Membedah Pelayanan Prima Petugas Balai Pemasyarakatan

Membedah Pelayanan Prima Petugas Balai Pemasyarakatan

Julukan abdi negara melekat erat pada Aparatur Sipil Negara (ASN). ASN yang bekerja di bidang pelayanan terhadap masyarakat memunculkan beragam penilaian subjektif masyarakat mengenai kinerja ASN. Ada masyarakat yang puas dan ada juga yang tidak puas. Stigma negatif juga bermunculan seolah menjadi pil pahit yang harus ditelan para ASN yang sebenarnya terus bereformasi setiap waktu untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Upaya untuk memperbaiki stigma negatif yang telah ada membuat ASN harus bekerja lebih keras untuk memperbaiki citra dirinya sebagai ASN.

Citra diri menurut Salmaini (2011) dianalogikan sebagai kartu identitas diri yang diperkenalkan kepada alam semesta. Maltz (1994) menjelaskan citra diri adalah produk dari pengalaman masa lalu, kesuksesan dan kegagalan, penghinaan dan penghargaan, dan reaksi orang lain terhadap diri individu. Centi (1993) menyebutkan citra diri merupakan salah satu segi dari gambaran diri yang berpengaruh pada harga diri.

Berdasarkan penggambaran citra diri yang baik selalu diharapkan meningkatkan kepercayaan masyarakat, seorang ASN harus memililki citra diri positif. James K. Van fleet (1997) mengidentifikasikan seseorang yang memiliki citra diri positif dengan memiliki rasa percaya diri yang kuat, berorientasi pada ambisi yang kuat dan mampu menentukan sasaran hidup, terorganisir dengan baik dan efisien, bersikap mampu, memiliki kepribadian menyenangkan serta mampu mengendalikan diri. Sementara itu, yang harus dihindari adalah citra diri negatif yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: merasa rendah diri, kurang memiliki dorongan dan semangat hidup, lebih suka menunda waktu, memiliki landasan pesimistik dan emosi negatif, pemalu, menyendiri saat mendapatkan kritik, hinaan, maupun ejekan, serta berpuas diri.

Perubahan institusi selalu dimulai dari perubahan individu. ASN sebagai pelayan masyarakat wajib menerapkan budaya prima yang selalu digaungkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk melayani masyarakat sebagaimana tertuang dalam Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan No. PAS-36.OT.02.02 Tahun 2020. Setiap unsur pelaksana teknis selalu berupaya membuat perbaikan kualitas layanan, bahkan dengan menyelenggarakan diskusi bersama dengan instansi lain untuk meningkatkan pelayanan prima.

AS. Moenir (2005) mengartikan pelayanan sebagai proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara langsung. Agus Sulastiyono (2002) menambahkan kebutuhan kebutuhan tersebut terdiri dari kebutuhan fisik, kebutuhan sosial, dan kebutuhan psikologis. Optimalnya pelayanan akan memberikan kepuasan kepada pihak yang diberi layanan yang menjadi penilai jasa pelayanan tersebut. Ibarat sedang menerima tamu, ungkapan tamu adalah raja agaknya benar adanya. Kualitas pelayanan bergantung pada perilaku atau kualitas manusia dan tingkat keterampilan atau keahlian yang dimiliki setiap individu yang terlibat dalam pelaksanaan pelayanan tersebut. Dimensi reliabilitas pelayanan petugas terlihat dari kesesuaian pelaksanaan pekerjaannya/pelayanannya dengan rencana yang telah dibuat oleh perusahaan atau institusi. Sementara itu, dimensi responsivitas pelayanan terlihat dari kecepatan dan ketepatan pelayanan.

Petugas juga harus memiliki dimensi pelayanan kepastian/jaminan sehingga benar-benar memiliki kemampuan atau keahlian dan mempunyai rasa sabar dalam menghadapi penerima layanan agar penerima layanan merasa aman. Hal ini juga harus didukung oleh lingkungan kerja dan pimpinan institusi atas tugas petugas. Selain itu, dimensi pelayanan empati dari petugas terlihat dari perhatian petugas pada penerima layanan dan kepentingannya serta memahami kebutuhan penerima layanan. Dimensi pelayanan nyata terlihat dari kemutakhiran peralatan dan teknologi serta sarana prasarana yang selaras dengan jenis jasa yang diberikan. Terakhir, penampilan petugas yang rapi dan bersih juga berkontribusi dalam menentukan kualitas layanan.

Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan No. PAS-36.OT.02.02 Tahun 2020 memuat standar pelayanan yang wajib menjadi acuan dalam penilaian kinerja penyelenggaraan publik oleh pimpinan penyelenggara, aparat pengawasan internal, maupun eksternal. Standar pelayanan yang tertuang dalam keputusan ini mencakup standar operasional prosedur hingga alur layanan. Penerima layanan publik di Pemasyarakatan adalah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang berdasarkan Undang-Undang RI No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan terdiri dari narapidana, Anak, dan Klien Pemasyarakatan. Selain itu, termasuk juga keluarga WBP, penasihat hukum, kuasa hukum, dan pemilik barang yang barangnya terpaksa harus disita/ditahan di Ruman Penyimpanan Benda Sitaan Negara. Strategi penerapan standar pelayanan Pemasyarakatan terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian, serta monitoring dan evaluasi. Hal ini bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan petugas Pemasyarakatan sebagai wujud pelayanan prima.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.02-PR.07.03 Tahun 1987 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Bimbingan Kemasyarakatan dan Pengentasan Anak, Balai Pemasyatakatan (Bapas) mempunyai fungsi melaksanakan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) untuk bahan peradilan, melakukan registrasi Klien Pemasyarakatan, melakukan bimbingan kemasyarakatan dan pengentasan Anak, mengikuti sidang peradilan di pengadilan negeri dan Sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta memberi bantuan bimbingan kepada bekas narapidana, Anak Negara, dan Klien Pemasyarakatan yang memerlukan dan melakukan urusan tata usaha Bapas. Klasifikasi jenis layanan di Bapas adalah melaksankan bimbingan Klien dewasa, mengusulkan pemberian izin ke luar kota, melaksanakan pelimpahan bimbingan kemasyarakatan, mengusulkan izin ke luar negeri, melaksanakan pendampingan Anak Berhadapan dengan Hukum, melaksanakan konseling Anak, melaksanakan bimbingan kepada Klien Anak, melaksanakan Litmas Anak, melaksanakan Litmas dewasa, dan mengusulkan pencabutan Pembebasan Bersyarat.

Hendaknya pelaksanaan layanan di Bapas memenuhi standar pelayanan Pemasyarakatan. Dari segi perencanaan diperlukan manajemen sumber daya manusia, perencanaan anggaran, serta ketersediaan sarana dan prasarana (yang juga mencakup kesesuaian aturan di Unit Pelaksana Teknis dan Divisi Pemasyarakatan, maklumat pelayanan, serta visi, misi, dan motto pelayanan). Pada tahap pengorganisasian, penerapan standar pelayanan Pemasyarakatan mencakup sifat pola penyelenggaraan publik, yaitu fungsional, terpusat, terpadu dan gugus tugas, serta struktur organisasi yang bersifat vertikal perlu memperhatikan koordinasi secara internal dan eksternal.

Pada tahap pelaksanaan layanan, petugas harus menggunakan dasar hukum dari setiap layanan, memperhatikan sistem, mekanisme, prosedur layanan yang telah dibakukan dalam standar pelayanan Pemasyarakatan, jangka waktu penyelesaian, dan tidak dipungut biaya. Satuan kerja wajib memenuhi sarana, prasarana, dan fasilitas layanan publik di institusi Pemasyarakatan dan melakukan juga melakukan pemeliharaan.

Pelayanan prima juga harus memperhatikan kompetensi pelaksana layanan, seperti pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan pengalaman sesuai standar pelayanan Pemasyarakatan. Kompetensi pelaksana juga harus ditingkatkan dengan mengikutkan pelaksana layanan mengikuti pendidikan dan pelatihan. Pelaksana layanan harus memiliki semangat kemandirian dan disiplin kerja demi meningkatkan standar pelayanan yang efektif dan efisien. Kepala Bapas juga harus mengawasi pelaksanaan layanan. Bapas wajib menjamin layanan yang diberikan sesuai standar layanan. Pada pelaksanaan layanan, petugas tidak boleh diskriminatif, harus sopan, ramah, serta memberikan keamanan dan kenyamanan sesuai komponen jaminan pelayanan dan jaminan keamanan yang ada dalam standar pelayanan. Tahapan terakhir adalah pengendalian berupa pengawasan internal serta monitoring dan evaluasi.

 

Penulis: Dwi Ervina Astuti (PK Bapas Tangerang)

What's Your Reaction?

like
1
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0