Menilai Kemampuan Bertanggung Jawab Pidana yang Timbul Akibat Gangguan Jiwa

Menilai Kemampuan Bertanggung Jawab Pidana yang Timbul Akibat Gangguan Jiwa

Seseorang dapat dianggap mempertanggungjawabkan perilakunya jika ia mampu memahami nilai perbuatan, memahami nilai risiko perbuatannya, dan mengarahkan kemaunnya (Darmabrata, 2003: 89). Sedangkan ia dianggap tidak mampu bertanggung jawab berdasarkan Pasal 44 KUHP ayat (1) yaitu: “barangsiapa yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit-penyakit tidak dipidana.”.

Sering terjadi dalam praktik sehari-hari, patokan kemasyarakatan dan patokan individu dapat dipakai sebagai petunjuk normal tidaknya seseorang.

  1. Patokan masyarakat. Masyarakat mempunyai kaidah, norma, atau nilai yang dapat dipakai sebagai pegangan apakah perilku seseorang dianggap normal atau tidak. Apabila seseorang berperilaku tidak sesuai dengan kaidah atau nilai yang berlaku, oang tersebut dianggap tidak normal.
  2. Patokan individu. Setiap individu mampu memahami dan merasakan sesuatu pada dirinya yang berubah atau “tidak berjalan seperti biasanya”. Keadaan ini–yang oleh individu tersebut sebagai “tidak seperti semestinya”–dapat dianggap sebagai petanda bahwa individu tersebut merasakan sesuatu yang abnormal pada dirinya.

Oleh karena itu, petunjuk atau patokan kemasyarakatan dan individu ini merupakan indikator yang lemah, maka untuk pemastiannya diperlukan pemeriksaan klinis (Darmabrata, 2003: 8). Dalam menentukan kemampuan bertanggung jawab seseorang diperlukan Visum et Repertum Psychiarticum yang merupakan hasil pemeriksaan klinis berisi paduan antara fakta dan pendapat dokter terhadap fakta tersebut. Di dalam sidang pengadilan, Visum et Repertum Psychiarticum (VeRP) digunakan sebagai alat bukti yang sah dari keterangan saksi/saksi ahli berupa keterangan tertulis.

Adapun pertanyaan yang dijawab dalam surat pembuatan VeRP adalah harus menentukan hal-hal berikut ini:

  1. Diagnosis: adanya gangguan jiwa pada saat pemeriksaan;
  2. Diagnosis: adanya dugaan adanya gangguan jiwa pada saat pelanggaran hukum;
  3. Dugaan bahwa tindakan pelanggaran hukum merupakan bagian atau gejala dari gangguan jiwanya;
  4. Penentuan kemampuan tanggung jawab: tingkat kesadaran pada saat melakukan pelanggaran hukum, kemampuan memahami nilai perbuatannya, kemampuan memahami nilai rsiko perbuatannya, dan kemampuan memilih dan mengarahkan kemauannya (Darmabrata, 2003: 23-24).

Permintaan VeRP pada umumnya ditujukan pada kasus pidana yaitu terperiksa merupakan pelaku. Peristiwa-peristiwa yang sering terjadi adalah pembunuhan, penganiayaan, perusakan, dan lain-lain. Berikut contoh kasus yang menerangkan hubungan sebab akibat antara gangguan jiwa dengan tindak pidana yang ditimbulkan:

Kasus A

Tetangga A di kampungnya sudah mengetahui bahwa ia menderita gangguan jiwa sejak lama. Orang-orang di kampungnya sudah terbiasa melihat A komat-kamit dan tersenyum sendiri. Sehari-harinya, A berkeliaran di pasar dekat kampungnya.

