Peran PK pada Upaya Diversi Kasus Anak di Bawah 14 Tahun Demi Mencapai Keadilan Restoratif

Peran PK pada Upaya Diversi Kasus Anak di Bawah 14 Tahun Demi Mencapai Keadilan Restoratif

Keadilan Restoratif adalah salah satu upaya di mana pelaku, korban, keluarga kedua belah pihak, dan pemangku kepentingan lainnya bekerja sama untuk menyelesaikan masalah dengan berfokus pada pemulihan daripada pembalasan dan mencapai penyelesaian konflik yang baik, yaitu mampu memenuhi unsur keadilan, baik bagi pelaku maupun korban. Salah satu upaya dari mengejawantahkan Keadilan Restoratif adalah upaya Diversi, yakni pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Pada contoh kasus, tindak pidana perisakan disertai kekerasan anak di Serpong, Tangerang Selatan, upaya Diversi mengalami kegagalan. Sumber: Diversi Kasus Bullying Anak di Serpong Gagal, Orangtua Korban Ingin Proses Hukum Berlanjut (kompas.com) . Meskipun orang tua korban memaafkan, namun mereka tetap ingin kasus ini diproses lebih lanjut.

 

Bagaimana Keadilan Restoratif Diterapkan dalam Kasus Semacam Ini?

Seperti diketahui bersama, unsur upaya Diversi adalah ancaman tindak pidana yang dilakukan anak, yakni di bawah tujuh tahun dan bukanlah pengulangan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Selanjutnya, pada Pasal 9 disebutkan kembali bahwa penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan beberapa hal, yaitu kategori tindak pidana, umur anak, hasil Penelitian Kemasyarakatan dari Balai Pemasyarakatan (Bapas), serta dukungan lingkungan keluarga dan masyararakat sehingga makin rendah ancaman pidana dan usia anak, makin tinggi prioritas untuk dilakukan upaya Diversi.

Pada kasus perisakan di Serpong, Tangerang Selatan dengan terduga pelaku anak yang rata-rata berusia 11-14 tahun dengan anak korban berusia 16 tahun, upaya Diversi menjadi hal yang utama. Pembimbing Kemasyarakan (PK) harus mampu menggali latar belakang dari tindakan yang dilakukan oleh terduga pelaku anak. Apakah dari latar belakang keluarga, lingkungan, atau hal lain yang kemudian dianalisis dengan tajam bagaimana hal tersebut memiliki pengaruh terhadap perilaku anak. Kemudian, PK dapat memberi rekomendasi yang tepat sesuai hasil analisis tersebut. Sebelum membuat rekomendasi, PK dapat merujuk pada Pasal 69 Undang-Undang SPPA yang menyatakan anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan. Oleh karena itu, tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak menurut undang-undang tersebut meliputi pengembalian kepada orang tua/wali, penyerahan kepada seseorang, perawatan di rumah sakit jiwa, perawatan di Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial, kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta, pencabutan SIM, dan/atau perbaikan akibat tindak pidana. Apabila Diversi gagal pada tahap awal, maka sesuai amanat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang SPPA dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 Tahun, disebutkan bahwa upaya Diversi harus terus dilanjutkan pada setiap tingkatan pemeriksaan hingga mencapai keputusan tetap dari hakim.

 

Dukungan Keluarga sebagai Salah Satu Kunci Keberhasilan Diversi

Untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang tangguh dan berkualitas, orang tua seyogyanya membesarkan dan mendidik anak lahir dan batin sampai anaknya dewasa,dan/atau sampai anak menjadi mandiri. Sangat dibutuhkan upaya konsisten dan berkesinambungan untuk mewujudkannya. Pekerjaan ini menjadi tanggung jawab orang tua. Demikian pula berlaku untuk pasangan yang bercerai maupun ditinggal kematian salah satu pihak di mana ayah dan/atau ibu tetap berkewajiban untuk memelihara, merawat, dan mendidik anak-anak mereka. Memang pekerjaan yang tidak mudah, terlebih pada orang tua tunggal atau orang tua bercerai, namun itulah tugas dan fungsi orang tua terhadap anak. Sejatinya, orang tua seharusnya mampu menjalankan kewajiban dalam memenuhi hak-hak anak, termasuk memberikan fungsi afeksi atau kasih sayang terhadap anak agar anak betah di dalam lingkungan keluarga tersebut. Untuk itu, bagi terduga pelaku anak, jika anak masih dapat dibimbing, dibina, dan diawasi oleh keluarga, maka besar kemungkinan pengembalian anak kepada orang tua dapat dijalankan dengan syarat orang tua harus mampu mengawasi secara ketat sang anak agar tidak mengulangi perbuatannya.

 

Bagaimana Jika Orang Tua Angkat Tangan untuk Mendidik Anak Mereka dan Menyerahkan Sepenuhnya Pembinaan Anak kepada Pemerintah?

Hal demikian bisa saja terjadi karena keputusasaan orang tua untuk mendidik anaknya karena pengaruh lingkungan yang kurang baik telah mendalam terhadap anak. Demi kepentingan terbaik bagi anak, PK harus jeli dan memiliki banyak jejaring untuk dapat mengembalikan anak kepada kodratnya, yaitu pemulihan diri dan terpenuhi hak-hak dasar anak sehingga PK dapat merekomendasikan tindakan atau pidana yang tepat bagi anak agar anak tidak kembali melakukan tindak pidana serta mengubah sikap dan perilaku anak menjadi lebih baik. Maka, PK melalui Bapas dan instansi terkait dapat menjalin kerja sama dengan pihak ketiga sebagai salah satu cara untuk menempatkan anak menjalani pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat atau pengawasan, pelatihan kerja, dan pembinaan dalam lembaga. Penjara adalah upaya akhir yang sangat diharapkan tidak diberikan kepada pelaku anak karena akan berdampak pada psikologis anak.

 

Bagaimana dengan Kepentingan Anak Korban?

Dalam proses Diversi, kepentingan korban sangat wajib diperhatikan. Kesepakatan dalam Diversi dapat berbentuk pengembalian kerugian yang diatur dengan nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. Hal ini untuk melakukan perbaikan suatu barang, pengobatan, dan biaya lain yang timbul karena tindak pidana yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Selanjutnya, dalam Pasal 90 Undang Undang SPPA disebutkan bahwa Anak korban berhak atas upaya rehabilitasi medis dan sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga. Anak korban juga mendapat jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial serta kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Selanjutnya, secara rinci hak anak korban diatur dalam Peraturan Presiden RI Nomor 75 Tahun 2020.

Terakhir, besar harapan Penulis bahwa perisakan yang semakin marak di masyarakat merupakan tanggung jawab bersama dimulai dari lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan sampai dengan tanggung jawab negara, khususnya pengawasan pada berbagai media, terutama media elektronik dan media sosial yang sering menampilkan unsur kekerasan hingga pelecehan sehingga menjadi konsumsi publik. Ke depan, diharapkan kejadian serupa tidak terulang lagi dan menjadi pelajaran bagi masyarakat bahwa kasus perisakan dapat berdampak traumatis, baik bagi korban yang mengalami langsung maupun pelaku yang akhirnya berurusan dengan pihak berwajib.

 

Penulis: Leila Maulida (PK Ahli Muda pada Bapas Tangerang)

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0