Tulang Rusuk Garuda

Sumirah adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) di salah satu Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Perannya di Lapas sebagai staf pembinaan kemandirian dan kemasyarakatan. 20 tahun sudah Sumirah mengadi di Lapas tersebut, kecintaannya pada NKRI, sosoknya yang mengayomi dan semangat pengabdiannya pada bangsa dan negara tidak pernah kendur. Sumirah merupakan pegawai yang aktif dalam membina Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Ia sering memberikan bimbingan dan motivasi kepada warga binaan di Lapas. Sosoknya yang ramah dan murah senyum membuat Sumirah banyak disenangi dan dikagumi para warga binaan. Keakraban Sumirah dengan warga binaan dapat menciptakan suasana yang harmonis didalam Lapas. Bu Sum, itulah sapaan atau julukan yang diberikan para warga binaan di Lapas tempat ia bekerja. Sum artinya suka senyum, itulah candaan-candaan hangat para warga binaan pada sosok Sumirah.
Di rumah, Sumirah atau Bu Sum seorang ibu rumah tangga biasa. Suaminya bernama Pak Hasan. Pak Hasan dulunya seorang karyawan swasta, namun kemudian setelah terjadi kecelakaan beberapa tahun yang lalu, menyebabkan kaki Pak Hasan lumpuh dan tidak bisa berjalan, maka kesehariannya Pak Hasan hanya menggunakan kursi roda. Pak Hasan seorang yang gemar membaca buku apalagi buku syair, pantun atau puisi karya-karya Chairil Anwar dan Pak Hasan penggemar berat Chairil Anwar. Belakangan ini Pak Hasan menderita penyakit stroke yang menyebabkan ucapannya kurang dapat dipahami kecuali oleh pujaan harinya, yaitu Bu Sum.
Bu Sum memiliki seorang anak laki-laki bernama Haris. Haris adalah anak semata wayang mereka. Haris saat ini sudah memasuki usia remaja yang rawan terhadap pergaulan-pergaulan yang negatif dari lingkungan.
Haris sebenarnya anak yang baik, dikenal dilingkungan rumahnya. Ia sering menggantikan peran ibunya disaat ibunya sedang bertugas. Haris yang merawat ayahnya dan mengurus rumah sampai ibunya pulang dari bertugas. Namun pergaulan yang membuat Haris berubah, bahkan ia sering meninggalkan ayahnya sendirian di rumah saat ibunya sedang bertugas. Selesai tamat SMA, Haris banyak menghabiskan waktu dirumah sambil menunggu panggilan dari salah satu perguruan tinggi karena ibunya, Bu Sum telah mendaftarkan Haris ke perguruan tinggi tersebut.
Suatu hari Bu Sum agak terlambat pulang ke rumah dikarenakan di Lapas tempat ia bekerja sedang mempersiapkan kegiatan HUT 17 Agustus yang kebetulan Bu Sum terpilih menjadi ketua panitia 17 Agustus yang tinggal beberapa hari, kegiatan banyak menyita waktu dan tenaga, sehingga mengharuskan Bu Sum pulang terlambat. Dengan mengendarai sepeda motor seperti biasa Bu Sum melajukan melajukan motornya dengan kecepatan standard. Namun tiba-tiba handphone disaku bajunya berbunyi. Bu Sum menghentikan sepeda motornya dipinggir jalan dan mengecek handphonenya. Ternyata panggilan masuk dari Pak RT tempat Bu Sum tinggal bersama suami dan anaknya.
“Assalamu alaikum Bu”, suara Pak RT dari handphone Bu Sum.
“Wa alaikum salam. Ada apa Pak RT?”, jawab Bu Sum agak panik.
“Ini Bu, saya beserta warga yang lain sedang berada di rumah Ibu, memberitahukan kalau Pak Hasan, suami Ibu meninggal akibat jatuh di kamar mandi dari kursi rodanya, dan Haris anak ibu tidak ada di rumah dan sekarang secepatnya Ibu pulang. Kami menunggu di rumah Ibu”.
Itulah percakapan Bu Sum dengan Pak RT. Bu Sum segera kembali mengemudikan sepeda motornya dengan kecepatan tinggi agar segera sampai ke rumahnya.
Bu Sum dan Pak Hasan adalah pasangan yang harmonis, bukan di waktu muda saja, bahkan setelah Pak Hasan menderita lumpuh pun Bu Sum tetap harmonis dan setia kepada suaminya. Sebagaimana ungkapan atau kiasan, “Istri adalah tulang rusak suami. Seia sekata seiring sejalan”. Itulah ungkapan yang tepat untuk Bu Sum dan Pak Hasan.
Bu Sum adalah seorang perempuan yang mengabdikan dirinya kepada negara dan keluarganya. Kerja kerasnya membuat Bu Sum beberapa kali mendapatkan penghargaan dari Ditjen Pemasyarakatan atas prestasi dan kerja kerasnya. Bu Sum seorang wanita yang kuat, sosok yang ramah dan tegar, wanita perkasa seperti perkasanya Garuda.
