Konstek Kehumasan Perkuat Strategi Manajemen Media Pemasyarakatan
Jakarta, INFO_PAS – Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Ibnu Chuldun, mengajak seluruh jajaran Pemasyarakatan untuk menyikapi informasi yang beredar di masyarakat, khususnya bagaimana upaya Pemasyarakatan menanggulangi, mencegah, dan meminimalisir Coronavirus disease (COVID-19). Ia mengungkapkan terjadi pergeseran informasi di masyarakat atas kebijakan pemberian asimilasi dan integrasi kepada Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di tengah pandemi COVID-19.
“Pergeseran ini ditangkap media secara negatif, dianggap tidak produktif, dan kontra produktif. Media menganggap asimilasi gagal. Padahal dari 38 ribuan WBP, hanya 0.05 % yg berulah kembali,” tegas Ibnu,
Selain itu, grafiknya terjadi penurunan angka asimilasi berdasarkan data Direktorat Teknologi Informasi dan Kerja Sama serta Direktorat Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi. “Kebijakan ini hanya akan sampai Bulan Oktober, selebihnya sudah program integrasi. Ini yang harus dikuatkan,” tambah Ibnu.
Untuk itulah, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pemasyarakatan menginisiasi Konsultasi Teknis Penguatan Kehumasan yang menitikberatkan pada agenda setting media serta langkah strategi manajemen media dalam melakukan publikasi dan edukasi capaian kinerja Pemasyarakatan, Rabu (22/4). Dipusatkan di Ditjen Pemasyarakatan, kegiatan ini diikuti seluruh Kepala Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan beserta tim hubungan masyarakat (humas) di masing-masing satuan kerja melalui videoconference aplikasi Zoom.
Empat pakar dihadirkan sebagai narasumber, yakni Leopold Sudaryono dari The Asia Foundation dan Australia Indonesia Partnership for Justice, Gatot Goei dari Center for Detention Studies, Septiaji Eko Nugroho dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), serta Damar Juniarto dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet).
Pemasyarakatan dan Strategi Media menjadi bahasan Leopold Sudaryono. Ia memaparkan publikasi yang dilakukan Pemasyarakatan kerap tersapu satu informasi negatif akibat sentimen negatif bahwa pelanggar hukum harus dihukum berat, WBP harus menderita, serta pemahaman yang keliru atas fungsi Pemasyarakatan.
“Ini menjadi tantangan karena kerap ada dilema untuk terbuka dengan kondisi yang ada serta menjaga nama baik kementerian. Akibatnya strategi humas tidak bisa dipahami publik karena ada informasi yang tidak bisa disampaikan. Selain itu, ada kekurangpaduan dalam menghadapi isu Pemasyarakatan. Misal soal overcrowding, harusnya bisa di-tackle bagian lain seperti Ditjen Perundang-undangan dan Ditjen HAM,” terangnya.
Sebenarnya, lanjut Leopold, Pemasyarakatan memiliki kekuatan, seperti sistem informasi nasional dan terpadu, jaringan kontributor humas, jumlah program, serta high profile WBP. “Contoh terakhir penyataan Ahmad Dhani. Ini akan membantu karena mereka mengalami sendiri. Atau Ariel. Infokan kepada masyarakat. Mereka akan lebih didengar. Ini peluang untuk promotif dan responsif terhadap hoax,” tambahnya.
Untuk itu, Leopold meminta dilakukan penguatan analisa tematik, seperti data IT harus dibunyikan dan dianalisa agar dipahami masyarakat, humas harus reaktif dan promotif dengan memilih kata-kata, serta kemas pesan dengan bahasa yang lebih sensitif dan tepat. “Pemasyarakatan jangan hanya reaktif, tapi lakukan counter,” pesannya.
Narasumber kedua, Gatot Goei, memaparkan Komunikasi Pemerintah Pada Instansi Pemasyarakatan. Ia menekankan komunikasi pemerintah penting untuk menyampaikan keberhasilan karena pemerintah kadang pasif dalam merespon berita yang berkembang. “Banyak sekali hal positif, tinggal strategi komunikasinya. Sudah dijelaskan prosentase WBP asimilasi dan integrasi yang melakukan pengulangan kejahatan sangat kecil. Artinya, ada pelurusan pemahaman kepada masyarakat bahwa residivis tidak bisa dihindari,” terangnya.
Gatot menuturkan Pemasyarakatan memiliki banyak isu spesifik untuk dipublikasikan. Misalnya, publik respect terhadap hasil penggeledahan, penangkapan oknum, serta dukungan via poster, media sosial, dan tim pendukung untuk memviralkan capaian kinerja. Selain itu, perlu disiapkan saluran pengaduan via media sosial dan telepon untuk merespon kegelisahan masyarakat, analisa opini, dan pemantauan media.
“Dhani, Ariel, atau John Kei di Lembaga Pemasyarakatan High Risk. Ceritakan narapidana yang telah jalani asimilasi dan integrasi. Manfaatkan resources yang ada,” saran Gatot.
Sementara itu, Septiaji Eko Nugroho dari MAFINDO menyampaikan Mitigasi Hoax Bagi Kehumasan. Dengan penyebaran hoax yang tinggi, ia menyebut setiap lembaga memiliki potensi terpapar hoax. Apalagi psikologi komunikasi di era post-truth seperti sekarang masyarakat cenderung menerima informasi yang mereka percaya. “Banyak orang tidak terlalu suka kebenaran, tapi yang sesuai dengan yang diyakini,” ujarnya.
Perihal the death or expertise, banyak infromasi yang tidak terverifikasi dan melenceng. “Masyarakat cenderung mengikuti influencer atau buzzer yang dianggap disukai, yang populer di media sosial,” tambah Septiaji.
Hoax terhadap institusi menurutnya karena kurangnya kepercayaan masyarakat, stigma negatif, ketertutupan, kurangnya kehadiran di media sosial, kurang responsif, literasi masyarakat yang rendah, serta framing media yang tidak sesuai fakta. “Di sini humas harus berupa melawan hoax dengan memperbanyak narasi positif. Buat audio visual, jejaring media sosial, atau narasi story telling,” pungkas Septiaji.
Pada kesempatan yang sama, Damar Juniarto dari SAFENet memaparkan The Use of Hoax for Cyber Attacks. Menurutnya, hoax memuat problem global dan semua negara kewalahan. “Teknologi ikut berperan terhadap kita menerima hoax. Hoax tidak hanya di media sosial, tapi juga pesan singkat. Ini lebih susah karena beredar di ranah privat. Apalagi hoax kerap memanfaatkan influencer,” sebut Damar.
Deep fake semakin susah dikendalikan karena untuk membuatnya tidak dibutuhkan keahlian khusus, cenderung berpindah ke mobile, serta sudah menjadi jasa dan komersial. (IR)