Melawan Stigma Negatif Klien Pemasyarakatan dengan Citra Diri Positif

Melawan Stigma Negatif Klien Pemasyarakatan dengan Citra Diri Positif

DU, seorang Klien Pemasyarakatan yang baru sepekan menjalani Asimilasi di Rumah, datang ke Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Tangerang untuk menjalankan lapor rutin perdana. DU datang dengan wajah sedih dan bingung, bercerita bahwa selama di rumah ia mengalami diskriminasi oleh keluarga besarnya. Menurut DU, keluarga besar menganggap perbuatannya yang melanggar hukum telah merusak nama baik keluarga.

DU terbukti bersalah melakukan tindak pidana penipuan oleh pengadilan dan diputus dua tahun pidana penjara. Kasus DU bermula saat ia bekerja sebagai pegawai pabrik susu. DU mendapatkan diskon pegawai untuk produk susu yang dijual oleh pabrik. DU melihat kesempatan tersebut untuk mendapatkan penghasilan tambahan. DU menjual susu tersebut kepada pembeli dengan harga tetap atau fixed cost yang tertulis dalam surat perjanjian. Dalam perjalanannya, harga susu makin tinggi, membuat DU melakukan wanprestasi. DU tidak dapat menyediakan susu sesuai perjanjian yang dibuat. Akhirnya, DU dilaporkan atas tuduhan penipuan.

DU mendapatkan kesempatan Asimilasi di Rumah berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.HH-186.PK.05.09 Tahun 2022 tanggal 14 Desember 2022 tentang Penyesuaian Jangka Waktu Pemberlakuan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat bagi Narapidana dan Anak dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran COVID-19. Pada awalnya, DU merasa senang dengan kepulangannya karena bisa bertemu suami dan anaknya yang berusia dua tahun. Namun saat bertemu keluarga besarnya, DU tidak diajak bicara dan ia merasa menjadi bahan pembicaraan oleh keluarga. Di lingkungan tempat tinggalnya, DU mengalami pengucilan oleh masyarakat akibat masa lalunya sebagai narapidana.

Pengucilan dan menjadi bahan pembicaraan oleh orang lain merupakan hal yang biasa dialami oleh Klien Pemasyarakatan dan mantan narapidana. Stigma negatif yang timbul karena statusnya sebagai pelanggar hukum membuatnya tidak mudah untuk beradaptasi dan diterima oleh masyarakat.

Goffman mendefinisikan stigma sebagai situasi individu yang terdiskualisasi dari penerimaan sosial yang utuh atau situasi yang tidak menerima penerimaan utuh. Goffman menggunakan konsep stigma untuk menggambarkan suatu proses yang di mana orang-orang tertantu secara moral dianggap tidak berharga atau dengan kata lain stigma merupakan sikap, perlakuan, atau perilaku masyarakat yang memandang perilaku tertentu sebagai hal yang buruk sebagai orang yang secara moral tidak berharga.

Di sinilah salah satu peran dari Pembimbing Kemasyarakatan (PK) untuk mempersiapkan diri dan mental Klien Pemasyarakatan dalam menjalani kehidupan sosialnya. Dalam proses komunikasi, PK harus memiliki keterbukaan, empati, dukungan, rasa positif, dan kesetaraan agar komunikasi yang disampaikan berjalan efektif. Hal tersebut dilakukan untuk menciptakan suasana nyaman saat berinteraksi sehingga pesan yang ingin disampaikan kepada Klien dapat diterima dengan baik.

Salah satu cara pembimbingan yang dilakukan PK adalah mendorong Klien Pemasyarakatan untuk mengenali dan memaknai diri sendiri sebelum mendengar tentang dirinya dari orang lain. Klien yang mengenali dan memaknai dirinya secara positif diharapkan membangun kepercayaan diri dan mendorongnya untuk tetap terlibat dalam kehidupan sosial meskipun mengalami diskriminasi.

Klien diajarkan untuk fokus dengan variabel yang bisa dikendalikan, yaitu cara berpikir dan berperilaku. Dengan Klien selalu memaknai dirinya secara positif dan mengenali kekurangan dan kelebihannya, ia akan membangun kehidupannya dengan semangat. Klien diajak untuk selalu melibatkan diri dalam setiap kegiatan di masyarakat sehingga mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Keluarga dan masyarakat yang melihat perubahan yang terjadi pada Klien akan membuat penilaian negatif terhadapnya berubah. Respon yang muncul karena penilaian positif terhadap Klien membuatnya tidak lagi dikucilkan dan menjadi bahan pembicaraan di masyarakat.

Respon keluarga dan masyarakat terhadap dirinya merupakan variabel di luar kendali Klien. Respon tersebut timbul akibat penilaian negatif karena Klien pernah melakukan tindak pidana. Jika Klien berfokus pada penerimaan negatif keluarga dan masyarakat, maka akan membuatnya menutup diri, bahkan mengulangi tindak pidana. Dengan adanya lapor rutin, PK dapat memantau perkembangan setiap Kliennya dan memberikan dorongan positif untuk menguatkan mereka agar tidak mengulangi perbuatannya kembali. Bahkan, adanya program pembimbingan kepribadian dan pembimbingan kemandirian bisa mempersiapkan Klien untuk kembali berdaya dan memulai kehidupannya dengan lebih baik.

 

Penulis: Tyas Nisa Utami (PK Pertama Bapas Kelas I Tangerang)

What's Your Reaction?

like
1
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0