JAKARTA,INFO_PAS - Meski telah bebas, tak jarang warga binaan dikucilkan oleh masyarakat. Kasus kejahatan yang menyebabkan mereka harus dijebloskan ke dalam penjara dianggap menimbulkan citra negatif yang melekat.
Padahal, banyak nilai positif yang dimiliki warga binaan itu, namun jarang terpublikasi. Salah satunya di bidang seni. Hal itu diungkap istri mantan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, Evy Amir Syamsuddin saat peluncuran buku karyanya berjudul Voicing The Voiceless di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, Rabu (6/5/2015).
Buku tersebut menceritakan sisi lain kehidupan warga binaan di dalam penjara. "Di balik sisi kelam, mereka memiliki sisi kehidupan lain yang positif. Inilah yang ingin kita dorong," kata Evy.
Dalam peluncuran buku itu hadir mantan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Handoyo Sudrajat, plt Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham Ma'mun, dan mantan warga binaan kasus narkoba asal Yogyakarta, Angki.
Evy bercerita, bukunya tersebut tercipta atas inspirasi dari sejumlah warga binaan yang ia temui saat mendampingi Amir kala meninjau sejumlah lapas di Tanah Air. Tak hanya napi kasus narkoba, inspirasi itu juga ia peroleh ketika mengunjungi lapas umum atau lapas khusus perempuan dan anak.
"Setelah saya melihat secara langsung bagaimana petugas lapas berupaya meningkatkan kreativitas mereka, saya pun tertantang untuk terlibat langsung," ujarnya.
Kreativitas lapas mendunia
Menjadi warga binaan merupakan hal yang berat bagi Angki. Pria yang kini berprofesi sebagai seniman itu ditangkap petugas pada 12 Desember 2012 lalu lantaran kedapatan mengisap ganja.
"Saat saya masuk, penyesuaian berat terutama di keluarga. Tapi saya menemui kebenaran ketika berada di dalam lapas. Saya menemukan arti kesempurnaan ada di depan saya," tuturnya.
Angki adalah lulusan Lapas Narkotika Kelas II A Yogyakarta. Kurang lebih satu tahun dirinya mendekam di tempat itu untuk menjalani proses rehabilitasi. Ketika menjadi warga binaan, dirinya diberi kesempatan dan kepercayaan untuk membangun pusat kreativitas bersama warga binaan lainnya.
Semula, jumlah warga binaan yang bergabung bersamanya hanya tiga orang. Seiring berjalannya waktu, ketika sejumlah diskusi dan kegiatan digelar, jumlah pengikut Angki bertambah menjadi 30 orang hingga ia keluar penjara.
"Di dalam (penjara) saya punya studio, punya kantor kecil. Saya rasakan kedisiplininan sangat penting soal waktu. Saya benar-benar merasakan bekerja ala orang kantoran yang masuk jam 08.00 pagi," ujarnya.
Setelah program berjalan dan berbagai karya seni diciptakan, ia mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan salah seorang seniman asal Jepang. Seniman itu kagum dengan kegigihan dan hasil karyanya. Sehingga, ia berjanji akan membawa Angki dan kawan-kawannya ke Jepang untuk memamerkan hasil karyanya di salah satu pusat seni di negeri asal Sumo itu berasal.
"Alhamdullilah, hasil karya kami benar-benar dihargai. Sekarang kami yang telah lulus menjadi volunteer untuk mengembangkan Yayasan Second chance yang bertugas untuk mengembangkan potensi warga binaan," ujar dia.
Kurang dihargai
Amir Syamsuddin menyadari bahwa menjadi warga binaan bukanlah hal yang mudah. Terlebih perhatian pemerintah yang minim pada sektor pembinaan. Padahal, menurut dia, dengan pembinaan yang baik warga binaan dapat menghasilkan nilai-nilai positif.
"Saya ambil contoh di Singapura, di bandara di sana itu ada salah satu sudutnya yang memasarkan hasil kreativitas warga binaan. Nah di sini belum ada," ujarnya.
Ketua Dewan Kehormatan DPP Partai Demokrat itu berharap, agar ke depan pemerintah dapat meningkatkan perhatiannya kepada warga binaan. Hal tersebut diperlukan untuk mengembalikan nilai-nilai pemasyarakatan yang ada selama ini.
sumber : Kompas.com