Menjawab Kebutuhan Perempuan dalam Perspektif Sistem Pemasyarakatan

Menjawab Kebutuhan Perempuan dalam Perspektif Sistem Pemasyarakatan

Berbagai instrumen hukum internasional telah banyak yang mengkaji dan mengatur mengenai perlakuan terhadap perempuan yang berbasis gender. Terlebih, perempuan yang berperkara pidana dan berhadapan dengan hukum haruslah diatur sedemikian rupa sehingga materi muatan yang akan diatur dalam hukum positif tetap mengabsorpsi atau menyerap asas-asas yang mencerminkan perlakuan yang adil terhadap perempuan. Dalam scope internasional, Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR) dengan Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang menegaskan semua orang adalah sama di hadapan hukum dan peraturan perundang-undangan melarang diskriminasi serta menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apapun, termasuk jenis kelamin atau gender.

Sementara itu, dalam scope nasional, pranata atau institusi penegak hukum dalam menegakkan hukum dan keadilan mempunyai aturan dan pedoman yang didasari dan diabsorpsi dari instrumen hukum internasional yang relevan dengan perlakuan terhadap perempuan dalam fungsi reproduksi yang berperkara pidana dan berhadapan dengan hukum. Mengenai aturan tentang perlakuan perempuan yang berperkara pidana, pranata kepolisian telah mengeluarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara RI Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI. Pada pranata kejaksaan, terdapat Pedoman Nomor 1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Perkara Pidana. Sementara itu, pada pranata peradilan melalui Mahkamah Agung, ada Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Sebagai subsistem peradilan pidana yang menyelenggarakan penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap tahanan, Anak, dan Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP), pranata Pemasyarakatan memainkan peranan yang sangat substansial mulai dari tahap pra-adjudikasi, adjudikasi, dan pasca-adjudikasi. Melalui Sistem Pemasyarakatan, perlakuan terhadap tahanan, Anak, dan WBP dilaksanakan melalui fungsi Pemasyarakatan yang meliputi pelayanan, pembinaan, pembimbingan kemasyarakatan, perawatan, pengamanan, dan pengamatan dengan menjunjung tinggi penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia. 

Pada dasarnya, dalam Undang-Undang Pemasyarakatan No. 12 Tahun 1995 yang sekarang sudah dinyatakan tidak berlaku dan diganti dengan Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, tidak memuat dan mengatur secara khusus perlakuan kepada WBP dan tahanan perempuan dalam fungsi reproduksi, khususnya perempuan hamil, melahirkan, dan menyusui. Dengan adanya Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2022, barulah hal tersebut diatur secara khusus. Pasal 62 ayat 1-4 Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2022 menegaskan bahwa:
 

Ayat (1):
Anak dari tahanan atau anak dari narapidana perempuan yang dibawa ke dalam Rutan atau Lapas atau yang lahir di Lapas dapat tinggal bersama ibunya paling lama sampai dengan anak berusia tiga tahun. 

 

Ayat (2):
Anak dari tahanan atau anak dari narapidana perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan secara khusus bersama dengan tahanan atau narapidana perempuan tersebut.

 

Ayat (3):
Dalam hal anak dari tahanan atau anak dari narapidana perempuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan anak yang berkebutuhan khusus, anak dapat ditempatkan pada unit layanan disabilitas.

Ayat (4):
Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberi makanan tambahan atas petunjuk dokter atau ahli gizi.

Dalam Kajian Kebutuhan Perempuan dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia: Sebuah Inisiatif  untuk Reformasi Model Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial yang Berpihak pada Perempuan (2012) menyebutkan bahwa tindakan penahanan dan pemenjaraan terhadap perempuan haruslah memberi manfaat nyata bagi perempuan karena hidup perempuan senantiasa dilekatkan dengan anaknya. Fakta bahwa sebagian besar perempuan yang dipenjara memiliki tanggungan anak, maka segala tindakan yang terkait dengan anak-anak, prinsip kepentingan terbaik anak (the best interest for child) harus dikedepankan tanpa mengabaikan kesejahteraan perempuan. Bagaimanapun, penghormatan pada hak asasi perempuan dan perlindungan hak-hak anak selalu diutamakan. Dengan demikian, berbagai kebutuhan setiap anak yang ada di dalam penjara maupun yang hidup terpisah di luar Lapas atau Rutan pun harus diutamakan.  

Pemenjaraan haruslah dipahami sebagai ultimum remedium (upaya terakhir). Terlebih, yang berperkara itu seorang perempuan yang memiliki beban ganda (peran domestik dan fungsi reproduksi), seperti menyusui sekaligus merawat dan mendidik anak. Harus ada mekanisme terstruktur dan sistematis yang tidak serta merta memutus peran perempuan sebagai seorang ibu dalam melahirkan, menyusui, mengasuh, dan mendidik anak. Dengan adanya Undang-Undang Pemasyarakatan No. 22 Tahun 2022, pemerintah c.q Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan sikap responsif pada kebutuhan perempuan serta nilai-nilai keadilan terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum dan menjalani hukuman di Lapas atau Rutan dapat terimpelentasikan. Hal ini dibuktikan dengan adanya aksesibilitas kepada seorang anak dari tahanan atau anak dari narapidana perempuan untuk dibawa ke Rutan atau Lapas atau yang lahir di Lapas dapat tinggal bersama ibunya paling lama sampai dengan anak berusia tiga tahun. (Vide: Pasal 62 Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan).

 

Penulis: Insanul Hakim Ifra (Rutan Depok)
 

What's Your Reaction?

like
8
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0