Perlindungan Hukum Bagi Siswi (Anak) Tampil Vulgar Live di Media Sosial
Baru-baru ini kembali jagad maya dihebohkan dengan viralnya video aksi tiga siswi tampil vulgar saat siaran langsung di salah satu aplikasi media sosial yang berdurasi kurang lebih dua menit. Menurut Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah, Kombes Hendra Rochmawan, ketiga siswi tersebut sebenarnya iseng, kemudian adu adrenalin. Satuu dari mereka buka bra kemudian yang lainnya merasa tertantang untuk melakukan hal yang sama. Ketiga Anak tersebut saat ini telah dinaikkan statusnya sebagai tersangka namun tidak ditahan ( detiknews 24/04/2020).
Dari pemberitaan ini mengundang pertanyaan mengapa tiga siswi berani tampil vulgar mempertontonkan tubuhnya di panggung digital yang dapat diakses oleh netizen? BagaimAnakah komentar para pihak mengenai kejadian ini? Apa saja yang telah dilakukan aparat penyidik dalam kasus ini? Solusi apa yang dapat dilakukan untuk melindungi Anak?
Penyebab Anak Menampilkan Sebagian Tubuhnya di Depan Umum
Psikolog Veronika Adela dari Personal Growth, sebuah yayasan yang memberikan layanan psikologi yang didirikan pada tahun 2003 di Jakarta, menerangkan adrenalin adalah hormon yang diproduksi kelenjar adrenal dan otak saat seseorang menghadap bahaya yang mengancam. Hormon ini memiliki peranan penting dalam fight or flight response (reaksi stres di dalam tubuh yang mencakup meningkatnya detak jantung, pernafasan, tekanan darah, gula darah, dan pernafasan) yang dilepaskan tubuh saat mengalami stres berat, tertekan, berhadapan dengan situasi yang menakutkan, menegangkan, berbahaya, ataupun mengancam.
Terkait viralnya ketiga remaja tersebut, Veronika menganalis perilaku remaja tersebut didorong hasrat untuk mencari kesenangan atau rasa puas yang bersifat sementara saat melakukannya. Dalam hal ini mendapatkan rasa senang atau kepuasan semu dari mempertontonkan alat genital atau bagian tubuh pribadinya kepada orang lain ataupun rasa senang dan puas atas reaksi atau respons yang didapatkannya dengan mempertontonkan bagian tubuh pribadinya.
Durkheim (1983-1917) menjelaskan kendornya pengawasan dan kontrol sosial berpengaruh terhadap kemerosotan moral yang menyebabkan individu sukar menyesuaikan diri dalam perubahan norma, bahkan kerap kali terjadi konflik norma dalam pergaulan.
Thomas dan Znaniecky menghubungkan degradasi moral atau terjadinya delinkuensi ataupun kejahatan diakibatkan oleh ketidak berlangsungannya ikatan sosial (social disorganization), hubungan kekeluargaan, lingkungan, dan kontrol-kontrol sosial di dalam lingkungan dan komunitas.
Komentar Kementerian Pendidikan dan Kebudayan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Menengah, Hamid Muhammad, pun berkomentar turut prihatin dan mengevaluasi kembali pendidikan karakter bagi keluarga dan sekolah bagi remaja tersebut belum berhasil. Sedianya orangtua berperan utama dalam pembentukan karakter Anak-Anak di rumah. Keluarga adalah lembaga utama dalam pendidikan karakter bagi Anak, bahkan etika memanfaatkan media sosial pun perlu diajarkan kepada Anak.
Duval dan Logan (1986) memberi pengertian keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan juga adopsi yang tujuannya menciptakan mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosi, dan sosial dari setiap anggotanya. Dari pengertian ini dapatlah dipahami ada kegagalan parenting yang terjadi di dalam keluarga. Mungkin saja akibat keterbatasan pengetahuan orangtua mengikuti perubahan perilaku Anak yang sangat dipengaruhi media informasi yag begitu cepat dan canggih sehingga susah membendung pengaruh negatif dari kemajuan teknologi.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, mengimbau pihak Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) untuk menghapus konten atau memblokir akun atau video tersebut karena ditakutkan Anak akan mengalami perisakan dari netizen. Komisioner ini pun berpendapat yang sama bahwa kejadian yang dialami ketiga siswi tersebut dikarenakan adanya kelalaian orangtua dalam melakukan pengawasan.
