Kalanjana

Kalanjana

Musim hujan kali ini benar-benar berbeda. Bukan hanya karena hujan yang menumpuk berhari-hari tanpa jeda. Tapi juga angin yang berhembus sangat kencang menyeret berjuta-juta air ke segala arah. Barang-barang basah lembab karena genting-genting tak cukup sempurna menghalau air. Apalagi memang penjara dibangun dengan penuh lubang angin-angin. Jadi selalu saja ada air yang masuk di sela-selanya. Kain-kain segala rupa teronggok laiknya batang pisang yang membusuk. Tak ada yang kering, tak ada kehangatan. Orang-orang sibuk menciptakan kehangatan: minuman panas, mie instan panas, dan pakaian tebal hangat. Semua sia-sia.

Penjara ini tetap dingin. Besi jerujinya, matras tidurnya, dinding-dindingnya; semua basah dan dingin. Hanya sebatang rokok yang dibakar yang bersikeras menghangatkan empunya. Beberapa ekor kucing yang biasanya hilir mudik pun lebih memilih melipat tubuhnya di pojokan teras.

Areal demplot pertanian yang dikelola beberapa warga binaan pemasyarakatan pun merasakan dahsyatnya musim hujan kali ini. Beberapa tanaman berusaha bertahan tapi sia-sia, semua bagian dari dirinya luruh dan tertekuk. Daun-daun merunduk diberati tumpahan air. Bungabunga turi yang putih mencoklat terserang air bercampur lumpur. Kecambah-kecambah polongpolongan mulai membusuk karena terendam air berlimpah. Sawi-sawi mulai rusak daunnya akibat terhempas tergoncang angin berair.

“Kang kita gagal panen tahun ini. Tidak ada yang tersisa,” kata seorang laki-laki yang mengenakan caping. Laki-laki yang dipanggil ‘Kang’ tidak memberi jawaban. Matanya masih tertuju pada tanaman-tanamannya.

“Ini bukan gagal lagi Man. Ini bencana…,” jawab laki-laki yang dipanggil ‘Kang’ itu.

“Apa yang bisa diselamatkan Kang?” tanya laki-laki yang dipanggil Man itu sambil menyulut rokok kreteknya. “Aku juga sedang berpikir itu. Ini di luar dugaan. Baru tahun ini hujan kok di bulan Juli begini,” laki-laki yang dipanggil Kang itu masuk areal Demplot pertanian yang tak seberapa luas itu,”mungkin sawi-sawi ini masih bisa dipanen Man. Ya walaupun tidak semua.”

“Ya lumayan Kang…,” jawabnya sambil tetap menikmati kreteknya.

“Paling tidak bisa untuk bikin sayur satu dua bulan,” tambah Kang lagi.

“Kalau lombok masih bisa diharapkan itu Kang. Nah, terong juga. Yang habis kecambah kacang hijau yang Kang Padmo semai seminggu lalu itu.”

Kang Padmo hanya manggut-manggut mendengarkan keterangan Man. Perlahan dia menyusuri pematang demplot diikuti Man. Keduanya sesekali berhenti mengamati situasi sekitar. Lalu berjalan lagi.

“Man apa bibit kalanjanamu masih?” tanya Kang Padmo tiba-tiba

“Masih Kang,” jawab Man sambil menghisap kreteknya yang tersisa seperempat,”lha di petak paling selatan khan saya tanam juga. Ayo kesana Kang.”

Tanpa berkata-kata dua laki-laki itu berjalan ke arah petak yang dituju. Sesekali kedua lakilaki itu menyingkirkan aral yang menghalangi jalannya. Beberapa burung tampak menikmati hari pertama pasca badai usai.

“Dimana Man?”

“Harusnya disini Kang,” jawab Man tergopoh-gopoh.

“Sudah ada yang lebih dulu memanen Man. Kita kalah cepat…” ujar Kang Padmo.

Tidak ada satu kata pun keluar dari mulut Man. Terlalu kaget dia dengan apa yang dilihatnya. Sebenarnya tidak terlalu masalah kehilangan buah atau tanaman di demplot pertanian ini. Karena saking seringnya. Semua pun mafhum adanya. Yah beberapa ikat sawi, beberapa buah terong, dan beberapa buah cabe kadang raib begitu saja dari demplot. Semua paham karena biasanya ada yang benar-benar membutuhkan untuk makanan tambahan di kamar.

“Gendeng!” teriak si Man tiba-tiba sambil membanting capingnya.

“Siapa yang gendeng Man?”

“Ya maling kalanjana itu Kang,” bersungut-sungut si Man sambil menatap petak selatannya yang sudah tumpas habis,”masak rumput saja dicuri.”

