Mewakili Pelaksanaan Ibadah Haji Bagi Narapidana

Mewakili Pelaksanaan Ibadah Haji Bagi Narapidana

Dalam Sistem Pemasyarakatan, narapidana dijamin hak-hak mereka untuk menjalankan ibadahnya sesuai agama yang mereka anut, baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, maupun Konghucu. Pasal 14 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan: “Narapidana berhak melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya."

Bagi narapidana beragama Islam, selain ibadah salat, puasa, dan zakat, ada ibadah yang hanya diwajibkan dan dipenuhi bagi orang-orang yang sudah memenuhi syarat tertentu saja, yaitu ibadah haji. Adapun syarat yang dimaksudkan dalam ibadah haji adalah kesanggupan untuk mengadakan perjalanan untuk haji atau yang dikenal dengan istilah istitha'ah (الاستطاعة).

Kedudukan istitha'ah (الاستطاعة) sebagai syarat berhaji adalah hal yang telah disepakati seluruh ulama. Kriteria istitha'ah (الاستطاعة) mencakup sanggup secara finansial dan fisik (badan). Kesanggupan secara finansial menyangkut mengenai kemampuan dalam biaya penyelenggaraan ibadah haji. Secara fisik, menyangkut kesehatan badan dan kesanggupan berangkat melaksanakan haji dengan badannya.

Bagi narapidana yang memenuhi kriteria sanggup secara finansial untuk biaya penyelenggaraan haji, namun secara fisik ia harus harus menjalani pidana penjara selama di rumah tahanan negara (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas) yang disebabkan situasi dan kondisi yang tidak memungkinkannya karena dilarang peraturan perundang-undangan, dipandang telah memenuhi istitha'ah (الاستطاعة). Karena itu, narapidana tersebut sudah memiliki kewajiban menunaikan ibadah haji, tetapi harus mewakilkan pelaksanaannya kepada orang lain.

Mengenai hukum mewakili ibadah haji kepada orang lain dijelaskan dalam Syarah Shahih Bukhari: “Orang yang memiliki harta yang banyak, namun fisiknya tidak sanggup melaksanakannya, maka ia harus mewakilkan pelaksanaannya kepada orang lain. Sedangkan ia tidak wajib melaksanakannya disebabkan ia tidak sanggup secara fisik.” (Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syarah Sahih Al-Bukhari, 5/291).

Hal ini senada dan selaras dengan apa yang disebutkan dalam diktum poin 2 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2001 tentang Haji Bagi Narapidana: “Orang sebagaimana poin  1 (narapidana) tidak dibolehkan melaksanakan haji pada saat itu, tetapi ia wajib membiayai orang lain yang sudah menunaikan haji untuk menghajikannya jika diduga kuat ia tidak memiliki kesempatan haji sendiri.”

Hak narapidana untuk melaksanakan ibadah (haji) dalam Undang-Undang Pemasyarakatan masih bisa ditunaikan jika narapidana tersebut ingin ibadah hajinya terselenggara selama menjalani masa hukuman di rutan atau lapas, tetapi ia wajib mewakilinya kepada orang lain. Jika narapidana tersebut ingin melaksanakan sendiri, maka narapidana tersebut harus menunggu bebas dan selesai menjalani pidana penjara di rutan atau di lapas.

 

 

Penulis: Insanul Hakim Ifra (Rutan Depok)

 

What's Your Reaction?

like
31
dislike
2
love
14
funny
5
angry
2
sad
2
wow
9