Mencari Merdeka

Mencari Merdeka

Umbul-umbul mulai dipasang. Bendera-bendera merah putih dikibarkan sepanjang jalan. Gapuragapura gang dicat ulang. Bapak-bapak kerja bakti, sementara ibu-ibu sibuk menyiapkan pisang goreng serta kopi. Apa tandanya itu semua? Ya, Agustus telah tiba.

Sekali merdeka tetap merdeka!

Selama hayat masih dikandung badan ...

“Sialan! Berisik banget!”

Adi buru-buru menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. Rasanya seperti ada sekawanan nyamuk yang berdenging-denging tepat di depan gendang telinganya. Mengganggu sekali.

Apanya yang hari merdeka?

Bahkan hingga hari ini, banyak temannya yang telah dibawa secara paksa oleh sekelompok orang berseragam yang menyebut dirinya sebagai ‘polisi’, untuk kemudian dijebloskan ke dalam jeruji besi. Tempat terburuk yang ada di muka bumi ini. Terakhir kali ia menyambangi, mereka berada dalam satu sel yang sesak; engap.

Apanya yang hari merdeka?

Bahkan hingga hari ini, ia dan anak-anak lainnya yang tersisa, masih harus hidup di jalanan, atau bahkan kolong jembatan. Setiap hari harus bergelut untuk dapat membeli sesuap nasi dan sebotol air mineral. Itu pun terkadang masih kurang. Ada lebih banyak hal lagi yang perlu dikhawatirkan, bahkan di usianya yang masih belia.

“Bro, gimana duit buat Susan lahiran?"

Andre menepuk pundak Adi. Membuyarkan lamunannya.

Pertanyaan itu sontak membuat segala emosi dan amarah Adi semakin menjadi-jadi. “HASH!” Ia berteriak kencang. Urat-urat lehernya bermunculan. Tangannya mengepal geram.

Andre mundur beberapa langkah, mengambil jarak agar tak terkena ledakan amarah. Susan merupakan anak yang juga tergabung dalam grup mereka—grup yang biasa disebut sebagai ‘anak punk’ oleh orang-orang di luar sana. Kini, Susan tengah hamil. Ada calon bayi di dalam rahimnya yang menunggu untuk dilahirkan bulan depan. Hasil hubungan di luar nikah dari Susan, dan Adi. Ia tak mengira semuanya akan menjadi seburuk ini.

“Gimana anak-anak? Hari ini dapet berapa?” Adi menoleh pada Andre.

Andre menghela napas panjang, “Enggak banyak, Bro. Orang-orang makin pelit aja ngasih duit ke pengamen. Ck.”

Adi meremas rambutnya. Ia berpikir cepat. Berusaha mencari alternatif lain yang terpikirkan oleh otaknya. Apa pun itu. “Oke, gue ngerti harus gimana.”

***

Pasar sore menjadi tempat terbaik bagi Adi untuk dapat dengan cepat mengumpulkan dana persiapan persalinan bagi Susan. Ia menyelinap dan tenggelam dalam keramaian pasar. Matanya dengan tajam mengincar sebuah dompet yang menyembul dari balik tas cangklong seorang wanita paruh baya yang sedang sibuk menawar harga cabai di sudut sana. Aha!

Dengan gesit, Adi segera menyambar dompet tersebut dan menyembunyikannya ke balik jaket jeans yang dikenakan. Ia mempercepat langkah. Jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin mulai menyusuri lehernya. Sampai di ujung pasar, Adi segera berbelok ke tikungan sepi. Sedikit lagi!

Buk!

Sepersekian detik sebelum Adi sempat menyadari apa yang terjadi, tubuhnya sudah limbung dan ambruk. Tangannya ditelikung ke belakang, pergelangannya erat dicengkeram. “Argh,” ia merintih tertahan.

“Kamu nyopet apa barusan, ha?!” Suara lantang nan tegas itu sukses membuat bulu kuduk Adi menegak.

Namun, bocah itu tak punya banyak waktu. Ia tidak mau berakhir di penjara. Adi pun berusaha melepaskan cengkeraman pada kedua tangannya. Ia memberontak dan berteriak. Tapi tenaganya tak cukup untuk mengalahkan kekuatan dari Si Pencengkeram.

“Mau ngelawan kamu, ha?! Ikut saya ke kantor polisi!”

“Lepasin! Lepasin! Enggak sudi gue ke kantor polisi, cih! Copet-copet kayak gue aja ditangkep, koruptor-koruptor noh diurusin! Sialan!”

Namun, usahanya sia-sia. Akhirnya, sore itu ia harus berakhir di kantor polisi. Pria yang berhasil memergoki aksinya tadi, rupanya merupakan seorang polisi yang menyamar untuk berjaga-jaga di sekitar pasar, setelah mendapat banyak laporan mengenai kasus pencurian dari warga sekitar.

Seorang wanita dengan nametag Mirna dan berkacamata tebal, duduk di hadapan Adi. “Adi, sudah berapa lama kamu mencuri? Apa orang tua kamu enggak tahu perbuatan kamu?”

