Asimilasi Tanpa Residivisme

Berbicara tentang kebijakan pembebasan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) melalui program Asimilasi dan Hak Integrasi, tentu tidak terlepas dari situasi mewabahnya pandemi Coronavirus disease (COVID-19) yang melanda seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia.
Presiden RI Joko Widodo mengumumkan kasus pertama positif COVID-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020 yang ditularkan melalui transmisi dari manusia ke manusia. Pemerintah selanjutnya menetapkan status darurat dan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai tindak lanjut pencegahan dan penanggulangan akan potensi timbulnya penularan dan penyebaran COVID-19 secara masif, tidak terkecuali didalam lapas/rutan. Realitanya, hampir semua lapas/rutan di seluruh Indonesia mengalami kondisi overcrowded dan rentan akan penularan wabah secara besar-besaran yang mungkin terjadi kapan saja.
Menjawab tantangan tersebut, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menkumham RI) Yasonna H. Laoly langsung mengambil langkah cepat dan terukur dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Hak Integrasi Dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19, meskipun akhirnya banyak menuai kontroversi, polemik, dan kritikan pedas dari berbagai kalangan yang merasa skeptis.
Kebijakan tersebut dianggap akan memunculkan banyak masalah hingga timbul kekhawatiran bahwa narapidana yang dikeluarkan akan berulah kembali serta menimbulkan keresahan, ketidakstabilan keamanan dan ketertiban ditengah masyarakat. Namun demikian dengan semangat dan dedikasi penuh yang telah ditunjukkan oleh jajaran Pemasyarakatan, terutama bagi petugas Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dan Asisten Pembimbing Kemasyarakatan (APK) Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang bekerja keras, kekhawatiran tersebut dapat terbantahkan.
Tidak dipungkiri masih ada segelintir narapidana atau biasa disebut Klien Pemasyarakatan di Bapas yang kembali melakukan pelanggaran. Presentase Klien yang melanggar pun dapat dikatakan kecil jika dibandingkan dengan jumlah keseluruhan narapidana dan Anak yang dikeluarkan. Hal ini dibuktikan dari Sistem Database Pemasyarakatan serta data aplikasi Sistem Informasi Pencabutan Online Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, per tanggal 19 November 2020 hanya terdapat 409 pelanggaran dari 59.000 lebih narapidana dan Anak yang menerima Asimilasi dan Hak Integrasi.
Lebih dari itu, kebijakan ini terbukti mampu mencegah angka penularan dan penyebaran wabah COVID-19 di lapas/rutan, serta menekan beban berat penggunaan anggaran negara yang sangat besar dikeluarkan hanya untuk menjamin penyediaan bahan makanan bagi narapidana. Sayangnya program ini akan segera berakhir pada tanggal 31 Desember 2020.
MENCEGAH LAHIRNYA RESIDIVISME
Melihat indikator keberhasilan atas kebijakan Menkumham ini, maka timbul pertanyaan “Di Era New Nomal saat ini, perlukah kebijakan Asimilasi dan Hak Integrasi bagi narapidana dan Anak diperpanjang?”. Bila masih diperlukan bagaimana strategi penguatan dan pencegahan pengulangan tindak pidananya? Tujuannya tentu agar jumlah status pelanggaran bisa diminimalisir bahkan bila dimungkinkan berubah menjadi "Zero Violation".
Hal ini mungkin akan sulit terwujud sepenuhnya mengingat adanya beberapa hambatan seperto minimnya anggaran, terbatasnya jumlah PK dan APK dibandingkan dengan jumlah Klien, adanya pembatasan selama pandemi COVID-19 yang juga membatasi pembimbingan dan pengawasan secara daring. Melaksanakan pembimbingan dan pengawasan secara daringpun menjadi persoalan baru, di mana terkadang nomor telepon yang diberikan oleh Klien tidak sesuai, sulitnya jaringan seluler di beberapa wilayah pelosok, dan bahkan ada wilayah yang belum terjangkau jaringan.
