Kompetensi Antarbudaya bagi Pembimbing Kemasyarakatan
Kompetensi Antarbudaya bagi Pembimbing Kemasyarakatan
Konsep pemasyarakat secara fundamental mengubah cara pandang negara kepada tahanan dan narapidana dari pendekatan penghukuman (punitive) dengan maksud memberi efek jera (deterrence effect) menjadi pendekatan rehabilitasi untuk tujuan reintegrasi sosial. Jika dalam pendekatan punitif seorang terhukum akan menghadapi berbagai bentuk kesulitan fisik dan mental agar tak mengulangi kejahatannya, maka dalam pendekatan rehabilitasi dan reintegrasi, tujuan utamanya adalah untuk mengubah perilaku dan mempersiapkan narapidana kembali ke masyarakat.
Adalah Sahardjo, Menteri Kehakiman era Soekarno yang pertama kali menggagas konsep pemasyarakatan ini. Menurutnya, “para terpidana adalah orang-orang yang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. yang dalam keberadaannya perlu mendapat pembinaan, tobat tidak dapat dicapai dengan hukuman dan penyiksaan, tetapi dengan bimbingan agar kelak berbahagia didunia dan akhirat”.
Setelah konsep pemasyarakatan ini diperkenalkan, perlahan-lahan model-model pemenjaraan dengan praktik kekerasan, penyiksaan, dan pengasingan (exclusion) dihentikan. Pendekatan itu diganti dengan model-model pembinaan narapidana dalam bentuk bimbingan/pelatihan kerja, bimbingan kemasyarakatan, pembinaan mental/keagamaan dan pendekatan-pendekatan restoratif. Meskipun belum serta merta menghilangkan praktik-praktik kekerasan maupun malpraktik lain, namun pendekatan rehabilitasi dan reintegrasi ini perlu mendapat perhatian lebih.
Pascapenjara
Dari sekitar 280.000 narapidana yang saat ini tersebar di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) di seluruh Indonesia, sekitar 95% akan kembali ke masyarakat. Sementara 5% sisanya menjalani hukuman seumur hidup di dalam Lapas atau akan dieksekusi mati. Reintegrasi sangat sulit bagi narapidana karena mereka harus menghadapi berbagai persoalan sekaligus. Pertama, karena umumnya tingkat pendidikan mereka rendah dan tak memiliki kemampuan khusus mereka akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Kedua, Sebagian dari mereka juga memiliki masalah-masalah mental dan medis yang serius dan tidak mendapat cukup dukungan sosial dari komunitas. Ketiga, mereka harus menghadapi stigma karena catatan-catatan kejahatannya. Keempat, tidak mudah untuk menyesuaikan diri kembali ke dalam masyarakat terutama bagi mereka yang telah menjalani pidana yang lama. Dunia penjara tentu sangat berbeda dengan masyarakat bebas, lagi pula masyarakat yang ia hadapi saat bebas tentu berbeda dengan masyarakat sebelum WBP dipenjara.
Masalah-masalah di atas menghadirkan tantangan tersendiri bagi para Pembimbing Kemasyarakatan (PK) yang dalam sistem pemasyarakatan berfungsi memberikan layanan bagi proses reintegrasi sosial terutama untuk:
1. Memenuhi kebutuhan legal narapidana, ini berhubungan dengan status transisinya antara narapidana sebagai warga negara yang bebas. Ketika bebas, narapidana biasanya tidak memiliki dokumen-dokumen legal yang jelas tentang status pidananya, kecuali putusan pembebasan dari Lapas. Dokumen-dokumen yang menyangkut identitas dan hak-hak sipilnya seperti Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Surat Domisili, Kartu Jaminan Sosial bisa hilang, tidak berlaku atau sebelumnya memang tidak ia miliki. Padahal dokumen-dokumen ini penting bagi narapidana untuk mengakses layanan-layanan sosial, kesehatan, pendidikan dan skema perlindungan sosial.
2. Kebutuhan pendampingan psikososial, sangat mungkin narapidana mengalami apa yang disebut sebagai post-incarceration syndrome (PICS) atau sindrom pasca-pemenjaraan. PICS biasanya terjadi setelah seseorang keluar dari penjara disebabkan karena lamanya mereka berada dalam situasi penghukuman, sementara sedikit sekali mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan, pelatihan dan program-program rehabilitasi. Semakin lama dipenjara semakin terganggu situasi mentalnya. Bagi terpidana perempuan, situasinya dapat lebih parah karena sangat mungkin mereka menjadi korban dari kekerasan seksual selama pemenjaraan.