Adi mengernyit. Emosinya membuncah, “Jangan sembarangan ngomong! Gue baru sekali ini nyuri! Itu pun demi biaya lahiran Susan! Meskipun gue enggak tau di mana orang tua gue, tapi gue bakal jadi ayah yang baik buat anak kami besok! Gue enggak bakal biarin—”

“Tunggu. Kamu ... sama Susan ... apa kalian, mau punya anak di luar nikah?” Wanita itu membenarkan letak kacamatanya.

“Ya, terus kenapa? Apa pedulinya negara ini sama hidup kami? Ha?!” Adi berdiri seraya menggebrak meja. Dua polisi yang ada di belakangnya segera menahan bocah itu dan mendudukkannya kembali ke kursi.

Mirna, wanita penyidik itu, tersenyum, “Negara peduli, Adi. Sebagai bentuk kepedulian kami, Dinas Sosial yang akan mengurus persalinan Susan nanti. Dan, kamu ... bisa mendapatkan pembinaan di asrama lapas dulu untuk sementara waktu, oke?”

Adi terdiam sejenak. Sebentar, apa katanya tadi? “Asrama lamas? Cih. Bahasa halus buat penjara yang super ampek itu?”

Sekali lagi, Mirna hanya tersenyum. Sama sekali tak ada tanda-tanda kemarahan dari rautnya. “Iya, asrama lapas. Kami menyebutnya LPKA, Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Bukan penjara yang super ampek. Melainkan asrama yang penuh dengan teman, permainan, dan bahkan ... kamu bisa sekolah di dalamnya.”

Sekolah. Kata yang asing di telinga Adi. “

Teman-teman kamu yang lain juga ada di sana,” lanjut Mirna.

Teman-temannya yang lain. Adi menggeleng. Dia yakin, mereka masih sama seperti ketika ia menyambangi penjara dua tahun yang lalu.

“Ayo, ikut aku.”

 

"Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA)"

Mirna menuntun Adi untuk melangkah masuk ke dalam bangunan yang tampak masih baru itu. Tidak seperti penjara. Yang ada justru seperti asrama mahasiswa dengan lapangan luas yang menjadi pemisah antara sayap kanan dan kiri bangunannya. Tidak ada jerusi besi dan sel-sel over kapasitas di sini.

Mirna berhenti di depan sebuah ruangan dengan keterangan: "Taman Belajar". Ia mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Tok tok tok!

"Permisi ..."

Tak berselang lama, pintu terbuka dan alangkah kagetnya

Adi melihat siapa gerangan yang berdiri di balik sana. Dani. Bocah yang dua tahun lalu ketika ia sambangi masih mendekam di lapas yang ampek dan engap. "ADI!" Dani berjengkit dan segera memeluk Adi.

"Dani, Lu ... Lu ngapain? Di sini?"

Dani melepas pelukan. Ia tersenyum lebar. "Gue sekolah di sini, Di. Sekolah! Lu harus coba deh rasanya gimana! Asik banget sumpah! Kalau bisa milih, gue pilih tinggal di sini daripada harus ngamen sama nyopet lagi di jalan."

Adi tertegun. Sebelum ia sempat bereaksi apa pun, Dani sudah menariknya masuk ke dalam ruangan. Dan, yang selanjutnya dilihat oleh Adi, benar-benar membuatnya tercengang. Tidak hanya Dani, tapi juga Reza, Siska, dan Putri. Keempat sobatnya yang tertangkap polisi akibat ketahuan mencopet berkali-kali. Kini, mereka semua ada di sini, seperti reuni.

"Adi?" Mereka semua ... tampak lebih bahagia di sini. Meskipun berstatus tahanan, tapi tampaknya rasa kemerdekaanlah yang ada dalam diri. Mereka mendapatkan apa yang tidak terdapat di jalanan. Sekolah, pendidikan, pakaian, bahkan tempat tinggal yang nyaman.

"Aku tidak salah, kan, Adi?" Mirna menepuk lembut pundak Adi. "Negara ini, Indonesia, sudah jauh lebih maju dan baik sekarang. Lihat? Tidak ada lagi sel-sel ampek. Yang ada nanti justru kasur-kasur empuk. Oh iya, Dani, nanti kasih tau Adi di mana kamarnya, ya?"

"Oh, siap, Mbak! Asyik, nih! Sekamar sama gue, Di! Oh iya, besok kita ada lomba 17 Agustus-an, lho! Lu jago lari, kan? Ikutan estafet, yak!"

Adi terdiam. Entah sejak kapan, pandangannya mulai memburam. Ia mengalihkan pandangan ke lapangan luas yang berada di tengah bangunan lapas. Sebuah tiang bendera berdiri menjulang.

Bendera merah putih itu berkibar-kibar tertiup angin. Untuk pertama kalinya, Adi merasa setuju dengan ucapan wanita itu. Negara sudah lebih maju.

Tujuh belas Agustus tahun empat lima,

Itulah hari kemerdekaan kita!

Dan, untuk pertama kalinya juga, Adi merasa tidak harus menutup telinga untuk mendengar lagu-lagu kebangsaan itu sekarang.

 

 

Penulis: Hesty Nurul Kusumaningtyas

Juara II Lomba Cerpen Piala Menteri Hukum dan HAM RI dalam rangka HUT Ke-75 RI (Kategori Masyarakat)

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0