Wahyu Mencintai Reyog Antarkan Ia hingga Luar Negeri

Ponorogo - Kecintaan terhadap daerah kadang baru terasa sewaktu pergi merantau. Wahyu Dhita Putranto yang dulu kuliah di Universitas Jember (Unej) sempat merasa krisis identitas sebagai warga Ponorogo. Dia pun memilih menjadi pembarong hingga membawanya melanglang buana sampai Filipina dan Malaysia. Hingga kini, dia masih aktif sebagai seniman reyog. Sebagai petugas rutan, sikapnya tegas berwibawa. Namun, lain cerita ketika dia sudah berada di balik dadak merak. Lenggak-lenggok tarian dadak merak mengalir dalam setiap gerak. Dia adalah Wahyu Dhita Putranto, Kasubsi Pelayanan Tahanan Rutan Klas II B Ponorogo. Di balik kesehariannya bertugas di rutan, hingga kini dia aktif menjadi seniman reyog dan bermain sebagai pembarong. Warga Jalan Cokromenggolo itu mulai terjun menjadi pemain reyog sejak 1999. Saat itu, dia masih berstatus mahasiswa Unej. Wahyu memilih masuk ke UKM Sardulo Anurogo, unit kegiatan mahasiswa seni reyog. Awalnya dia tidak tahu sama sekali tentang

Wahyu Mencintai Reyog Antarkan Ia hingga Luar Negeri
Ponorogo - Kecintaan terhadap daerah kadang baru terasa sewaktu pergi merantau. Wahyu Dhita Putranto yang dulu kuliah di Universitas Jember (Unej) sempat merasa krisis identitas sebagai warga Ponorogo. Dia pun memilih menjadi pembarong hingga membawanya melanglang buana sampai Filipina dan Malaysia. Hingga kini, dia masih aktif sebagai seniman reyog. Sebagai petugas rutan, sikapnya tegas berwibawa. Namun, lain cerita ketika dia sudah berada di balik dadak merak. Lenggak-lenggok tarian dadak merak mengalir dalam setiap gerak. Dia adalah Wahyu Dhita Putranto, Kasubsi Pelayanan Tahanan Rutan Klas II B Ponorogo. Di balik kesehariannya bertugas di rutan, hingga kini dia aktif menjadi seniman reyog dan bermain sebagai pembarong. Warga Jalan Cokromenggolo itu mulai terjun menjadi pemain reyog sejak 1999. Saat itu, dia masih berstatus mahasiswa Unej. Wahyu memilih masuk ke UKM Sardulo Anurogo, unit kegiatan mahasiswa seni reyog. Awalnya dia tidak tahu sama sekali tentang kesenian itu. Pun belum pernah membayangkan menjadi seniman reyog. ‘’Yang melatarbelakangi saya masuk ke UKM itu karena lambat laun menyadari bahwa saya orang Ponorogo,’’ katanya. Sebagai warga bumi reyog yang hidup di perantauan, dia merasa krisis identitas. Dia menyadari betul sebagai warga Ponorogo kurang menunjukkan identitasnya. Sebab, Ponorogo identik dengan seni reyog. ‘’Istilahnya ikut nguri-uri lah, dengan masuk UKM itu’’ tambahnya. Di unit kegiatan mahasiswa tersebut, dia langsung minat menjadi pembarong. Itu, dilakoninya hingga kini. Butuh waktu tidak sebentar bagi Wahyu belajar menjadi seorang pembarong. Tapi begitu menguasai, dia langsung tampil di banyak daerah bersama komunitasnya. ‘’Dulu banyak sekali undanganuntuk tampil mengisi acara,’’ ujarnya. Selama menjadi mahasiswa, Wahyu melanglangbuana dengan UKM-nya ke daerah-daerah seperti Jakarta, Surabaya serta kota-kota besar lainnya di Jawa. Dia juga pernah main reyog di Bali. Wahyu dan Sardulo Anurogo juga sempat tampil di luar negeri seperti Filipina pada 2002 dan Malaysia di tahun 2003. Menurut Wahyu, Sardulo Anurogo memang laris manis lantaran berisi seniman intens belajar reyog. Bahkan menurutnya, Sardulo Anurogo merupakan UKM pertama di Indonesia yang bergelut khusus dalam seni reyog. Setelah menyandang gelar sarjana, Wahyu melanjutkan studinya di salah satu perguruan tinggi di Mojokerto. Lulus 2006 dan mulai bekerja di Rutan Klas II A Jember, dia tetap bermain reyog. Bahkan sampai sekarang saat dia bertugas di Rutan Klas II B Ponorogo. Kebanyakan petugas melakukan pendekatan melalui sisi rohani atau menularkan keterampilan kepada warga binaan. Lain halnya dengan Wahyu. Sebagai petugas pemasyarakatan, seni reyog menjadi alat pendekatannya kepada warga binaan. Dia percaya kesenian apapun bisa memperhalus jiwa dan menekan sisi keras seseorang. Termasuk reyog. ‘’Di dalam seni, ada kontrol emosi. Sementara, banyak kejahatan terjadi karena emosi tidak terkontrol,’’ tuturnya. Khusus di Rutan Klas II B Ponorogo, Wahyu membentuk komunitas reyog yang semua senimannya adalah warga binaan rutan. Seni reyog itu dinamakan Singo Kinunjoro atau bisa diartikan Harimau yang Terpenjara. Singo Kinunjoro pun banyak mengisi acara di bumi reyog. Terkadang, mereka juga tampil di luar daerah seperti saat perayaan ulang tahun pemasyarakatan di Lapas Klas I Malang beberapa waktu lalu. ‘’Bahkan kami juga ditawari untuk tampil di Prancis tahun ini. Namun belum tahu kepastiannya bagaimana,’’ ujarnya. Wahyu tetap ingin menggeluti seni reyog. Kesibukannya bekerja bukan halangan. Dia juga merasa waktunya tidak tersita lantaran harus sibuk bekerja dan bermain reyog. Sebab, reyog sudah menjadi bagian hidupnya yang seharusnya dinikmati. ‘’Kalau dinikmati, pasti tidak akan terasa menjadi beban. Lagipula sudah lama reyog menjadi bagian hidup saya. Sehingga sulit untuk meninggalkan begitu saja,’’ jelasnya.(irw) Sumber : radarmadiun.co.id  

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0