Namun saat ini Bu Sum harus ikhlas kehilangan sang pujangga cintanya, Pak Hasan. Tanggal 17 Agustus bagi Bu Sum dan Pak Hasan merupakan momen penting, karena pada saat itulah mereka pertama kali bertemu, pada saat lomba karnaval 19 tahun yang lalu, dan pada saat itulah Pak Hasan selalu menyebut Bu Sum dengan sebutan “Tulang Rusuk Garuda” sampai mereka menikah dan mempunyai seorang anak laki-laki bernama Haris. Bahkan sampai akhir hayatnya Pak Hasan, sebutan itu melekat di hati sanubari Bu Sum.
Sesampainya di rumah, Bu Sum mendapati suaminya sudah terbujur kaku dengan ditutupi kain. Sementara Pak RT dan warga yang lain tengah mempersiapkan segala sesuatu untuk pemakaman Pak Hasan esok hari. Sekuat dan setegar apapun Bu Sum tetaplah seorang wanita biasa, seorang istri yang ditinggal suami untuk selamanya. Maka jatuhlah air mata seorang wanita tangguh sambil memeluk jasad suaminya.
“Kemana Haris anakku?”, suara Bu Sum mengejutkan semua orang yang tengah membacakan doa untuk Pak Hasan.
“Kemana Haris anakku?”, suara Bu Sum sampai terdengar tiga kali.
“Belum pulang Bu”, kata salah seorang warga yang ada di rumah Bu Sum.
Mendengar jawaban itu, Bu Sum bangkit dan mengambil handphone kemudian menghubungi anaknya, Haris.
Tidak berapa lama setelah Bu Sum menghubungi anaknya, Haris-pun pulang dengan perasaan bersalah kepada ayah dan ibunya. Haris menangis sambil memeluk jasad ayahnya.
“Maafkah Haris Pak”, kalimat itulah yang terdengar berulang-ulang dari mulutnya Haris dengan suara yang keras. Kepergian Pak Hasan meninggalkan duka yang mendalam bagi Bu Sum dan Haris beserta warga di lingkungan rumahnya. Warga setempat mengenal Pak Hasan adalah sosok yang ramah dan humoris, pandai merangkai kata bak seorang pujangga dan itulah yang membuat Bu Sum jatuh hati pada pandangan pertama.
Tiga hari setelah meninggalnya Pak Hasan, Bu Sum dikejutkan oleh dua orang tamu berbaju serba hitam. Dua tamu ini adalah dua orang laki-laki bersepatu pantofel, mengenakan jaket warna coklat tua. Salah satu dari mereka Bu Sum mengenalnya. Namanya Pak Hariyanto, beliau seorang anggota Kepolisian Sektor (Polsek) dilingkungan tempat tinggal Bu Sum.
“Selamat malam Bu Sum”, itulah kalimat yang diucapkan Pak Hariyanto.
“Selamat malam juga Pak”, jawab Bu Sum.
“Mohon maaf Bu, kami dari kepolisian mencari anak ibu. Haris dia termasuk Daftar Pencarian Orang (DPO) sebagai pengedar dan pemakai narkotika. Teman-temannya sudah kami tangkap dan kami tahan sehari yang lalu, dan kami akan membawa anak ibu untuk diadili sesuai Undang-Undang dan hukum yang berlaku dinegara ini”, itulah kalimat panjang yang diucapkan temannya Pak Hariyanto.
Mendengar ucapan itu Bu Sum kaget bukan kepalang. Seperti mendengar petir menyambar tulang rusuknya, detak jantungnya seakan berhenti, dan tak bisa berkata apa-apa selain air matanya yang mulai mengalir dipipinya. Air mata seorang ibu pada naknya kini Bu Sum bukanlah sebagai tulang rusuk garuda yang tangguh melainkan seorang ibu yang tercabik-cabik hatinya oleh seorang putra kesayangannya.
Seribu pemikiran berkecamuk diotaknya Bu Sum. Apakah ia akan menyelamatkan putra semata wayangnya, dan berhenti menjadi abdi negara, ataukah tetap membiarkan putranya ditangkap untuk ditahan dan diadili sesuai undang-undang dan hukum yang berlaku di negara ini.
Kebimbangan menyelimuti pemikiran Bu Sum. Namun Bu Sum ingat pesan almarhum suaminya, Pak Hasan,”Berlaku adilah disaat kamu ragu dan disaat kamu mampu.” Jiwa Bu Sum kembali kuat, semangat pengabdian kepada bangsa dan negara seolah bangkit kembali. Keadilan dan kebenaran tetap harus ditegakan dinegeri tanah air tercinta ini, akhirnya Bu Sum menyerahkan putranya kepada dua orang polisi tersebut untuk diadili sesuai undang-undang dan hukum yang berlaku. Semakin kuat tekad dan keyakinan Bu Sum untuk mengabdikan dirinya pada bangsa dan negara.
“Berlaku adil di saat kita ragu untuk memutuskan sesuatu, dan berlaku bijaklah pada saat kita mampu melakukannya, dimana pilihannya benar atau salah”. Itulah pesan morah yang terkandung dalam cerpen ini. Semoga dapat memberi inspirasi bagi kita semua. Amin.
Penulis: Anim Ali Sanjaya (Lapas Cibinong)
Juara II Lomba Cerpen Piala Menteri Hukum dan HAM RI dalam rangka HUT Ke-75 RI (Kategori Narapidana)
What's Your Reaction?






