Hak Keperdataan Narapidana dalam Perkara Perdata Hukum Keluarga
Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) ataupun Rumah Tahanan Negara (Rutan) mempunyai keterbatasan dalam melakukan atau bertindak karena secara konstitusi mereka hilang kemerdekaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3 huruf g Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan bahwa Sistem Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas kehilangan kemerdekaan sebagai satu-satunya penderitaan. Di sini perlu digarisbawahi bahwa walaupun kehilangan kemerdekaan secara fisik, namun secara psikis negara tidak boleh membuat membuat kondisi orang yang dilayani atau dibina menjadi lebih buruk daripada sebelum mereka dirampas kemerdekaannya.
Dalam kondisi hilang kemerdekaan tersebut diisi dengan upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas mereka selaku anggota masyarakat. Artinya, hilang kemerdekaan bukan berarti kehilangan hak-haknya yang semestinya harus diperoleh selama menjalani masa hukuman.
Narapidana diberikan haknya dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 untuk:
- Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaannya;
- Mendapatkan perawatan, baik jasmani maupun rohani;
- Mendapatkan pendidikan, pengajaran, dan kegiatan rekreasional serta kesempatan mengembangkan potensi;
- Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak sesuai kebutuhan gizi;
- Mendapatkan layanan informasi;
- Mendapatkan penyuluhan hukum dan bantuan hukum;
- Menyampaikan pengaduan dan/atau keluhan;
- Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang tidak dilarang;
- Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dilindungi dari tindakan penyiksaan, eksploitasi, pembiaran, kekerasan, dan segala tindakan yang membahayakan fisik dan mental;
- Mendapatkan jaminan keselamatan kerja, upah, atau premi hasil bekerja;
- Mendapatkan pelayanan sosial; dan
- Menerima atau menolak kunjungan dari keluarga, advokat, pendamping, dan masyarakat.
Hak-hak di atas dijamin oleh negara tidak boleh direduksi sedikitpun, begitupun terkait hak keperdataannya. Akan tetapi, karena kondisi narapidana yang mempunyai keterbatasan karena harus berada di Lapas/Rutan, terlihat beberapa perkara hukum keluarga, yaitu perceraian yang mendalilkan bahwa narapidana (termohon atau tergugat) berada di Lapas/Rutan, Majelis Hakim cenderung memutus secara verstek tanpa kehadiran narapidana. Ketiadaan aksesibilitas narapidana di Lapas/Rutan membuat kesukaran memperjuangkan haknya di persidangan sehingga narapidana hanya menunggu putusan pengadilan dari Lapas/Rutan tanpa dapat membela haknya kecuali dapat menunjuk kuasa hukum.
Perkawinan dan Perceraian
Perkawinan merupakan ikatan yang suci. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi yang beragama Islam, diatur khusus dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 yang berbunyi bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Namun dalam menjalani kehidupan berumah tangga, kerap kali ditemui terjadinya perselisihan atau pertengkaran yang berujung pada perceraian. Bahkan, salah satu pihak (biasanya suami) mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Alasan demikian menjadi sebab diajukannya gugatan (vide: Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Mengacu kepada Yurisprudensi: 534 K/Pdt/1996 bahwa dalam hal perceraian tidak perlu dilihat dari siapa siapa penyebab percekcokan atau karena salah satu pihak telah meninggalkan pihak yang lain, tetapi yang perlu dilihat adalah perkawinan itu sendiri. Apakah perkawinan itu masih dapat dipertahankan atau tidak karena jika hati ke dua pihak sudah pecah, perkawinan itu sendiri sudah peca. Maka, tidak mungkin dapat dipersatukan lagi. Meskipun salah satu pihak menginginkan perkawinan supaya tetap utuh, apabila perkawinan itu dipertahankan, maka pihak yang menginginkan perkawinan itu pecah tetap akan berbuat yang tidak baik agar perkawinan itu tetap pecah.
Akibatnya, perceraian tidak dapat dihindari walaupun dalam praktik pengadilan hakim harus memutus secara verstek (tidak dihadiri tergugat/narapidana). Di sisi lain, semua jenis sengketa perdata wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui mediasi sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Mediasi wajib dihadiri oleh para pihak yang bersengketa secara langsung ataupun melalui komunikasi audio visual jarak jauh dengan atau tanpa dihadiri oleh kuasa hukum. (vide: Pasal 6 ayat (1) dan (2) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016).
Tampaknya terlihat persoalan dilematis terjadi. Ketidakhadiran para pihak (suami/narapidana) yang berada di Lapas/Rutan tidak menjadi alasan sah untuk tidak menghadiri proses mediasi di pengadilan. Pasal 6 ayat (3) dan (4) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 mendeskripsikan ketidakhadiran para pihak secara langsung dalam proses mediasi hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan sah, antara lain:
- Kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan hadir dalam pertemuan mediasi berdasarkan surat keterangan dokter;
- Di bawah pengampuan;
- Mempunyai tempat tinggal, kediaman, atau kedudukan di luar negeri; atau
- Menjalankan tugas negara, tuntutan profesi, atau pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan.
Dinamika persoalan di atas membuat narapidana tidak bisa mendapatkan akses keadilan untuk memperjuangkan hak keperdataannya menghadap dan menghadiri langsung sidang perceraian di pengadilan atau melalui komunikasi audio visual dari di Lapas/Rutan. Padahal, kehadiran para pihak dalam proses mediasi memberikan pengaruh yang besar terhadap prospek keberhasilan mediasi dan berimplikasi terhadap kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of child), seperti kewajiban nafkah anak dan hak asuh anak (hadhanah).
Jadi, perlu adanya payung hukum agar tidak terjadinya vacum of law (kekosongan hukum) pada aspek hak keperdataan narapidana semata-mata agar kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum tercapai dalam konteks penegakan hukum perdata. Selain itu, perlu kerja sama lintas instansi untuk merumuskan aturan hukum yang lebih rinci, detail, dan merepresentasikan hak keperdataan narapidana.
Penulis: Insanul Hakim Ifra (Rutan Kelas I Depok)