Pengaruh COVID-19 Terhadap Sistem Peradilan Pidana dan Dampak Psikologis Terhadap WBP

Pengaruh COVID-19 Terhadap Sistem Peradilan Pidana  dan Dampak Psikologis Terhadap WBP

Beberapa bulan ini, Indonesia dihebohkan dengan fenomena yang membuat masyarakat gempar, yaitu Coronavirus disease (COVID-19). Data terbaru WHO menyebutkan lebih dari 2,3 juta masyarakat dunia mengalami gejala COVID-19 dan kurang lebih 200 ribu jiwa melayang karena pandemi tersebut. Jika hal ini dibiarkan, maka akan terjadi kekacauan disemua sektor, baik segi ekonomi, pendidikan, pariwisata, infrastruktur, kesejahteraan sosial, serta masalah hukum.

Salah satu permasalahan yang sedang hangat diperbincangkan saat ini adalah pembebasan Warga Binaan Permasyarakatan (WBP) yang menuai banyak pro kontra di kalangan masyarakat. Namun, hal ini memiliki landasan dan dasar berdasarkan amanat Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI No. 10 tahun 2020 tentang Syarat Pemberian Asimilasi dan Hak Integrasi bagi Narapidana dan Anak Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19 yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) / rumah tahanan negara (rutan) / Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA).

Definisi asimilasi adalah proses pembinaan narapidana dan Anak yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan Anak dalam kehidupan masyarakat, sedangkan hak integrasi adalah program pembinaan untuk mengintegrasikan narapidana dan Anak ke dalam kehidupan masyarakat setelah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hal pembimbingan dan pengawasan, WBP akan diserahkan ke balai pemasyarakatan (bapas) yang selanjutnya menjadi klien Pemasyarakatan. Selanjutnya, para klien Pemasyarakatan tersebut akan diawasi Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang akan ditunjuk berdasarkan kategori dan keahlian masing-masing guna meningkatkan profesionalitas serta transparansi terhadap klien pemasyarakatan sesuai amanat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.01-PK.04.10 Tahun 1998 Tanggal 3 Februari 1998 tentang Tugas, Kewajiban dan Syarat-Syarat Bagi PK dan Peraturan Menteri Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi RI No. 22 dan 23 tahun 2016 tentang Tugas dan Jabatan PK Asisten PK.

Selain pemberian hak-hak tersebut agar mengurangi penyebaran COVID-19 di lapas/rutan/LPKA, sistem peradilan pidana yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) juga mengalami gangguan dalam penanganannya. Hal ini juga menjadi tugas rumah bersama APH dalam menangani kriminalitas yang terjadi di kalangan masyarakat pada umumnya.

 

Kenapa Bisa Demikian dan Apa Pengaruh Sistem Peradilan Pidana Dengan COVID-19?

Dengan adanya pemberian asimilasi dan hak integrasi yang dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) melalui Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, maka pelaksanaan kegiatan tersebut akan dilakukan pihak lapas/rutan/LPKA dan dilanjutkan pembimbingan dan pengawasan oleh bapas. Persoalan yang sangat sensitif di kalangan masyarakat, maka perlu menjalin sinergi dengan beberapa pihak terkait seperti kejaksaan dan kepolisian. Hal ini berguna untuk para WBP diberikan kesempatan tersebut agar tidak terjerumus ke hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu tujuannya adalah mengurangi over capacity di dalam lapas/rutan serta mengikuti Instruksi Dewan HAM PBB yang pernah disampaikan Menteri Hukum & HAM, Yasonna H. Laoly.

Dalam penjelasannya disebutkan lapas/rutan yang mengalami kelebihan kapasitas, maka diberikan hak untuk mengikuti asimilasi dan hak integrasi demi alasan kemanusiaan. Namun, bukan berarti semua WBP diberi kesempatan tersebut, melainkan hanya yang memiliki kategori tertentu diantaranya pidana umum. Untuk pidana khusus, seperti narkotika, korupsi, dan terorisme sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tidak diperkenankan untuk mengikuti hak tersebut. Dalam peraturan tersebut disebutkan narapidana yang terjerat pidana khusus, seperti narkotika, korupsi, dan terorisme wajib mengikuti asimilasi serta membayar denda apabila ingin diberikan hak yang sama. Selain itu, dengan pertimbangan sisa masa tahanan mereka, apakah layak diberikan atau tidak, hal itu tidak bisa ditoleransi dan tidak bisa dinegosiasi.

Selanjutnya dalam menjaga kesehatan para penegak hukum yang bertugas, maka dibuatlah kerja sama antara tiga lembaga, yaitu Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan Kemenkumham Nomor: 402/DJU/HM.01.014/2020, Nomor: KEP-17/E/Ejp/04/2020, dan Nomor : PAS-08.HH.05.05 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Persidangan Melalui Teleconference. Tujuan utama dibuat kerja sama tersebut adalah agar para penegak hukum tidak terpapar COVID-19 dan mendukung program pemerintah dalam upaya physical distancing. Pekerjaan seperti persidangan, penyerahan tahanan, dan sebagainya dengan keadaan seperti ini bisa dilakukan melalui teleconference. Bila hal tersebut dilakukan dengan benar, maka pelayanan terhadap masyarakat akan tetap berjalan meski harus dilakukan pembatasan-pembatasan guna mencegah penyebaran COVID-19.

