“Joker” Pergeseran Paradigma dan Penelitian Kemasyarakatan

“Joker” Pergeseran Paradigma dan Penelitian Kemasyarakatan

Jagat perfilman 2019 kembali menyuguhkan sajian yang begitu menggugah. Todd Phillips, seorang sutradara yang sukses melalui karya series The Hangover kini kembali menyentak lewat karyanya bertajuk Joker. Film yang berlatar pada tahun 1981 ini menceritakan kisah hidup Arthur Fleck, seorang stand up comedian yang karirnya tidak begitu cemerlang. Bahkan, kerap mendapatkan hinaan hingga mengidap depresi.

Depresi yang dialami oleh aktor utama membentuk karakternya menjadi seorang psikopat. Atas segala kemarahan terhadap kehidupan, ia kemudian meleburkan identitasnya menjadi seorang penjahat berkostum badut (Joker).

Karakter psikopat dalam film ini terbilang sempurna. Sosok Joker yang populer sejak debutnya dalam komik Batman pada 25 April 1940 bukanlah seteru yang memiliki kekuatan super sebagaimana karakter antagonis dalam serial superhero lainnya. Namun, ia memiliki keahlian khusus karena wawasannya yang begitu luas dan nalarnya yang begitu cemerlang. Hal ini identik dengan ciri pengidap psikopat sebagai karakter antisosial dengan IQ yang relatih jauh di atas rata-rata.

 

Pergeseran Paradigma

Melalui karyanya, Todd Phillips terbilang mampu menghipnotis khalayak agar lebih bijak dalam meletakkan stigma terhadap sosok Joker sebagai seorang penjahat. Dalam serial Batman, stigma yang terbangun terhadap sosok Joker hanyalah sebagai penjahat dengan karakter begitu sadis. Namun, lain kisah pada karya ini, Todd Phillips cenderung mengulas terkait asal-usul sikap jahat yang terasosiasi pada diri seorang Arthur Fleck.

Mengurai alur kausalitas terhadap suatu objek mendorong masyarakat lebih arif dalam membangun perspektif terhadap kejahatan. Paradigma kejahatan bukan sebagai sifat bawaan adalah asumsi yang dicetuskan oleh para tokoh kriminolog kontemporer. Dalam karyanya yang berjudul Principles of Criminology (1934), Edwin Hardin Sutherland mengungkapkan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku bukanlah hal yang diturunkan atau diwariskan secara genetis melainkan hasil dari pembelajaran sosial yang didapatkan dari proses interaksi yang terjadi di lingkungannya.

John Bowlby sebagai penggagas Attachment Theory menyingkap sebab utama dari melekatnya tabiat psikopat pada diri individu ialah kegagalan dalam membangun kelekatan yang stabil dengan orangtua dan lingkungan sekitarnya. Kelekatan terbentuk ketika seorang individu menunjukkan kebutuhan-kebutuhan dan bagaimana orangtua atau lingkungan sekitarnya merespon kebutuhan-kebutuhan tersebut (Sroufe, 2005). Hasil interaksi tersebut bermuara ke arah dua klasifikasi, yakni kelekatan aman atau kelekatan tidak aman.

Dalam beberapa fragmen Joker, terlihat Arthur Fleck sering mendapat respon negatif dari lingkungan sekitarnya. Semisal, adegan Arthur saat menjadi badut promosi sebuah supermarket. Ia mendapat gangguan sekelompok pemuda yang mengambil paksa papan promosinya, membawa kabur, lalu babak belur karena dikeroyok di sebuah gang kota. Fenomena seperti ini cenderung memproduksi kelekatan tidak aman pada psikis seseorang.

Bowlby menguaraikan deprivasi kasih sayang yang dialami pada diri seseorang ialah replika dari sebuah kelekatan tidak aman. Hal ini membentuk individu menjadi karakter yang dingin, tidak berempati, dan cenderung menjadi pribadi yang delinkuen karena terbangun paradigma bahwa dunia bukanlah tempat yang aman baginya.

 

Penelitian Kemasyarakatan

Pada dimensi kehidupan bernegara, narasi Joker mengilhami masyarakat agar lebih bijak menyikapi narapidana sebagai pelaku kejahatan. Dalam salah satu sekuel Batman, Joker menyampaikan “Tapi ingat! Orang jahat berawal dari orang baik yang disepelekan." Hal ini senada dengan ungkapan Bahroeddin Soerjobroto (1964) sebagai tokoh awal yang menjabarkan konsep Pemasyarakatan “Setiap narapidana adalah makhluk tuhan yang dikaruniai itikad baik, namun atas kegagalannya beradaptasi dengan kehidupan masyarakat sehingga ia mengingkari norma kehidupan yang telah ditetapkan.

Untaian pernyataan ini bermakna kejahatan bukanlah perkara sederhana. Ia adalah kulminasi dari pelbagai aspek, psikologi, sosiologi, maupun faktor ekonomi. Diskursus ini mendorong Pemasyarakatan untuk melakukan terobosan demi terobosan dalam menemukan pola pemulihan yang tepat bagi para narapidana. Salah satunya melalui penguatan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) sebagai referensi dalam menentukan pola pembinaan terhadap narapidana.

Litmas ialah kegiatan pengumpulan data, pengolahan, dan analisis faktor-faktor kejahatan terhadap narapidana yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan (PK). Format penelitian ini terdiri dari identitas, riwayat pendidikan, riwayat kesehatan, kondisi psiko-sosial, serta hasil analisa dan rekomendasi pembinaan terhadap narapidana. Namun, sebelum beranjak ke tahapan pembuatan Litmas, PK terlebih dahulu melaksanakan asesmen terhadap narapidana dengan menggunakan instrumen yang telah ditetapkan. Alur ini agar terwujud pola penanganan berbasis individual treatment (pendekatan individual) sehingga kita tidak begitu piawai menghakimi tabiat penjahat sebagaimana menukil Joker pada serial Batman.

Dari kisah Joker, kita belajar bahwa penjahat ialah korban dari sebuah sistem sosial. Olehnya, di balik kejahatan seseorang boleh jadi ada kontribusi kita di dalamnya. Terkadang kita begitu remeh mengucilkan kerabat, sanak saudara, atau pun masyarakat awam yang ada di sekitar kita. Padahal tindakan tersebut cenderung melekat pada jiwa seseorang. Begitu pula terhadap para mantan narapidana. Diskriminasi dan stigmatisasi terhadap mereka adalah sikap yang mereduksi upaya pemulihan yang sedang ia jalani. Semoga kita menjadi pribadi yang lebih arif dalam menghakimi.

 

 

Penulis: Moch. Fauzan Zarkasi (PK Bapas Makassar)

What's Your Reaction?

like
10
dislike
1
love
4
funny
1
angry
0
sad
0
wow
3