Overstaying Tahanan dalam Sistem Peradilan Pidana

Overstaying Tahanan dalam Sistem Peradilan Pidana

Overstaying menjadi permasalahan yang kerap terjadi di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) maupun Rumah Tahanan Negara (Rutan). Secara leksikal, istilah overstaying tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan, namun sudah mafhum dan lazim oleh para praktisi dan akademisi hukum maupun kalangan umum bahwasanya overstaying diartikan sebagai kondisi di mana masa penahanan tersangka melebihi atau lewat dari waktu yang sudah ditetapkan oleh pihak yang menahan.

Sebagaimana diketahui dalam sistem peradilan pidana, penahanan dilakukan terhadap tersangka dilandasi oleh dua alasan. Pertama, alasan subjektif. Tersangka dikhawatirkan melarikan diri dan menghilangkan barang bukti (vide: Pasal 21 ayat (1) KUHAP). Kedua, alasan objektif. Ancaman pidana yang dilakukan tersangka lima tahun atau lebih (vide: Pasal 21 ayat (4) KUHAP).

Sementara itu, yang dimaksud dengan penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya menurut cara yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penahanan dapat dilakukan pada setiap tingkat mulai dari tingkat penyidikan oleh kepolisian, penuntutan oleh kejaksaan, dan pemeriksaan pengadilan oleh hakim. Tentu batas dan jangka waktu penahanan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) melalui ketetapannya diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai bentuk kepastian hukum bagi tersangka/terdakwa.

Pada proses penyidikan, perintah penahanan berlaku paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 hari (vide: Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP). Pada proses penuntutan, perintah penahanan berlaku paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 30 hari (vide: Pasal 25 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP). Pada proses pemeriksaan peradilan tingkat pertama, perintah penahanan berlaku paling lama 30 hari dan dapat diperpanjang paling lama 60 hari (vide: Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP). Pada tingkat banding, perintah penahanan oleh Hakim Tinggi berlaku selama 30 hari dan dapat diperpanjang paling lama 60 hari (vide: Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP). Selanjutnya, pada tingkat kasasi, penahanan dilakukan oleh Hakim Agung selama 50 hari dan dapat diperpanjang paling lama 60 hari (vide: Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP). Maka, jika dikalkulasikan, total lama penahanan pada peradilan tingkat pertama selama 200 hari dan total lama penahanan tingkar lanjutan (banding dan kasasi) selama 200 hari. Jadi, total keseluruhan penahanan adalah 400 hari.

Batas dan jangka waktu penahanan yang telah ditetapkan KUHAP hakikatnya merupakan prinsip perlindungan hukum dan penghormatan hak asasi manusia bahwa tersangka/terdakwa haruslah terbebas dari tindakan hukum dan penahanan yang sewenang-wenang (abuse of power). Sebagaimana itu, PBB mendeklarasikan Universal Declaration of Human Right (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) yang berisi pokok agung tentang perlindungan hak asasi manusia pada tiap orang tanpa terkecuali dan nondiskriminasi rasial.

Guna mencegah dan menghindari overstaying tahanan yang berimplikasi kepada pelanggaran terhadap prinsip perlindungan hukum dan penghormatan hak asasi manusia, tahanan yang melebihi masa penahanan haruslah dibebaskan demi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (7) PP Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Adapun aturan turunannya diimplementasikan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum. Aturan ini sebagai langkah untuk menjamin kepastian hukum dan penegakkan hukum terhadap persoalan overstaying tahanan.

Dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum menyebutkan bahwa:

Ayat (1):

Kepala Rutan atau Kepala Lapas wajib memberitahukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang menahan mengenai tahanan yang akan habis masa penahanan atau habis masa perpanjangan penahanan.

Ayat (2):

Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum masa penahanan atau masa perpanjangan penahanan berakhir.

Selanjutnya, jika setelah 10 hari sudah diberitahukan kepada pihak penahan dan tidak ada jawaban untuk perpanjangan lalu diberitahukan kembali tiga hari sebelum masa penahanan atau perpanjangan penahanannya akan berakhir dan kemudian tetap saja setelah diberitahukan tidak ada surat penetapan/perpanjangan penahanan dari pihak yang menahan, maka Kepala Lapas/Rutan wajib mengeluarkan demi hukum tahanan yang telah habis masa penahanan atau perpanjangan penahanannya tersebut sesuai dengan Pasal 6 ayat (3) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum.

Terlepas dari faktor penyebab dan alasan pihak yang menahan tidak melakukan perpanjangan penahanan, walaupun sudah diberitahu akan berakhir masa penahanan, tetap saja harus dilepaskan dan dibebaskan karena hukum menghendaki demikian. Jika tidak, akibat hukum yang terjadi adalah Kepala Lapas/Rutan yang tidak mengeluarkan tahanan tersebut dan juga termasuk petugas yang melakukan pelanggaran terhadap pengeluaran tahanan tersebut, maka akan dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan (vide: Pasal 10 dan Pasal 11 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum)

Oleh karenanya, prospek daripada pengeluarkan tahanan overstaying kiranya dapat mengurangi overcrowded (kelebihan kapasitas huni) di Lapas dan Rutan yang banyak mengalami kepadatan yang kemudian diperparah oleh doktrin crime control model para APH lainnya (vide: Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 11 Tahun 2017 tentang Grand Design Penanganan Overcrowded pada Rutan dan Lapas.

 

Penulis: Insanul Hakim Ifra (Rutan Depok)

What's Your Reaction?

like
9
dislike
0
love
0
funny
0
angry
0
sad
0
wow
0