“Lha terus kamu suruh maling apa? Wong yang ada memang tinggal rumput,” tukas Kang Padmo sambil beranjak pergi.

“Kita ini kurang apa sih Kang. Sawi dicabut ya diam. Terong dipetik ya monggo. Lombok digasak ya silahkan saja. Niat kita berbagi. Ya saya sadar wong di luar dulu ya suka colong jupuk jadi lumrah kalau saya juga diperlakukan gitu. Tapi e ini khan hanya kalanjana Kang. Rumput gajah gitu lho.”

“Iya Man. Aku ya tahu yang kamu rasakan itu. Tapi ya terus mau bagaimana? Aku tahu kalanjana itu kebanggaanmu karena paling subur diantara tanaman-tanamanmu yang lain. Kamu senang karena kambing-kambingmu tambah gemuk kalau kamu kasih kalanjanamu. Uang rokokmu ya tambah kalau ada yang beli rumputmu itu. Tapi khan yang diambil itu kadang yang paling kita cintai to Man? Waktu kamu nyuri dulu yang kamu ambil pasti barang-barang yang dicintai pemiliknya to?”

Memang sejak dipekerjakan di demplot pertanian Man berubah drastis. Dulunya yang hanya sibuk kesana kemari dari blok ke blok tidak jelas juntrungnya menjadi lebih rajin. Biasanya ketika matahari mulai panas menyengat baru bangun, sejak kerja di demplot Man sudah bangun sejak shubuh. Bahkan jauh lebih rajin beribadah dari sebelumnya.

“Dari bertani saya benar-benar lihat kuasa Gusti Allah. Sebutir biji sampai jadi tanaman itu kalau tidak ada campur tangan Yang Maha Kuasa nggak mungkin bisa to,” begitu katanya. Apalagi sejak dipercaya secara khusus menanam kalanjana untuk makanan ternak-ternak yang ada. Man semakin rajin. Kecintaannya pada tanaman kalanjana juga semakin menjadi karena meskipun banyak yang mencoba menanamnya tapi tidak ada yang sesubur dan sehijau punya Man.

“Kita cari malingnya, Kang. Biar kuhabisi nanti,” si Man penuh garam.

“Darimana kau tahu itu malingnya?”

“Ya yang kambingnya dikasih makan kalanjana ya dia itu malingnya.”

“Apa segampang itu Man?”

“Ya saya ndak mau tahu. Bereskan dulu, pikir belakangan.”

“Dengan begitu kalanjanamu kembali? Iya begitu?”

“Biar kapok Kang…” pelan sekali jawaban si Man.

Kang Padmo menatap si Man sebentar.

“Rugi kamu kerja selama ini hanya karena kalanjana itu kamu kehilangan kelakuan baikmu selama ini. Hilang remisi 17 Agustusmu. Punah peluangmu bebas bersyarat. Percuma to?”

“Tapi saya khan kerja dan baik bukan untuk itu Kang. Ya karena Lillahi ta ‘ala. Ya karena kemauan saya sendiri.”

“Iya Man aku paham. Tapi kamu tambah keblinger kalau hanya karena kalanjana kamu habisi orang. Apa Tuhanmu mengajarkan begitu? Gitu kok bilang Lillahi ta ‘ala.”

“Tapi soal harga diri Kang. Ini juga untuk keadilan Kang.”

“Man menegakkan keadilan itu jangan merobohkan kemanusiaan. Wis besok bisa di tanam lagi khan?”

“Kacau kamu itu Kang. Aku belum terima. Nggak bisa terima.”

“Kamu kok nggak paham juga to Man. Dikasih bencana seperti ini saja kamu sudah gelap mata sampai rumput mau kau ganti dengan nyawa orang,” terang Kang Padmo sambil terus berjalan.

“Tapi khan aku yang tanam kalanjana itu Kang…”

“Ya, tapi bukan kamu juga yang memberi hidup orang yang maling kalanjanamu itu khan? Lantas apa hakmu mau menghabisinya?” suara Kang Padmo tegas penuh tekanan.

“Ya tapi Kang….”

“Besok kita tanam kalanjana lagi,” pungkas Kang Padmo sambil mempercepat langkahnya. Keduanya berjalan dalam diam. Menikmati pikiran masing-masing. Meresapi kerusakan yang ada sebagai berkah atau tulah.

 

 

Penulis: Sigit Giri Wibowo (Lapas Yogyakarta)

Juara I Lomba Cerpen Piala Menteri Hukum dan HAM RI dalam rangka HUT Ke-75 RI (Kategori Narapidana)

 

 

 

 

What's Your Reaction?

like
4
dislike
0
love
1
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0