Problem Sosial Napi Sepuh di Lapas Porong

Lapas Kelas I Surabaya (Porong) menyimpan problem unik. Selama bertahun-tahun mereka selalu kedatangan narapidana yang sudah berusia lanjut. Bahkan, ada yang sangat lanjut. Mereka rata-rata sakit-sakitan dan tanggal pembebasannya masih sangat lama. Remisi lansia yang diharapkan jadi solusi percepatan bebas tidak kunjung terealisasi.

”KULO mboten ngertos angsal remisi nopo mboten (saya tidak tahu dapat remisi atau tidak),” ucap Muniwar sambil menggelengkan kepala saat ditanya soal diskon hukuman untuknya. Setiap hari napi 73 tahun itu berharap mendapat remisi agar segera bebas dari bui. Berdasar data di lapas, Muniwar sebenarnya telah mendapat remisi umum pada hari kemerdekaan dan remisi khusus keagamaan selama empat bulan. Namun, dia tidak terlalui peduli dengan pengurangan hukuman itu lantaran yang dia tunggu adalah remisi lansia. Kakek empat orang cucu ters

Problem Sosial Napi Sepuh di Lapas Porong

Lapas Kelas I Surabaya (Porong) menyimpan problem unik. Selama bertahun-tahun mereka selalu kedatangan narapidana yang sudah berusia lanjut. Bahkan, ada yang sangat lanjut. Mereka rata-rata sakit-sakitan dan tanggal pembebasannya masih sangat lama. Remisi lansia yang diharapkan jadi solusi percepatan bebas tidak kunjung terealisasi.

