Anak merupakan karunia terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, dan Negara. Kehadiran anak dalam keluarga adalah penyempurna kebahagiaan dan penerus garis keturunan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah aset yang harus dijaga, karena anak adalah penerus cita-cita bagi kemajuan suatu bangsa.
Kebahagiaan dalam keluarga tidak akan tercapai apabila anak tidak dapat membanggakan kedua orangtuanya. Kebanggaan orang tua bukan hal yang sulit untuk dilakukan anak. Orangtua yang anaknya malas sekolah ‘hanya’ ingin melihat anaknya sekolah untuk merasa bangga dan bahagia. Pun demikian halnya dengan orang tua yang anaknya tidak rajin melaksanakan ibadah, pembangkang, ataupun melakukan kenakalan lain. Kebahagaiannya adalah ketika melihat anaknya rajin beribadah, menjadi penurut, dan baik.
Kita sepakat bahwa sebuah bangsa atau Negara membutuhkan anak sebagai sebuah aset. Hanya saja aset yang bagaimana?
Sebuah aset haruslah mempunyai sisi-sisi yang positif, atau nilai jual yang tinggi. Dalam kaitannya dengan anak, berarti aset adalah anak yang dapat berkualitas, yang mempunyai kecakapan dalam menghadapi kemajuan zaman. Anak adalah sumber daya, dan sumber daya yang berkualitas tidak bisa diciptakan dengan tiba-tiba, karena semuanya membutuhkan proses yang tidak sebentar. Artinya menciptakan sumber daya manusia yang kompetitif harus dimulai sedini mungkin.
Bonus Demografi
Dalam perjalanan suatu bangsa bonus demografi atau demographic window of opportunity hanya terjadi satu kali. Bonus demografi memberikan keuntungan berupa besarnya penduduk usia produktif. Artinya, apabila sumber daya manusia bisa dioptimalkan, akan memberikan dampak positif bagi suatu bangsa. Menurut data Sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistika (BPS), pada tahun 2028-2031 Indonesia mengalami puncak bonus demografi. Di mana setiap 100 orang yang produktif menanggung beban 47 orang yang tidak produktif.
Untuk bisa memberikan pengaruh yang besar, bonus demografi harus diiringi sumber daya manusia yang unggul. Unggul artinya berdaya saing tinggi dan mempunyai kesehatan prima. Selain itu, dari sisi pekerjaan adalah adanya ketersediaan lapangan pekerjaan yang mencukupi.
Fakta tersebut adalah kabar bahagia bagi kita. Kabar baik yang harus bisa dimaksimalkan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Memaksimalkan potensi anak bangsa tentu bukan hal mudah, untuk itu cara memulai terbaik adalah dari yang terdekat, anak kita.
Fenomena ABH
Menurut UU No 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimaksud dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Hingga 30 September 2018 jumlah klien anak yang ditangani oleh Bapas di seluruh Indonesia berjumlah 3.517 klien. Diantaranya terdapat 3.432 laki-laki dan 85 perempuan. Angka ini tidak bisa dipandang remeh, di tengah tingginya harapan untuk bisa memaksimalkan bonus demografi yang akan dialami bangsa ini.
Belum lagi dari rilis data yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia, yang senantiasa dipenuhi angka yang besar. Artinya jumlah kenakalan ini semakin meningkat. Mulai dari anak yang menjadi pengguna Napza maupun Pengedar, pelaku tawuran, pelaku Bullying, pelaku kejahatan seksual, pelaku kepemilikan media pornografi, pelaku pencurian, pembunuhan, kekerasan psikis, juga yang tidak kalah memprihatinkan adalah pelaku aborsi.
Fenomena kenakalan memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan remaja. Meskipun usaha yang dilakukan oleh pemerintah sudah demikian masif, tapi angka kenakalannya tak kunjung surut. Semakin mudahnya akses terhadap konten-konten yang bermuatan kekerasan disinyalir menjadi salah satu penyebab maraknya kasus yang terjadi.
Apabila kita melihat berbagai kasus di atas, tentu ada kekhawatiran yang mendalam mengenai nasib generasi muda. Apakah nasib bangsa bisa di wariskan kepada generasi muda yang demikian? Apakah anak kita juga bisa dijauhkan dari berbagai perbuatan negatif yang ada?
Konformitas
Menurut Erikson, seorang tokoh psikologi perkembangan, pada usia 12-18 tahun seorang anak sedang mencari jati diri dan identitas diri. Di mana yang akan menjadi acuannya adalah lingkungan mereka tinggal. Artinya pada usia ini anak-anak masih sangat rentan terbawa dengan perilaku negatif yang terdapat dalam lingkungan, baik itu keluarga maupun pergaulan.
Anak cenderung akan mengikuti ide atau gagasan dan pola perilaku yang sudah terbentuk dalam sebuah kelompok sosial, dalam kajian psikologi sosial dikenal dengan istilah konformitas. Konformitas menurut Myers, sebisa mungkin akan dilakukan oleh remaja agar bisa bergabung dalam kelompok sosialnya, agar bisa terhindar dari celaan maupun keterasingan.
Usaha untuk menyamakan diri dengan kelompoknya inilah yang mengakibatkan rawan terjadinya penyimpangan. Terlebih pada usia-usia yang memang belum mempunyai kematangan secara psikologis maupun spiritual. Situasi ini menyebabkan anak akan cenderung acuh dengan norma-norma yang ada.
Bisa dibayangkan apabila anak-anak kita bergaul dalam lingkungan sosial yang tidak baik. Terlebih dengan kemampuan berfikir yang pondasinya belum matang, sehingga tidak mempertimbangkan dampaknya di masa depan. Tentu akan sangat mudah seorang anak terbawa perilaku-perilaku negative yang terkadang menyebabkannya harus bersentuhan dengan hukum.
Peran orangtua
Kewajiban dalam menjaga anak tidak berhenti ketika anak berada dalam rumah, melainkan juga ketika anak berada dalam lingkungan sosialnya. Kita harus mengajarkan anak untuk bisa selektif dalam memilih teman. Karena pengaruhnya yang demikian besar terhadap pembentukan kepribadian seorang anak.
Orangtua harus menjadi contoh anak dalam berperilaku, karena merupakan lingkungan pertama yang dikenal oleh anak. Oleh karenanya, sebagai orang tua, kita harus senantiasa menuntut diri agar bisa lebih baik dalam melakukan pengasuhan. Pun ketika anak sudah mempunyai teman bergaul, kita tidak boleh lepas tangan dan acuh terhadap aktifitas anak.
Dalam penanganan klien anak, keterlibatan orangtua sangat dibutuhkan untuk bisa memulihkan kepercayaan diri. Lebih jauh lagi, kelekatan dan keterbukaan antara orangtua dan klien anak akan mengurangi dampak terjadinya pengulangan tindak pidana.
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tidak sedap.â€
Teman yang baik ibarat seorang penjual minyak wangi, sedangkan teman yang buruk bagaikan seorang pandai besi. Sekarang pilihannya berada pada diri kita sebagai orangtua, apakah kita akan membiarkan anak kita bebas dalam memilih teman bergaul? Ataukah kita akan memberikan batasan kepada anak untuk bisa memilih.
Penulis:Â Wahyu Saefudin (Bapas Pontianak)