3. Pengelolaan terhadap mereka yang akan keluar dari lembaga pemasyarakatan juga lebih kompleks. Supervisinya tidak hanya meliputi pembinaan, baik dalam konteks kepribadian maupun keterampilan, namun lebih luas lagi. PK juga harus berususan dengan isu keamanan, aspek lingkungan sosial dan budaya, interaksi sosial, ketahanan ekonomi, dan pemberdayaan sosial ekonomi.
4. Problem-problem lain yang dihadapi narapidana seperti ketergantungan obat, ketiadaan sokongan keluarga dan teman, motivasi, dan perbedaan rentang usia.
Kompetensi Antar Budaya
Reintegrasi sosial didefinisikan sebagai proses transisi dari masa pemenjaraan menuju pengembalian kepada masyarakat, penyusuaian diri pada kehidupan di luar penjara dan memelihara sikap hidup yang bebas dari kejahatan (Laub and Sampson, 2001, 2003). Salah satu konsep penting dalam reintegrasi sosial adalah penghentian (desistance). Jadi reintegrasi sosial berfokus pada mengubah sikap dan gaya hidup mantan narapidana untuk menghentikan tindakan kriminal dan menghindarkan dirinya dari keterlibatan dalam Tindakan atau perilaku criminal (Maruna et al., 2004). Untuk tujuan ini PK perlu memiliki pengetahuan dan kompetensi antar budaya agar ia sukses menjadi fasilitator reintegrasi sosial narapidana. Sayangnya belum ada studi spesifik tentang pentingnya kompetensi antar budaya bagi PK.
Bagi narapidana, transisi dari penjara ke masyarakat bukan persoalan mudah. Selain masalah-masalah di atas, narapidana juga menghadapi gegar budaya karena situasi sosial budaya tempat dimana ia akan dikembalikan pasti berbeda antara sebelum dan setelah pemenjaraan, apalagi jika ia dipenjara dalam waktu yang lama.
Dalam konteks PK, menurut Stier (2004), secara normatif PK harus melihat kliennya (narapidana) secara setara terlepas dari kewarganegaraan, suku, jenis kelamin, ras, agama dan latar belakang sehingga mereka dapat mendapatkan dukungan sosial secara adil. Meski begitu, Stier juga tidak menutup mata bahwa secara sosiologis, keragaman budaya itu juga melekat dan berperan penting dalam cara pandang pekerja sosial -termasuk PK- terhadap klien karena kedua pihak adalah individu-individu yang memiliki karakter sendiri, unik, kontekstual dan dipengaruhi oleh latar budaya. Kompetensi antarbudaya dalam konteks PK dan klien bersifat resiprokal. Jadi PK bukan hanya dituntut untuk menjadi fasilitator yang baik bagi proses reintegrasi tapi kompetensinya itu juga dibutuhkan untuk berhadapan dengan kliennya.
Laird (2008) menawarkan sebuah pendekatan kerja sosial yang “anti-opresi” sebagai panduan bagi peningkatan kompetensi antarbudaya. Laird berargumen bahwa kompetensi ini akan berkembang dari proses eksplorasi diri (PK dan klien) yang terus menerus, melalui pendekatan yang menekankan empati. Pendekatan anti-opresi berarti bahwa seorang PK harus memiliki ketajaman kultural dan menghindarkan diri dari segala jenis diskriminasi yang berdasarkan pada kelas, disability, umur, jenis kelamin, orientasi seksual dan tentu saja ras. Laird (2008:40) menegaskan dalam memberikan layanan sosial, pekerja sosial harus memastikan tidak ada bias dalam perilaku, komunikasi, respon, dan pembelajaran yang dapat menggagalkan tujuan-tujuan pemberian layanan.