”KULO mboten ngertos angsal remisi nopo mboten (saya tidak tahu dapat remisi atau tidak),” ucap Muniwar sambil menggelengkan kepala saat ditanya soal diskon hukuman untuknya. Setiap hari napi 73 tahun itu berharap mendapat remisi agar segera bebas dari bui. Berdasar data di lapas, Muniwar sebenarnya telah mendapat remisi umum pada hari kemerdekaan dan remisi khusus keagamaan selama empat bulan. Namun, dia tidak terlalui peduli dengan pengurangan hukuman itu lantaran yang dia tunggu adalah remisi lansia. Kakek empat orang cucu tersebut sedih bila membayangkan bakal tambah tua di tahanan. Sebab, hakim memvonisnya dengan pidana penjara selama enam tahun, enam bulan. Belum lagi hukuman tambahan berupa denda Rp 100 juta, subsider tiga bulan kurungan. Muniwar tidak sanggup membayar uang sebanyak itu sehingga memilih hukuman badan. Itu membuatnya semakin lama berada di dalam penjara. Hal serupa diimpikan Abdul Syukur. Saat ditemui di Lapas Kelas I Surabaya (Porong) Sabtu pagi lalu (8/7), tatapan mata pria 73 tahun itu kosong. Raut wajahnya datar. Hanya ada satu atau dua kata yang keluar dari bibirnya saat ditanya. Bahkan, mimiknya langsung berubah ketika disinggung soal keluarga. Mata tuanya yang mulai mblawur itu tiba-tiba basah oleh air mata. Tangan kanannya yang keriput mengusap kedua matanya. ”Mesakaken bojo kulo.Kulo mboten tego (kasihan istri saya. Tidak tega),” katanya dengan terbata. Pria 73 tahun itu mengaku istrinya di rumah sendirian. Si istri sudah lama tidak membesuknya di lapas. Dia ingin bebas agar bisa berkumpul dan menemani, Sunar, istri tercintanya. Namun, pria asal Pasuruan itu mengaku masih lama keluar dari penjara. Dia baru menjalani hukuman delapan bulan. Padahal, hakim memvonisnya dengan pidana penjara lima tahun. Itu masih ditambah denda Rp 60 juta, subsider tiga bulan kurungan karena tindak pencabulan yang dilakukannya. Untuk membebaskan para napi lansia tersebut, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM) membuat aturan.Sebagaimana napi lainnya, mereka diberi hak untuk memperoleh remisi. Baik remisi khusus, umum, remisi dasawarsa, maupun remisi untuk kepentingan kemanusiaan. Khusus remisi untuk kepentingan kemanusiaan, menteri dapat memberikan pengurangan hukuman bagi pelaku tindak pidana dengan masa hukuman maksimal setahun. Itu bisa didapat napi yang berusia di atas 70 tahun maupun mereka yang menderita sakit berkepanjangan. Regulasi tersebut dikeluarkan pada Juli 2013 melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM No 21 Tahun 2013. Kepmen itu mengatur syarat dan tata cara pemberian remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga (CMK), pembebasan bersyarat (PB), cuti menjelang bebas (CMB), dan cuti bersyarat (CB) bagi napi yang mendekam di bui. Ketentuan soal pemberian remisi untuk kemanusiaan tersebut ditegaskan dalam pasal 18. Kemudian, itu diperkuat pasal 20 yang menyebutkan bahwa remisi diberikan atas dasar pertimbangan kemanusiaan. ”Jadi, napi yang berumur 70 tahun ke atas dapat mengajukan remisi khusus untuk lansia,” kata Kepala Subdit Komunikasi Ditjen Pemasyarakatan Akbar Hadi. Itu berarti Muniwar dan Abdul Syukur sebenarnya bisa menikmati remisi lansia dengan alasan kemanusiaan tersebut. Hanya, mendapatkan remisi ”khusus” itu tidak mudah. Ketika mengajukan permohonan, napi yang bersangkutan harus menyertakan bukti akta kelahiran atau surat keterangan kenal lahir yang sudah dilegalisasi instansi berwenang. Bukti otentik tentang kelahiran itulah yang sering menjadi kendala. Sebab, tidak semua napi lansia memilikinya. Jangankan akta kelahiran atau surat kenal lahir, ketika ditanya usia saja mereka tidak hafal. ”Pokok e kulo lahir sak derenge Nipon dugi (Pokoknya, saya lahir sebelum Jepang datang ke Indonesia),” kata Parmin, napi lansia tertua di Lapas Porong. Saat ditanya umur, Parmin selalu menyebut 89 tahun. Padahal, umur yang dihafal itu adalah saat dia melakukan tindak pidana. Ketika melakukan pembunuhan berencana, usianya 89 tahun. Dia hafal karena sering ditanya penyidik, hakim, maupun jaksa. Pria asal Surabaya Timur itu mengaku telah menjalani Lebaran di bui selama tujuh kali. Dua kali di Rutan Kelas I Surabaya (Medaeng) dan lima kali di Lapas Porong. Tapi, saat Jawa Pos