Kerja Keras Pemasyarakatan Di Tengah Banalitas Kejahatan

Dalam struktur kebijkan sosial (social policy) Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) merupakan kerangka penegakan hukum pidana di Indonesia. Kerangka ini dalam bentuk sederhana dapat dilihat dari kewenangan institusi hukum dalam menangani perkara pidana yakni, institusi kepolisian dengan kewenangannya dalam melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka, kejaksaan yang memilki kewenangan penuntutan sebagai pengacara negara (staat advocaat), pengadilan yang memilki kewenangan memeriksa dan memutus perkara (zaak breeker), serta Pemasyarakatan yang memilki fungsi sebagai pelaksana pemidanaan (penitentiary) Pemasyarakatan dalam perjalanannya memilki ciri khas perkembangan yang unik, dan dapat dideteksi dari diskursus sejarah, pergolakan pemikiran, dan pergeseran falsafah. Pergolakan pemikiran pemidanaan ditandai dengan pergeseran sudut pandang ilmu kriminologi pada periode 1960-an yang fkcus dalam melihat lingkungan sosial sebagai salah satu penyebab

Kerja Keras Pemasyarakatan Di Tengah Banalitas Kejahatan
Dalam struktur kebijkan sosial (social policy) Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) merupakan kerangka penegakan hukum pidana di Indonesia. Kerangka ini dalam bentuk sederhana dapat dilihat dari kewenangan institusi hukum dalam menangani perkara pidana yakni, institusi kepolisian dengan kewenangannya dalam melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka, kejaksaan yang memilki kewenangan penuntutan sebagai pengacara negara (staat advocaat), pengadilan yang memilki kewenangan memeriksa dan memutus perkara (zaak breeker), serta Pemasyarakatan yang memilki fungsi sebagai pelaksana pemidanaan (penitentiary) Pemasyarakatan dalam perjalanannya memilki ciri khas perkembangan yang unik, dan dapat dideteksi dari diskursus sejarah, pergolakan pemikiran, dan pergeseran falsafah. Pergolakan pemikiran pemidanaan ditandai dengan pergeseran sudut pandang ilmu kriminologi pada periode 1960-an yang fkcus dalam melihat lingkungan sosial sebagai salah satu penyebab terjadinya kejahatan dan bukan semata-mata kehendak bebas indvidu. Pergeseran pemikiran ini menjadi acuan pakar hukum Indonesia dalam membenahi sistem pemidanaan Indonesia. Selain pergolakan pemikiran, bergesernya falsafah pemidanaan juga dapat dilihat dari perubahan wajah kepenjaraan menjadi lembaga pemasyarakatan dan pola retributive (pembalasan) menuju restorative (perbaikan) yang mengedepankan peran masyarakat untuk melakukan upaya restorasi sosial. Sementara itu, dari diskursus sejarah tentunya, hal ini tak luput dari warisan sistem pemidanaan Belanda yang syarat akan nuansa liberal individual. Hukuman yang diberikan kepada terpidana hanya sampai pada gairah pembalasan individu yang bersalah (retributif) agar yang bersangkutan jera (penjeraan). Hal ini tentunya dinilai tidak sejalan dengan iklim masyarakat Indonesia dengan filosofi gotong royong yang diteriakkan Soekarno. Perkembangan sistem Pemasyarakatan dimulai dari pemikiran Menteri Kehakiman, Dr. Sahardjo tentang “Pohon Beringin Pengayoman”. Ia berpendapat bahwa “Setiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia. Meski ia tersesat, tidak boleh ditunjukkan bahwa ia penjahat. Sebaliknya ia harus dipandang dan diperlakukan sebagai manusia.” Dari ramuan diskursus sejarah, pergolakan pemikiran hinggga pergeseran falsafah, konsep Pemasyarakatan hadir dalam konferensi kepenjaraan nasional di Lembang Bandung pada tanggal 27 April 1964, 55 tahun yang lalu. Pemasyarakatan hadir dalam falsafah restorasi dan reintegrasi sosial dengan menitikberatkan usaha pemulihan kembali hubungan sosial antara narapidana dan lingkungan sosialnya. Namun, perjalanan Pemasyarakatan pada hari ini menemui batu uji yang tidak gampang, batu uji itu bernama: Banalitas Kejahatan! Hannah Arrendt dalam The Banality of Evil menyatakan bahwa banalitas kejahatan merupakan sebuah kondisi sosial politik dimana kejahatan dianggap sebagai sesuatu yang “biasa” karena seseorang yang berpikiran dangkal dalam menilai sesuatu. Pernyataan Hannah Arrendt jika ditarik dalam realitas sosial kita sebenarnya memenuhi unsur banalitas. Kita menyaksikan kejahatan jalanan yang dilakukan anak dibawah umur, pencurian di ruang publik, konflik horizontal antar kelompok masyarakat, peredaran narkoba yang merengsek masuk sampai ke meja pejabat negara, korupsi dari tingkatan kementerian hingga pedesaan, bahkan kekerasan simbolik di dunia pendidikan yang digambarkan Pierre Bordieu dalam The Symbolic Violence juga seringkali luput dan acapkali diselimuti dalam logika kepatuhan. Salah satunya dominasi kelas tertentu kepada kelas yang lemah. Kejahatan diatas seringkali menghiasi jagat informasi terkini dan semakin mempertegas ada hal yang salah dalam interaksi sosial kita. Banalitas kejahatan hadir dikarenakan kegagalan berdialog dengan diri sendiri dan gagal memahami posisi orang lain sehingga kejahatan dianggap biasa. Banalitas menyebabkan kekacauan kebudayaan yang menyebabkan segala aspek kejahatan beranjak naik pada titik nadir paling ekstrim hingga menyebabkan pelabrakan pada tabu yang seharusnya menjadi tolak ukur kepantasan sebuah perbuatan. Prinsip restorative yang menjadi landasan gerak Pemasyarakatan sejatinya menjadi lawan bagi banalitas kejahatan. Namun, melihat fungsi pembimbingan, pengawasan, dan penelitian yang dimilki oleh Pemasyarakatan, khususnya unit balai pemasyarakatan (bapas), rasanya memungkinkan upaya preventif membuahkan hasil. Wewenang penelitian kemasyarakatan yang dimiliki bapas dapat menjadi rujukan untuk melihat latar belakang kejahatan yang terjadi dan hubungannya dengan lingkungan sosial. Dari hasil penelitian tersebut institusi ini (bapas) tentunya memiliki daya untuk menarik mitra dari institusi hukum dan pemerintah guna melakukan tindakan pencegahan. Di sisi lain, masyarakat dan tokoh agama bisa menjadi kawan seperjuangan sebagai “control social” dalam mewujudkan restorasi sosial ditengah badai banalitas kejahatan.     Penulis: Fachrurrozy Akmal (PK Pertama Balai Pemasyarakatan Kelas II Watampone)  

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0