masuk dalam situasi ini. Orang-orang dengan wajah seolah hendak menerkam dengan baju-baju kebesaran mereka, sementara yang lain duduk rapi di belakangku seolah melempar bara-bara api ke tubuhku. Saksisaksi dihadirkan namun tak sedikitpun membantu.

Aku bisa meyakinkan diriku bahwa aku dijebak, tapi sayang kenapa begitu susah meyakinkan mereka bahwa aku tidak mengerti duduk persoalan seperti apa dan seharusnya bukan aku yang duduk di kursi pesakitan ini. Ketidakmahiranku dalam mengolah kata-kata kini menjadi boomerang bagi diriku sendiri. Aku bisa merasakan tajamnya tulang ekor kedua anakku di bahu kiri dan kananku saat itu. Pandanganku lurus ke depan layaknya seseorang yang sedang bercermin, memantulkan beban masa depan yang tidak akan pernah ada habisnya. Aku tidak menemukan seorang wanita di alam khayalku. Wanita itu telah lama memutuskan untuk meninggalkan kami bertiga mungkin lantaran tidak pernah cukup tersedianya kebutuhan rumah tangga, jarang aroma ikan mengendus keluar lewat celah-celah dapur, atau mungkin pula karena hanya setahun sekali baju baru menggantung di tubuh kurusnya. Ia pergi entah kemana rimbanya. Saat itu tidak ada lagi sosok yang dulunya kukagumi karena kerendahan hatinya. Kami bertiga saja. Anak-anakku hanya butuh diriku, bukan yang lainnya.

Serangkaian acara persidangan telah dilalui. Kali ini aku kalah. Bangunan kokoh nan tinggi menjulang tersenyum mengejek kepadaku.

“Hai orang kecil! Dekil! Kau tak akan pernah menang!”

Langkah-langkah kakiku yang kosong mengikuti jejak sepatu seorang sipir yang menuntunku menuju bilik jeruji. Beberapa narapidana sedang membersihkan pekarangan, beberapa pula sedang menyapu Masjid tidak jauh dari setapak tempatnya berjalan. Semua beradu pandang, berhenti sejenak melihat teman baru mereka. Kupandang wajah mereka satu per satu, memberikan sedikit senyuman kemudian lebih banyak menunduk. Di bagian utara Lapas ini, di balik dedaunan dan ranting bunga kembang sepatu, sepasang mata penuh kebencian mengawasiku dari kejauhan.

Aku ditempatkan di dalam ruangan yang ukurannya cukup kecil bersama dengan beberapa narapidana lainnya. Pikiran berlari jauh ke atap rumahku yang belum selesai kuperbaiki. Bagaimana anak-anakku nanti saat hujan turun. Betapa repotnya mereka menghadapi rumah yang bocor tanpa seorang ayah. Anakku yang sulung punya cita-cita yang kuat untuk menjadi seorang tentara, sementara si bungsu yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar menginginkan dirinya menjadi seorang nahkoda kapal. Di malam-malam sebelumnya aku dengan setianya mendengar cerita mereka ketika berada di sekolah maupun di lingkungan bermainnya, menemani mereka belajar, dan mengawasi mereka hingga terlelap mimpi. Kini keduanya kutitipkan di tetangga persis di sebelah rumahku agar mereka tidak kesepian dan larut dalam kesedihan.

Hari berlalu, tahun pun berganti. Si bungsu datang berkunjung dan memberikan kabar bahwa kakaknya sedang berada di luar kota dan mengikuti tes di sebuah lembaga yang membutukan tenaga kerja dengan lulusan SMA. Aku bertanya banyak soal yang satu ini, tetapi anakku yang masih dibilang kecil ini tidak bisa menjelaskan secara detail mengenai kakaknya. Waktu berkunjung hampir selesai. Anakku akan segera kembali ke rumah.

“Ayah, kenapa perempuan itu terus saja melihatku?” Bulu kudukku merinding. Aku melihat ke sekeliling dengan lekat-lekat. Tidak kudapati seorang perempuan di situ.