Transformasi Pembimbing Kemasyarakatan
Laird (2008; 41) menawarkan sebuah model yang ia sebut sebagai LIVE and LEARN seperti gambar di bawah ini. Menurut Laird, seorang pekerja sosial membutuhkan untuk:
Like, mengembangkan sikap menyukai untuk bekerja dengan orang dari komunitas minoritas. Inquire, berkomitmen untuk mengetahui sejarah, kepercayaan, norma sosial dan struktur keluarga dalam etnik tertentu. Visit, menerima sikap/posisi dengan respek pada pengamat yang memberi masukan ketika bekerja dengan klien. Experience, secara penuh kesadaran membangun interaksi-interaksi dengan orang dari latar belakang budaya yang berbeda dan mengembangkan hubungan setara agar memahami latar belakang budaya kelompok-kelompok tersebut dengan lebih baik.
Selain itu PK menurut model ini perlu memperkuat kompetensi dalam hal Listen, mengamati gaya-pendekatan yang dilakukan oleh orang dari budaya lain untuk mendapatkan pola komunikasi dan interaksi budaya yang tepat. Evaluate, sadar bahwa setiap orang terhubung secara personal dengan budayanya namun harus membuat batasan yang jelas untuk menghindari stereotip. Mengidentifikasi perilaku, kepercayaan dan nilai yang berlaku bagi penerima manfaat. Acknowledge, mengidentifikasi persamaan dan perbedaan sikap, kepercayaan dan nilai diantara anggota keluarga dan potensi konflik lainnya dan menjelaskannya dengan terang bagi pengguna layanan. Recommend, menawarkan kepada klien berbagai jenis intervensi, pendekatan dan berkonsultasi dengan mereka mana yang paling dapat diterima oleh budayanya. Negotiate, secara terbuka berdiskusi pada area-area yang memungkinkan konflik terjadi karena perbedaan dimensi budaya dan bersama bekerja untuk menemukan kompromi yang dapat diterima kedua pihak.
PK secara konstan akan berhadapan dengan WBP yang tengah menjalani situasi transisi yang tidak mudah. Konflik antara PK dan WBP terutama dalam mengelola harapan/ekspektasi WBP dengan kapasitas layanan sosial yang tersedia akan terus terjadi. WBP juga menghadapi ketidakjelasan rencana hidup, sehingga bantuan PK untuk menata Kembali perencanaan hidup WBP sangat diperlukan.
Bagi sebagian WBP menjadi bebas pun bukan hal mudah untuk dilewati. Bayangkan, seorang WBP yang berasal dari tempat yang jauh dari akarnya, berlatar belakang miskin dan menjalani pemidanaan selama berpuluh tahun. Mereka pasti tercerabut dari akar sosialnya termasuk keluarga dan teman.
Pada tahap awal program reintegrasi sosal, PK dapat melaksanakan program yang disebut sebagai Conflict and Life Management Skills. Kedua kompetensi ini penting karena konflik antara PK dan WBP akan terus terjadi selama proses pendampingan. Begitupun konflik antara narapidana dengan komunitasnya berpotensi terjadi karena perbedaan-perbedaan budaya dan situasi budaya ketika sebelum dan setelah narapidana dipenjara. Bagi narapidana perempuan, situasinya akan lebih pelik. Mereka mungkin ditinggalkan suami, anak atau keluarga lainnya karena “hukuman sosial” bagi terpidana perempuan akan lebih berat.
Kesimpulan
Penguatan kompetensi antarbudaya sangat penting diberikan kepada para pekerja sosial terutama mereka yang berhubungan dengan kelompok-kelompok minoritas atau rentan terhadap diskriminasi, stretotip, trauma, stigma dan marginalisasi. PK adalah bagian dari sistem pemasyarakatan yang menjalankan kerja-kerja sosial dalam proses reintegrasi narapidana. Proses reintegrasi sosial adalah transisi dari kehidupan penjara menuju kehidupan masyarakat bebas dengan tujuan agar klien/penerima manfaat terbebas dari perilaku yang memungkinkan melakukan kejahatan kembali. PK dituntut untuk memiliki komptensi antarbudaya dengan kesadaran bahwa narapidana akan menghadapi budaya yang berbeda antara sebelum dan setelah pemenjaraan. PK juga akan menghadapi konflik yang konstan antara dirinya dengan klien dalam menjalankan tugas pembimbingan. Untuk itu PK juga perlu memiliki kompetensi untuk mengelola dan mentransformasi konflik agar layanan-layanan yang diberikan berbasis pada prinsip-prinsip anti-opresi.
Penulis: Bahrul Wijaksana