Optimalisasi Pembimbingan PK terhadap Klien Pemasyarakatan

Optimalisasi Pembimbingan PK terhadap Klien Pemasyarakatan

Pembimbing Kemasyarakatan (PK) adalah pejabat fungsional tertentu di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI yang memiliki tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan di bidang bimbingan kemasyarakatan. Salah satu tugas PK adalah membimbing Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang sudah menjadi Klien Pemasyarakatan, yakni WBP atau Anak yang sedang menjalani program Reintegrasi Sosial.

Integrasi adalah pembimbingan terhadap WBP yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk hidup dan berada kembali ke tengah-tengah masyarakat dengan bimbingan dan pengawasan PK. PK melaksanakan pembimbingan terhadap Klien sampai berakhir masa bimbingan Klien sesuai Surat Keputusan Integrasi-nya. Apabila Klien dinilai masih memerlukan bantuan bimbingan berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan sebelum berakhirnya bimbingan tahap akhir, atas dasar permintaan dari lembaga atau orang tua/wali, PK bisa memberikan bimbingan tambahan atau lanjutan (after care). Sebelum melaksanakan bimbingan terhadap Klien, terlebih dahulu PK membuat Penelitian Kemasyarakatan untuk menentukan program pembimbingan.

Pada proses pembimbingan seorang PK harus menjaga etika sebagai petugas Pemasyarakatan, yaitu menghormati harkat dan martabat Klien Pemasyarakatan, mengayomi Klien Pemasyarakatan, tanggap dalam bertindak, tangguh dalam bekerja dan tangguh dalam berkepribadian, serta bijaksana dalam bersikap. Hal ini bisa memengaruhi kualitas kompetensi PK dalam membimbing Klien.

PK memberikan bimbingan kepada Klien agar memiliki hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa yang berkualitas, memiliki kualitas secara intelektual, sikap dan perilaku, profesionalisme, serta kesehatan jasmani dan rohani yang meningkat. PK juga memberikan motivasi dan solusi dalam permasalahan yang dihadapi Klien. Pada dasarnya tujuan dari membimbing Klien adalah agar Klien tidak melakukan tindak pidana kembali. Klien menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dapat diterima kembali di lingkungan masyarakat, dan dapat berperan dalam membangun dan hidup secara wajar.

Syamsu Yusuf (2009) mendefinisikan bimbingan sebagai proses pemberian bantuan konselor kepada individu (konseli) secara berkesinambungan agar mampu memahami potensi diri dan lingkungannya, menerima diri, mengembangkan dirinya secara optimal, serta menyesuaikan diri secara positif dan konstruktif terhadap tuntutan norma kehidupan (agama dan budaya) sehingga mencapai kehidupan yang bermakna (berbahagia), baik secara personal maupun sosial. Dalam pembimbingan, seorang PK bertindak sebagai konselor dan Klien adalah konseli. Tujuan dari pembimbingan dapat berhasil apabila telah terjalin kepercayaan, penerimaan, dan juga terjadi komunikasi yang efektif antara PK dengan Klien.

Seorang PK juga harus bisa menjadi fasilitator bagi Klien agar bisa berhasil memantapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta bersikap optimis akan masa depannya, berhasil memperoleh pengetahuan, minimal keterampilan untuk bekal mampu hidup mandiri, berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan nasional, berhasil menjadi manusia yang patuh hukum yang tercermin pada sikap dan perilakunya yang tertib, disiplin, serta mampu menggalang kesetiakawanan sosial dan berhasil memiliki jiwa dan semangat terhadap bangsa dan negara.

Sasaran akhir yang hendak dituju dari proses pembimbingan adalah Klien dapat berinteraksi dengan masyarakat, begitu juga sebaliknya. Posisi PK berada di antara masyarakat dan Klien, sedangkan PK dan Klien sama-sama berasal dari masyarakat. Keterpaduan dari ketiga unsur ini sangat penting jika ketiganya berfungsi dengan baik, yaitu PK mempunyai kompetensi yang berkualitas, Klien mau dibimbing, dan masyarakat yang mau menerima kembali Klien secara utuh sebagai warga masyarakat, maka akan meningkatkan keberhasilan PK meraih sasaran akhir pembimbingan.

Berdasarkan pengalaman penulis sebagai PK, pencapaian terbesar PK dalam membimbing Klien adalah saat Klien bisa kembali beraktivitas normal, diterima kembali oleh masyarakat, dan tidak mengulangi tindak pidana kembali. Dalam proses pembimbingan ini pun membutuhkan keahlian PK untuk menciptakan bonding dengan Klien sehingga Klien bisa dengan mudah menerima PK dan menceritakan permasalahan yang dihadapinya sehingga solusi yang dijalankan Klien sesuai koridor hukum yang berlaku. PK harus menjadi pribadi yang ramah, memiliki kepekaaan sosial, empati, dan terbuka dalam proses pembimbingan. Proses pembimbingan terhadap Klien juga memerlukan sarana dan prasarana yang memadai untuk bisa mengoptimalkan proses bimbingan, seperti ruangan khusus untuk konsultasi atau sarana telekomunikasi yang memadai apabila dilaksanakan dengan jarak jauh.

 

Penulis: Dwi Ervina Astutii (PK Bapas Tangerang)

What's Your Reaction?

like
1
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0