“Anak ayah ternyata sukanya mengkhayal ya sekarang. Awal kesambet setan kamu ya.”, kataku sambil tertawa, kemudian menyuruhnya pulang. Aku kembali ke dalam sel, merebahkan badan di atas tikar. Akupun terlelap dengan kantuk yang meraja. Dalam tidurku bermimpi anakku yang sulung datang mengunjungiku bersama ibunya. Ibunya cantik sekali, namun raut kesedihan tersirat di wajahnya yang kian menua. Si sulung berseragam tentara lengkap dengan baret hijau dan senjatanya, tersenyum kepadaku, lalu menghilang bersama suara adzan. Waktu magrib telah tiba. Narapidana yang beragama Islam berbondong-bondong menuju Mushola untuk sholat berjamaah. Setiap orang dengan doanya masing-masing, memohon kelapangan hidup, bertobat menyesali perbuatan yang telah dilakukan mereka ketika masih bisa menghirup udara di luar hotel prodeo, dan masih banyak lagi doa yang berseliweran di langit Lembaga Pemasyarakatan saat itu.

Malam itu kami kedatangan tamu seorang petinggi Lapas. Selesai sholat berjamaah, beliau memberikan arahan dan nasihat kepada kami semua agar ikhlas menjalani hidup dan harus berjanji untuk menjadi orang yang berbeda dari masa sebelumnya.

“Hidup itu perlu yang namanya perubahan. Jadikan masalah sebagai sebuah ujian, jangan jadikan sebagai hal yang membuat kita terus terpuruk dan tidak mau berusaha bangkit dan menjadi lebih baik. Karena Allah tidak akan pernam merubah nasib seorang hambanya apabila ia tidak mau berusaha. Setiap masalah punya solusinya masing-masing.” Di sela-sela pertemuan kami, beliau kembali mengingatkan untuk menjalani pola hidup sehat. Karena di masa pandemi ini pola hidup sehat adalah kunci utama untuk kehidupan yang lebih baik.

Malam itu tersiar kabar bahwa kedatangan petinggi Lapas itu ada kaitannya dengan akan ada penambahan anggota sipir di Lapas yang mereka huni. Masing-masing kemudian bercerita tentang sipir-sipir mana yang mereka suka dan mana yang mereka benci. Mereka berharap anggota sipir yang baru nanti lebih baik dari yang sebelum-sebelumnya. Semua narapidana kembali ke biliknya masing-masing mempersiapkan diri untuk melakukan kerja bakti dan menghias rutan esok hari mengingat HUT RI makin dekat. Kami semua tertidur lelap, berharap mimpi mendapatkan hadiah terindah di 17 Agustus nanti.

Pagi itu langit begitu cerah. Dari kejauhan beberapa orang tersenyum bahagia. Rasa penasaran mendorongku untuk menghampiri mereka. Ternyata di perayaan 17 Agustus nanti mereka bebas. Mereka mendapat hadiah grasi dari Presiden. Air mataku tumpah seketika, syukur yang tak terhingga karena aku juga masuk dalam daftar nama penerima grasi tahun ini. Aku akan segera bebas. Aku akan segera bertemu kedua anakku.

Hari yang dinanti-nantikan pun tiba. Kami menyambut hari kemerdekaan ini penuh dengan suka cita. Langkahku terasa ringan menuju tempat upacara. Tinggal menghitung jam aku akan dengan bebasnya memeluk kedua anakku erat. Kami mulai berbaris. Di antara barisan para sipir, ada belasan anggota sipir baru yang ditempatkan di Lapas ini. Upacara berlangsung khidmat. Lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu-lagu kebangsaan lainnya mampu membakar semangat kami semua untuk bangkit. Upacara selesai dan kami saling bersalaman. Di tengahtengah kerumunan tiba-tiba seseorang memelukku erat. Seorang pemuda gagah berseragam sipir terus memelukku erat sambil terisak. Hingga akhirnya aku menyadari, anakku kini telah menjadi seorang sipir. Kami berdua larut dalam tangis bahagia. Di hari kemerdekaan ini aku benar-benar merasakan apa itu kemerdekaan yang sesungguhnya.

***

Seorang narapidana wanita separuh baya melihat kebahagiaan mereka berdua dengan air mata yang berlinang. Sepasang mata elangnya tidak berkedip sedikitpun. Wanita itu berdiri cukup lama hingga keduanya selesai berpelukan. “Selamat berbahagia, anakku sayang. Kau tumbuh sempurna bersama ayahmu.”

 

 

Penulis: Siti Sufiyah Mbele

Juara I Lomba Cerpen Piala Menteri Hukum dan HAM RI dalam rangka HUT Ke-75 RI (Kategori Masyarakat)

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
4
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0