Bapas adalah pranata dalam hal penelitian kemasyarakatan, pembimbingan, pendampingan, pengawasan, serta Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan. Peran bapas sangat vital, terutama adanya peran PK dalam proses peradilan pidana, dari pra-adjudikasi, adjudikasi, dan post adjudikasi. PK memiliki peran yang penting dengan mengutamakan restorative justice. Maka dari itu, senada dengan program pemerintah sekarang yang berupaya memberikan asimilasi dan hak integrasi terhadap WBP dan PK yang bekerja dalam hal pembimbingan dan pengawasan.

Selain itu, pada tahun 2020 ini bapas memiliki kelompok masyarakat (pokmas) guna menjalin komunikasi terhadap aparat setingkat desa/lurah dalam hal pembimbingan dan pengawasan klien Pemasyarakatan. Hal ini tertera dalam Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Nomor: PAS-03.PR.01.01 Tahun 2020 tentang Resolusi Pemasyarakatan Tahun 2020 yang menyatakan PK melalui bapas wajib membangun atau membuat pokmas agar tercipta sinergi dengan masyarakat serta memberi edukasi terhadap klien agar mampu bersosialisasi dan kembali ke tengah-tengah masyarakat.

Bila program tersebut dapat berjalan dengan baik, maka proses peradilan pidana di Indonesia yang sedang terkena wabah COVID-19 ini akan berjalan lancar meminimasir terulangnya tindak pidana yang baru atau bahkan sama sehingga tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menjadi positif dan membuang stigma negatif tentang WBP.

 

Dampak Psikologis Yang Dialami WBP?

Secara hierarki, WBP hanyalah manusia pada umumnya namun memiliki pelanggaran hukum yang harus dipertanggungjawabkan. Sigmund Freud membahas atau mengkaji mengenai manusia atau individu, termasuk dalam membahas individu dalam konteks psikologi kesehatan, bahwa munculnya gejala atau gangguan secara fisik adalah manifestasi dari adanya konflik-konflik yang tidak terselesaikan. Hal ini senada dengan program yang dilakukan pemerintah untuk memberikan asimilasi karena para WBP memiliki kekhawatiran dalam dirinya agar selamat dari bencana tersebut. Bayangkan bila satu tahanan saja terpapar COVID-19, maka kekacauan akan terjadi dan timbul chaos.

Menurut Dunbar (1930) dan Alexander (1940), gangguan atau sakit yang dialami oleh individu disebabkan psikosomatis. Hal ini terjadi karena adanya konflik-konflik psikologis bawah sadar organ tubuh melalui sistem saraf otonom hingga terjadinya kondisi sakit pada diri individu. Maka,  kita semua berharap hal ini tidak terjadi dengan WBP yang berada  di dalam agar tidak muncul kepanikan dan ketenteraman penghuni di dalam, baik WBP maupun petugas Pemasyarakatan itu sendiri.

Bila hal ini tidak dibenahi dengan baik dan bijak, maka akan timbul coping stres, yaitu proses yang dialami individu berupa pemikiran dan tindakan/perilaku dalam rangka mengatur/mengelola ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan dari suatu situasi dan sumber-sumber yang dimiliki individu dalam menilai atau menghadapi kondisi stres (Sarafino, 2012; Taylor, 2009). Apabila WBP tidak siap dalam meghadapi situasi saat ini, maka akan timbul stres negatif dan membuat lapas/rutan menjadi kacau. Sudah bukan rahasia lagi apabila sering terjadi keributan di beberapa lapas/rutan yang selalu membuat keributan apabila terjadi suatu hal yang tidak diinginkan. Maka dari itu perlu kita pikirkan kondisi mereka didalam apabila wabah Corona ini masih berlanjut, maka akan terjadi hal yang tidak kita inginkan.

 

Kesimpulan

Dalam mempertahankan pelayanan publik serta mendukung program pemerintah dalam physical distancing guna mencegah penyebaran COVID-19, maka perlu didukung penuh semua elemen, termasuk masyarakat. Memang hal tersebut adalah hal yang sangat sensitif untuk saat ini, namun para APH senantiasa membantu dan melayani masyarakat dengan sepenuh hati agar tercipta lingkungan kondusif dan tidak menyebar luas perihal COVID-19. Dalam hal ini pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Butuh dukungan dan kedisiplinan masyarakat agar bisa melalui kejadian tersebut namun tidak melupakan tugas, utamanya dalam pengawasan dan pembimbingan WBP yang diberikan negara.

 

Penulis: Agam Ramadika (PK Pertama Bapas Kelas I Cirebon)

What's Your Reaction?

like
10
dislike
1
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
2