Namun demikian ungkapan "sulit terwujud" seharusnya dapat kita buang jauh-jauh dan teratasi apabila telah dilakukan evaluasi, pemetaan masalah, dan perbaikan regulasi serta sistem pelaksanaannya. Mengatasi hambatan tersebut berikut beberapa instrumen strategi penguatan dan pencegahan yang memungkinkan, untuk dapat dilaksanakan oleh PK Bapas dalam upaya meningkatkan efektifitas dan efisiensi pembimbingan dan pengawasan terhadap Klien di tengah pandemi COVID-19, antara lain:
- Jika pada kebijakan sebelumnya data-data premier terpidana Asimilasi dan Integrasi yang dikeluarkan melalui program ini hanya bersumber dari informasi dan dokumen yang ada di lapas/rutan, maka untuk program selanjutnya pengeluaran narapidana perlu didahului dengan Penelitian Kemasyarakatan dan Asesmen Awal oleh PK/APK, guna menggali lebih dalam rekam jejak dan informasi penting yang berkaitan dengan Klien;
- Bapas melalui PK/APK sebagai Leading Sector dan pelaksana lapangan atas kebijakan program ini harus memaksimalkan sinergi terpadu dengan elemen eksternal, seperti Kepolisian, Kejaksaan, TNI, dan pamong setempat hingga tingkat terbawah mulai dari RT, RW, Kepala Desa, Lurah, Babinkamtib Polri, dan Babinsa TNI, serta keterlibatan tim Satgas COVID-19;
- Memaksimalkan teknologi informasi dengan membuat aplikasi Layanan Aduan dan Sistem Pengawasan Terpadu Jarak Jauh;
- Memaksimalkan bimbingan bidang kepribadian, bidang kemandirian, bidang kesadaran hukum dan kemasyarakatan melalui pemberdayaan 180 Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan (POKMAS LIPAS) yang diampu oleh 90 Bapas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Senada dengan instrumen di atas, Kriminolog Universitas Indonesia dan Komisioner Ombudsman RI, Adrianus Meliala menyampaikan kajian dan penelitiannya, bahwa terdatap enam strategi alternatif pencegahan perilaku mengulang kejahatan oleh Klien, yakni sebagai berikut:
- Melakukan sociological profiling terhadap Klien sebelum benar-benar kembali ke masyarakat melalui program Asimilasi dan/atau Integrasi, serta dilanjutkan dengan netralisasi terhadap elemen-elemen kriminogenik yang terlihat (PK/APK tidak boleh terdadak dan buta perihal siapa yang akan menjadi Klien-nya. Perlu didahului dengan melakukan pemetaan perihal riwayat hidup, kegemaran, lingkaran pertemanan dan pergaulan, dan sebagainya. Jika terdapat indikasi profil yang negatif, diusahakan segera ditanggulangi);
- Melakukan sosialisasi dan upaya mengingatkan secara intensif terhadap keluarga inti (nuclear family member) perihal status Asimilasi dan/atau Integrasi dari anak atau suami mereka dan implikasi jika melakukan pelanggaran. Keluarga inti adalah orang yang paling berpengaruh (significant others) bagi Klien. Wejangan atau permintaan orang tua, pasangan atau anak kemungkinan besar akan didengarkan (baca: dituruti) oleh Klien Pemasyarakatan;
- Menginformasikan sekaligus meminta dukungan stakeholder (kepolisian, TNI, kelurahan) setempat agar memantau, mengingatkan, dan menutup kesempatan bagi Klien untuk terlibat tindak pidana (Kegiatan Asimilasi dan Integrasi Klien bukan urusan Bapas saja, pada hakekatnya berbagai pihak perlu terlibat dan dilibatkan dalam pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku dan aktivitas Klien mengingat potensi efek gangguan kamtibmas yang bisa muncul);
- Menyosialisasikan dan memberikan penekanan perihal biaya kejahatan (cost of crime) dan biaya penghukuman (cost of punishment) yang harus ditanggung oleh Klien apabila kembali terlibat tindak pidana selama masa Asimilasi dan Integrasi (Jika para Klien Pemasyarakatan diberi wejangan, maka kemungkinan akan terjadi “masuk telinga kiri keluar telinga kanan”. Wejangan moralitas mungkin juga sudah membosankan. Lain halnya jika kepada yang bersangkutan diberi informasi hitung-hitungan perihal “biaya” yang akan dipikul jika kembali melakukan atau terlibat tindak pidana);
- PK dan APK harus memiliki sebanyak dan seintens mungkin akses komunikasi terhadap Klien. Melalui akses komunikasi yang beragam dan intens, maka gerak-gerik Klien dapat selalu terpantau. Hal itu harus diupayakan sejak awal dan jika pada suatu ketika Klien berpikir untuk melakukan tindak pidana tertentu, maka sapaan atau peringatan dari PK/APK dapat menjadi mekanisme desister atau penghentian perilaku jahat.
- Selama anggaran memungkinkan, perlu melakukan pengadaan peralatan elektronik yang dapat memantau gerak-gerik Klien selama masa Asimilasi dan Integrasi (Penggunaan electronic tagging yang dikenakan secara permanen di tangan dan kaki, dimana akan berbunyi jika Klien keluar dari perimeter yang ditetapkan, masih populer dipergunakan. Bisa juga dilakukan pengadaan kalung dan pin yang memancarkan sinyal bagi GPS (global positioning system) sehingga mampu memonitor dimanapun klien berada).
Babak baru program Asimilasi dan Integrasi di tahun 2021 diharapkan dapat dibangun dengan strategi penguatan dan pencegahan atas pengulangan tindak pidana, dalam rangka pembimbingan dan pengawasan terhadap Klien. Untuk itu kita tunggu saja, semoga babak baru program Asimilasi dan Integrasi di tahun 2021 dapat membuahkan hasil terbaik dan bermanfaat bagi semua pihak, baik Klien, keluarga, masyarakat, dan seluruh elemen bangsa.
Penulis: Sufriadi (PK Bapas Baubau)
What's Your Reaction?