Pada suatu hari, A tertangkap sedang bertindak sebagai penadah dari uang dan barang-barang curian di pasar tersebut. Rupanya, selama ini A telah bertindak sebagai koordinator pencopet-pencopet cilik di pasar. A memberi instruksi kepada anak-anak tersebut untuk mencuri uang atau barang-barang kecil dari pedagang atau pengunjung pasar. Hasil curian nantinya harus diserahkan kepada A di sebuah toilet di belakang kantor hansip pasar. Hal yang sebenarnya janggal, aneh, tetapi sekaligus mengherankan adalah bahwa anak-anak ini mematuhi instruksi dari A sampai akhirnya A tertangkap tangan.

Pada kasus A ini, dari segi klinis didiagnosis sebagai skizofrenia paranoid kronis dalam keadaan remisi. Tindakan mencopet dengan mengkoordinasikan pencopet-pencopet cilik merupakan hal yang memang dikehendaki oleh A dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan (uang dan barang-barang). A juga memahami nilai risiko perbuatannya dengan menginstruksikan anak buahnya untuk menyerahkan barang curian di tempat yang tersembunyi, yaitu di toilet di belakang kantor hansip.

Pada A yang menderita gangguan jiwa, tindakan melanggar hukum bukan bagian atau gejala dari gangguan jiwanya. Selain memahami perbuatan dan nilai perbuatannya, A juga memenuhi unsur mampu bertanggung jawab walaupun ia sedang menderita gangguan jiwa (Darmabrata, 2003: 124-125).

Namun ada pula tindak pidana yang dilakukan merupakan bagian dari gejala gangguan jiwa. Contohnya B yang berumur 36 tahun, sejak usia 20 tahun ia telah menderita skizofrenia paranoid dengan halusiniasi pendengaran, tiba-tiba menusuk kakaknya sendiri sesaat setelah mengupas apel pada makan malam bersama.

Setelah menjalani pemeriksaaan, diketahui bahwa B merasa ada bisikan dan suara yang berulang-ulang dan makin keras untuk menusuk perut kakanya dengan pisau yang ia pegang, sehingga B tidak dapat menghindari pengaruh halusiniasi ini. Ia tidak dapat menolak “perintah” suara tersebut dan menusuk perut kakanya dengan pisau yang dipegangnya.

Dapat dinilai pada kasus B bahwa ia memang menderita skizofrenia paranoid dengan halusiniasi pendengaran yang mempengaruhi tingkah laku. Pelanggaran hukum–dalam hal ini penusukan–merupakan bagian dari gejala gangguan jiwanya. B tidak dapat memahami tindakannya, tidak dapat menerangkan perkembanan dan asal usul tidakannya. B tidak pula memahami nilai perbuatannya. Pemeriksaan klinis pada B menyimpulkan bahwa unsur-unsur tidak mampu bertanggung jawab terpenuhi.

Dengan adanya pemeriksaan klinis kejiwaan dapat diketahui bahwa pelanggaran hukum yang dilakukan pelaku/terperiksa merupakan bagian dari gejala gangguan kejiwaannya atau tidak. Oleh karenanya, pelaku/terperiksa tidak dapat berdalih apalagi mengaku terganggu jiwanya setelah melakukan tindak pidana, kecuali memang benar adanya bahwa ia melakukannya karena ia tidak dapat memahami risiko dan nilai perbuatannya, sebab ia terganggu jiwanya.

Seperti kasus yang lalu terjadi pada pendakwah Syekh Ali Jaber, pelaku dan keluarga pelaku penusukan mengaku gila, sementara menurut Syekh Ali Jaber pelaku sangat berani dan terlatih. Begitu juga dengan kasus seorang ibu di Brebes yang menggorok leher anaknya, ia mengaku melakukan hal demikian karena mendapat bisikan.

Tentu semua kasus yang dinilai tidak wajar harus dibuktikan dengan pemeriksaan kejiwaan untuk membuktikan kemampan bertanggung jawabnya. Dengan demikian, aparat dapat menentukan dan menilai kompetensi kejiwaan pelaku/terperiksa tersebut. (prv)

 

Penulis: Insanul Hakim Ifra (Rutan Depok)

 

What's Your Reaction?

like
5
dislike
0
love
2
funny
0
angry
0
sad
1
wow
1