Prospek Restorative Justice di Kalangan Masyarakat

Prospek Restorative Justice di Kalangan Masyarakat

Fiat justisia ruat coelum. Pepatah latin ini memiliki arti “meski langit runtuh keadilan harus ditegakkan. Pepatah ini kemudian menjadi sangat populer karena sering digunakan sebagai dasar argumen pembenaran dalam pelaksanaan sebuah sistem peraturan hukum. Dalam penerapannya, adagium tersebut seolah-olah diimplementasikan dalam sebuah kerangka pemikiran yang sempit bertopeng dalih penegakan dan kepastian hukum

Definisi umum dari Restorative Justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana ringan yang dilakukan penyidik pada tahap penyidikan atau hakim sejak awal persidangan dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan tokoh masyarakat terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Bila mengacu ke Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 menerangkan Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

Bila membahas Restorative Justice ke kalangan yang tidak begitu paham dengan hukum, mungkin akan sedikit mengalami kebingungan dikarenakan pada umumnya masyarakat hanya tahu bahwa apabila seseorang melakukan pelanggaran hukum, maka wajib hukumnya untuk diberi hukuman seberat-beratnya sesuai dengan yang telah dilakukan. Namun, bila melihat dari sudut pandang lain, Restorative Justice memiliki prospek atau keunggulan yang bisa digunakan oleh semua kalangan, terutama masyarakat umum. Bisa dikatakan penyelesaian masalah hukum tidak selalu harus diselesaikan di pengadilan, bisa saja selesai cukup di ranah penyidik. Namun, hal ini bukanlah hal baru bila merujuk Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang SPPA bahwa di dalamnya disebutkan bahwa Anak yang di bawah usia 18 tahun bisa diupayakan Diversi bila memenuhi syarat tertentu.

Konsep pendekatan Restorative Justice merupakan suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi pihak korban dan pelaku.

Sebagai contoh, mengutip dari laman Kompas, di kota Tangerang ada sebuah kasus penganiayaan terhadap seseorang memukul adiknya karena kehilangan uang di rumahnya. Lalu, kasus tersebut dilaporkan ke Kepolisian Resor Tangerang. Selanjutnya, pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan dikenai pasal 351 KUHP. Kepala Kejaksaan Negeri Kota Tangerang langsung mengambil tindakan Restorative Justice dikarenakan ancaman pidana yang kurang dari lina tahun dan kerugian yang dialami tidak lebih dari Rp2.500.000 sehingga tercapailah kata kesepakatan dan damai di tahap Kejaksaan.

Bila merujuk ke Restorative Justice, perlu adanya rujukan sosial apa yang membuat pelaku melakukan hal tersebut. Bila ditarik garis besar, pelaku hanya emosi sesaat karena kehilangan uang dan tidak adanya komunikasi yang baik antara keluarga. Maka dari itu, perlu adanya daya analisis yang lebih tajam dan pengamatan sosial dalam hal memutuskan apakah pelaku bisa diupayakan ke Restorative Justice atau lanjut untuk dipersidangkan sesuai peraturan yang berlaku.

Restorative Justice merupakan teori keadilan yang menekankan pada pemulihan kerugian yang disebabkan oleh perbuatan pidana. Pendekatan Restorative Justice memfokuskan kepada kebutuhan, baik korban maupun pelaku kejahatan. Selain itu, pendekatan Restorative Justice membantu para pelaku kejahatan untuk menghindari kejahatan lainnya pada masa yang akan datang. Hal ini didasarkan pada sebuah teori keadilan yang menganggap kejahatan dan pelanggaran pada prinsipnya adalah pelanggaran terhadap individu atau masyarakat dan bukan kepada negara.

Restorative Justice menumbuhkan dialog antara korban dan pelaku akan menunjukkan tingkat tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku. Konsep Restorative Justice pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman), namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan. Dalam ke-Indonesia-an, maka Restorative Justice berarti penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana dan secara bersama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.

Bila melihat dari segi konsep, Restorative Justice adalah upaya baru melihat proses penegakan hukum pidana yang fokus mengenai bagaimana cara memperbaiki kerugian yang terjadi pada korban dan hubungan dengan pelaku pelanggar aturan. Restorative Justice mulai muncul sejak tahun 1970-an berawal dari mediasi yang dilakukan antara korban dan pelaku. Upaya penyelesaian perkara melalui sistem peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan hukum ke arah jalur lambat. Hal ini karena penegakan hukum itu melalui jarak tempuh yang panjang melalui berbagai tingkatan mulai dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, bahkan sampai ke Mahkamah Agung yang pada akhirnya berdampak pada penumpukan perkara yang jumlahnya tidak sedikit di pengadilan.

Untuk itu, timbul pemikiran menyelesaikan masalah hukum di luar pengadilan atau nonlitigasi. Restorative Justice telah menjadi perhatian pengamat dan praktisi hukum. Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris, Tony Marshall, memberikan definisi Restorative Justice sebagai proses yang melibatkan semua pihak yang memiliki kepentingan dalam masalah semua pihak yang memiliki kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk datang bersama-sama menyelesaikan secara kolektif bagaimana menyikapi dan menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan.

Bila mengacu ke Peraturan Pemerintah RI Nomor 31 Tahun 1999 Pasal 38 Ayat 4 disebutkan bahwa dalam tindak pidana tertentu Penelitian Kemasyarakatan dapat dilaksanakan terhadap tersangka dewasa, hanya saja hingga saat ini belum adanya koordinasi yang diterapkan akan keterlibatan Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Balai Pemasyarakatan (Bapas) dalam upaya Restorative Justice di kalangan dewasa. Berbeda dengan kasus Anak yang sudah melibatkan PK Bapas dari tahap Pra-Adjudikasi hingga Post-Adjudikasi.

Bisa disimpulkan bahwa Restorative Justice sangat diperlukan bila melihat dari segi sosiokultural yang ada di negara kita saat ini mengingat banyaknya kasus tindak pidana ringan, namun masih diselesaikan dengan proses peradilan. Bila semua berjalan sesuai aturan, maka masalah-masalah yang ada saat ini bisa saja diminimalisir agar para penegak hukum dapat bekerja lebih profesional dan mengurangi overcrowded terjadi di Lembaga Pemasyarakatan.

 

Penulis: Agam Ramadika (PK Pertama Bapas Cirebon)

What's Your Reaction?

like
1
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
1
wow
0