menelusuri di bagian registrasi, Parmin ternyata mulai ditahan pada 7 Oktober 2009. Tahun ini merupakan tahun keenam di bui. Jadi, umurnya sekarang yang asli adalah 95 tahun. Itu sesuai dengan data tahun kelahirannya di berkas, yakni 1920. Bukan hanya Parmin yang lupa usia. Maludin juga selalu ngotot umurnya masih 70 tahun. Padahal, berdasar data, dia lahir pada 1936. Tahun ini usianya 79 tahun. Ketika didesak usia yang sebenarnya, napi kasus pencabulan yang pendengarannya berkurang itu hanya tersenyum. Dia mengaku yang diingat umurnya 70 tahun. Kelebihannya tidak ingat berapa. Lebih parah lagi Ismail. Saat ditanya, dia hanya diam. Rupanya, dua telinga napi berusia 79 tahun tersebut terganggu. Dia kesulitan mendengar suara dengan jelas. Parmin maupun Maludin dan Ismail tidak memiliki akta kelahiran atau surat tanda lahir yang diserahkan untuk mengajukan pengurangan hukuman. Mereka juga tidak mungkin minta keluarga untuk mencarikan karena tidak tidak pernah dibesuk. Sangat mungkin hal itu pulalah yang membuat usulan remisi lansia yang diberikan pada Hari Lanjut Usia Nasional yang diperingati setiap 29 Mei belum mendapat jawaban. Padahal, setiap tahun, sejak 2014, usulan remisi lansia bagi napi yang berumur 70 tahun lebih selalu diajukan. ”Tahun ini juga telah kami usulkan, tapi belum ada jawaban,” tegas Prasetyo, kepala Lapas Kelas I Surabaya (Porong). Artinya, sudah dua kali diajukan dalam dua tahun, remisi lansia belum mendapat balasan. Sama dengan Parmin dan kawan-kawannya, Prasetyo berharap para lansia bisa segera bebas dan berkumpul lagi dengan keluarga. Di Lapas Kelas I Surabaya (Porong) setidaknya ada delapan napi yang berumur di atas 70 tahun. Abdul Gani yang berusia 87 tahun kini sudah ringkih. Kakinya tidak bisa berjalan. Untuk napi yang umurnya 60 tahun plus, ada sekitar 30 orang. Berdasar pembuatan kartu tanda penduduk (KTP), umur 60 tahun telah masuk lansia. Tapi, dalam aturan pemberian remisi untuk warga senior di penjara, yang berhak mengajukan adalah usia kepala tujuh. Hanya, ada kendala syarat adanya akta otentik yang semua napi tua tidak punya. Jik demi pertimbangan kemanusiaan, remisi bagi para lansia dalam setahun bisa mengurangi hukuman cukup besar. Di antaranya, remisi umum maksimal 6 bulan, remisi khusus keagamaan maksimal 6 bulan, remisi lansia (maksimal sama dengan remisi umum), dan remisi tambahan untuk napi yang membantu kegiatan di lapas (maksimal 3 bulan). Masih ada remisi dasawarsa bagi napi yang sudah menjalani hukuman lebih dari 10 tahun. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jatim I Wayan K. Dusak mengaku tidak tidak tinggal diam menghadapi problem lansia di penjara itu. Kanwil pun senantiasa membantu pengajuan permohonan para napi uzur tersebut. Hanya, kanwil tidak berhak memberikan persetujuan atas usul itu. Sebab, remisi diajukan langsung ke direktur jenderal pemasyarakatan (Dirjen Pas). ”Nanti ada evaluasi lagi agar aturan yang diterapkan memenuhi rasa keadilan bagi napi maupun masyarakat,” ujar Dusak yang hari ini akan dilantik menjadi Dirjen Pas. Menurut dia, perasaan keluarga korban tindak pidana juga harus tetap dijaga. Khusus untuk remisi, dia menjelaskan bahwa dalam waktu empat belas hari setelah diterima, permohonan harus mendapat jawaban. ”Jika belum disetujui, dicari apa kendalanya,” lanjut Dusak. Pihak lapas juga tidak dapat seenaknya membebaskan napi lansia dari penjara. Mereka juga tidak bisa menempatkan mereka di panti jompo atau sosial dengan asal-asalan. Sebab, payung hukum untuk melakukan hal itu belum ada. Lagi pula, rasa keadilan masyarakat belum tentu menerimanya. Salah satu solusinya adalah penjara berupaya memberikan pelayanan bagi lansia seperti di panti jompo. Meski sejatinya tidak ada kewajiban bagi penjara untuk memelihara orang tua. Tapi, sebagai pihak yang dititipi napi, mereka harus melaksanakan tugas dengan maksimal. Dengan menempatkan para lansia di blok tersendiri, bisa dipilih petugas penjara yang senantiasa sabar dan pengertian untuk mendampingi dan mengingatkan kala mereka harus minum obat. Dengan begitu, para napi tua akan merasa diperhatikan dan tidak ngenes menjalani hukuman di penjara.(may/c6/fat)

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0