Imbauan Komisioner pada kenyataannya belum direspon pihak yang dapat mengeksekusi agar persebaran rekaman tersebut dapat dihentikan, dalam hal ini Kominfo, karena sampai dengan sekarang rekaman tersebut masih dapat diakses di saluran besar seperti YouTube dan mungkin saja telah banyak yang mengunduhnya. Hal ini akan menjadi polemik di masa akan datang saat proses hukum Anak telah selesai. Anak masih berpeluang besar mengalami perisakan atau pelecehan dikarenakan stigma dan pelabelan negatif akibat videonya belum hilang dari peredaran.
Pasal yang diterapkan penyidik adalah pasal dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia tentang Pornografi serta tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pengertian Pornografi pada pasal 1 Ayat 1 UU Pornografi Bab Ketentuan Umum menjelaskan pornografi adalah gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui pelbagai bentuk media komunikasi dan atau pertunjukan di muka umum yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Kemudian, dijelaskan pada pasal 10 UU Pornografi bahwa setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Adapun ancaman pidananya dapat dilihat pada pasal 36 UU Pornografi yang menentukan setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, ekploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dalam pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah).
Pada UU ITE pada bab perbuatan yang dilarang pasal 27 ayat 1 bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Ketentuan pidana Pasal 45 ayat 1 bahwa setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat 1, ayat 2, ayat 3 atau ayat 4 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.- (satu milyar rupiah).
Dari dua pasal pidana yang menjerat pelaku Anak, maka yang akan dijatuhkan padanya hanya satu pidana saja dengan memilih jumlah pidana maksimum yang diancam terhadap perbuatan itu. Hal ini diatur dalam Pasal 65 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ayat 1 mengenai penggabungan tindak pidana (concursus realis) yang menentukan dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri sehingga merupakan beberapa kejahatan yang diancam dengan pidana pokok sejenis, maka dijatuhkan hanya satu pidana.
Bentuk Aksi Konkret Perlindungan Khusus Bagi Anak
UU tentang Perlindungan Anak Pasal 59 ayat 1 menentukan pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada Anak. Perlindungan khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima Anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembangnya.
Mengingat ketiga Anak tersebut telah dinaikkan statusnya sebagai tersangka, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pihak pemerintah kota dan provinsi Kalimantan Tengah dalam rangka memberikan perlindungan khusus bagi Anak. Adapun pihak yang paling tepat untuk persoalan ini adalah Dinas Pemberdayaan Perempuan Anak dan Pengentasan Anak Kota dan Provinsi dengan melakukan pembimbingan dan pendampingan psikososial Anak, melaporkan kepada pihak Kominfo untuk menghapus atau memblokir rekaman video yang masih dapat diakses oleh netizen, mendorong aparat untuk melacak pihak yang merekam dan mentransmisikan video Anak, meningkatkan peran dan kemampuan orangtua dalam mendidik Anak melalui kursus parenting skill, kemudian berkoordinasi dengan pihak pemerintah setempat RT/RW domisili Anak, para tokoh masyarakat, dan tokoh agama untuk mengawasi dan mendampingi Anak agar proses kehidupan sosial Anak dapat pulih dan kembali seperti sediakala secara normal.
Skema kerja yang penulis tawarkan adalah upaya membangun sebuah mekanisme kerja yang jelas dalam mewujudkan fungsi kontrol sosial yang integratif antara pemerintah dan masyarakat dalam perlindungan Anak. Kemudian, Pembimbing Kemasyarakatan setempat dapat melakukan penelitian kemasyarakatan (litmas) dengan menggali informasi tentang latar belakang kehidupan sosial Anak dan segala hal yang memengaruhi Anak melakukan tindak pidana. Selanjutnya, merumuskan rekomendasi litmas berdasarkan kaidah hukum UU Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa pemidanaan terhadap Anak sebagai upaya terakhir dan seyogyanya putusan hakim mempertimbangkan kepentingan terbaik Anak.
Memberikan jaminan rasa aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh kembang Anak adalah wajib sehingga menciptakan prosedur yang jelas dalam mewujudkan rasa aman tersebut menjadi wajib diadakan di setiap kota/kabupaten dan provinsi sehingga penanganan Anak dapat maksimal dan tepat sasaran, mengingat persoalan Anak menjadi tanggung jawab semua pihak.
Kontributor: Andi Moh. Hamka (Bapas Makassar)