Atasi Overcrowded, Ditjenpas Siapkan Restorative Justice Bagi Pelaku Tindak Pidana Dewasa

Atasi Overcrowded, Ditjenpas Siapkan Restorative Justice Bagi Pelaku Tindak Pidana Dewasa

Jakarta, INFO_PAS – Kondisi kelebihan penghuni (overcrowded) di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) di Indonesia semakin memprihatinkan. Guna menanggulangi hal ini, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) mengupayakan langkah konkret penerapan keadilan restoratif (restorative justice) bagi pelaku tindak pidana dewasa. Pasalnya, pendekatan restorative justice ini terbukti telah berhasil mengatasi permasalahan overcrowded di beberapa negara, salah satunya Belanda.

Komitmen ini ditunjukkan melalui penyelenggaraan kegiatan “Peningkatan Kapasitas Petugas Pemasyarakatan dalam Pelaksanaan Alternatif Pemidanaan bagi Pelaku Dewasa”, pada 19-21 Maret 2021. Kegiatan yang berlangsung di Hotel Mercure Jakarta Batavia ini diikuti oleh 51 petugas Pemasyarakatan dari beberapa Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan.

Dalam penyelenggaraan kegiatan ini, Ditjenpas bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Reclassering Nederland, Mahkamah Agung RI, Bareskrim Polri, Center for International Legal Cooperation (CILC), dan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), serta UPT Pemasyarakatan se-Indonesia.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjenpas), Reynhard Silitonga mengatakan, penerapan restorative justice bukanlah hal baru bagi Indonesia. Sebelumnya, Indonesia telah mencatatkan kesuksesan penerapan restorative justice bagi pelaku tindak pidana anak melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. “Kesuksesan penerapan restorative justice pada anak ini juga dapat kita terapkan pada pelaku dewasa dengan meningkatkan peran serta dan pemberdayaan Kelompok Masyarakat Peduli Pemasyarakatan atau Pokmas Lipas,” tutur Reynhard.

Untuk itu menurut Reynhard, di 2021 ini Ditjenpas melalui Direktorat Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak meluncurkan pilot program penerapan restorative justice bagi pelaku dewasa di enam kota, yaitu Jakarta Pusat, Serang, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar.

“Kami yakin ini solusi yang tepat karena saat ini hampir seluruh Lapas di Indonesia mengalami overcrowded, 29 dari 33 kantor wilayah juga mengalami overcrowded, bahkan Lapas Bagansiapiapi mengalami overcrowded hingga 900%,” bebernya.

Sementara itu, berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah seperti mempercepat dan mempermudah layanan Asimilasi dan integrasi narapidana hingga melakukan distribusi terhadap lapas dengan kondisi overcrowded lebih dari 300% ke lapas lainnya dinilai belum dapat mengatasi kondisi overcrowded secara keseluruhan.

“Sedangkan jika kita biarkan, overcrowded ini dapat mengakibatkan banyak masalah bagi Pemasyarakatan,” ungkapnya.

Permasalahan tersebut, menurut Reynhard antara lain tingginya kebutuhan anggaran untuk belanja bahan makanan narapidana dan pembangunan Lapas-lapas baru, ancaman gangguan keamanan dan ketertiban seperti pelarian, kerusuhan, narkoba, hingga pungutan liat akibat sulitnya pengawasan, serta sulitnya pemenuhan layanan kesehatan dan optimalisasi pelaksanaan pembinaan kepbribadian dan kemandirian. Tak kalah penting, meningkatnya risiko residivisme.

Sementara Direktur Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Liberti Sitinjak mengatakan, pendekatan retributif maupun restitutif yang selama ini digunakan tidak terbukti efektif dalam memperbaiki pelaku pelanggar hukum. “Pendekatan tersebut juga tidak mampu menjawab rasa keadilan serta tidak mampu memperbaiki hubungan yang disharmonis antara pelaku, korban, maupun masyarakat akibat terjadinya suatu perbuatan pidana,” tandasnya. (afn/prv)

What's Your Reaction?

like
0
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0